“Ada apa denganmu?” tanya Blade heran sambil menunggui Ivy memakai jaket dan helm.
“Kenapa bertanya begitu?” balas Ivy berlagak tidak paham maksud Blade.
“Kau aneh sekali hari ini. Tidak seperti biasanya.”
“Tidak ada apa-apa.” Ivy menjawab sambil beranjak naik ke atas motor Blade. Begitu duduk di atas motor, Ivy langsung melingkarkan tangannya di pinggang Blade dan memeluk pemuda itu erat-erat. “Ayo, jalan!”
“Dan sekarang kau memelukku seerat ini. Bagaimana aku tidak berpikir yang aneh-aneh?” gumam Blade kebingungan.
Setelah motor Blade melaju meninggalkan area parkir, perlahan Ivy menoleh ke belakang. Ketika sudah merasa aman, ia melepaskan pelukannya dan duduk dengan tegak.
“Kenapa dilepas?” tanya Blade semakin bingung.
“Tidak apa-apa,” balas Ivy.
Blade menggeleng pelan. “Aku benar-benar tidak bisa mengerti dirimu. Terkadang kau terlihat jauh, terkadang seperti memberi harapan. Didekati kau menjauh. Saat kujaga jarak sebaik mungkin, kau sendiri yang melanggarnya. Aku benar-benar tidak bisa mengerti dirimu, Ivy.”
“Maaf, Blade. Kau tahu batas hubungan kita, bukan?” Ivy jadi merasa tidak enak hati juga karena tanpa sadar ia terkesan mempermainkan Blade.
Blade diam saja. Sedikit banyak ada kecewa yang ia rasakan. Beberapa saat tadi, Blade sempat berharap jika Ivy memberi sinyal bagi kedekatan mereka. Tidak dapat dipungkiri, Blade memiliki ketertarikan terhadap Ivy sejak awal perkenalan mereka. Dan ia pun sudah mengatakannya dengan jelas.
“Dari awal sudah kutegaskan, aku tidak bisa memberi lebih. Hanya sebatas kondisi saling menguntungkan yang bisa kutawarkan, tapi tidak dengan perasaan,” ujar Ivy lagi.
Nyatanya, sebanyak apa pun kontak fisik yang Ivy lakukan dengan berbagai pria, tidak ada satu pun di antara mereka yang bisa membuat hati Ivy tergetar. Termasuk Blade. Semua pria yang pernah dekat dengan Ivy hanya datang dan pergi, singgah sesaat, namun tidak pernah ada yang menetap. Bukan pria-pria itu yang tidak ingin, namun Ivy yang tidak memberi kesempatan.
Karena bagi seorang Ivy, sebuah genggaman kecil saja bisa memiliki dampak yang sangat berbeda jika dilakukan oleh seseorang. Bukan dengan Blade, tapi dengan satu sosok dari memori di masa lalu Ivy yang sangat membekas. Bahkan duduk di motor seperti ini saja bisa membawanya pada ingatan akan momen yang terasa sangat berkesan itu.
>>> Pagi itu, suasana hati Ivy sangat buruk. Seharusnya di waktu seperti ini ia sudah bersiap dengan seragam sekolahnya dan sedang berada di ruang makan untuk sarapan. Tapi yang Ivy lakukan saat ini malah mengurung diri di kamarnya dengan mata sembab.
Rocky yang sudah siap menunggu adiknya di meja makan, merasa keheranan karena gadis itu tidak kunjung turun. Merasa khawatir, Rocky naik ke atas untuk memeriksa Ivy. Dugaannya benar. Ada sesuatu yang salah dengan adiknya. Gadis itu tengah duduk di dekat jendela sambil melamun.
Rocky mendekat dan mengusap kepala Ivy. “Kenapa masih di sini? Kau tidak berangkat ke sekolah hari ini?”
Ivy tidak menjawab. Gadis itu hanya bungkam. Menoleh untuk menatap Rocky saja tidak.
“Sudah siang, Quinny. Kau harus bersiap,” ujar Rocky sabar. Delapan tahun menjadi kakak dari gadis ini, Rocky sudah sangat memahami adiknya itu. Jika Ivy yang ceria dan selalu cerewet ini tiba-tiba berubah menjadi pendiam, pasti ada sesuatu yang membuat gadis itu sangat marah atau sedih.
“Aku tidak ingin sekolah hari ini!” Ivy berseru kesal dan menepis tangan Rocky yang berusaha menariknya untuk bangun.
“Ada apa?” Rocky mengernyit bingung. “Bukankah kau akan tampil di pertunjukan musik hari ini?”
Sampai kemarin pagi saat Rocky menemani Ivy sarapan, gadis itu masih terdengar sangat ceria ketika membahas pertunjukan musik yang akan diadakan di sekolahnya. Ivy begitu bersemangat menunggu hari itu tiba. Tapi kenapa sekarang jadi seperti ini?
“Itulah masalahnya! Mom tidak bisa datang, padahal dia sudah berjanji!” seru Ivy marah. Semalam, Kelly menyempatkan diri untuk pulang ke rumah setelah tiga hari tidak kembali. Namun sayang bukan untuk tidur di rumah dan menepati janji datang menemani Ivy, melainkan hanya untuk memberi kabar bahwa ia tidak bisa datang di pertunjukan putrinya. Parahnya lagi, setelah membawa kabar jelek itu, Kelly langsung kembali meninggalkan rumah. Membuat Ivy menghabiskan sepanjang malam dengan menangis kecewa.
“Ternyata itu yang membuatmu sedih.” Rocky bergumam sedih. Ia mengerti perasaan adiknya. Terbayang betapa kecewanya gadis ini. Tiba-tiba sebuah ide melintas di kepala Rocky. “Bagaimana kalau aku yang datang dan melihat pertunjukanmu?”
Mendengar tawaran Rocky, sontak Ivy mengangkat wajah dan menatap sang kakak. “Memangnya kau bisa?”
Rocky menjawil pipi Ivy dengan sayang. “Apa yang tidak bisa kulakukan untukmu, Little Quinny?”
Meski banyak pekerjaan yang harus Rocky lakukan, menundanya selama setengah hari saja sepertinya tidak akan jadi masalah. Eldo pasti bisa mengerti dan memberi izin untuk Rocky.
“Kau tidak bohong?” tanya Ivy penuh harap. Matanya yang tadi sendu perlahan terlihat berbinar kembali.
“Pernahkah aku membohongimu?”
“Tidak.” Ivy menggeleng cepat. Ibunya mungkin sering ingkar janji, teman-temannya pun sama saja, tapi tidak dengan kakaknya. Rocky adalah satu-satunya orang yang tidak pernah membohongi dan mengingkari janjinya pada Ivy.
“Jadi sekarang bisa kau hapus air matamu?” pinta Rocky lembut.
Ivy mengangguk cepat dan menyeka air matanya.
“Bagaimana kalau aku sekalian mengantarmu ke sekolah?” usul Rocky. Sudah lama rasanya sejak terakhir kali ia mengantar Ivy ke sekolah. Sejak Rocky lulus dari senior high school tiga tahun yang lalu, mereka sudah tidak pernah lagi berangkat sekolah bersama. Awalnya Rocky masih sering mengantar Ivy, namun setelah bekerja dengan Eldo, ia tidak bisa melakukannya lagi.
“Aku mau!” seru Ivy kesenangan.
“Bersihkan dulu wajahmu. Aku tidak ingin membawa gadis jelek,” ejek Rocky.
“Rocky jahat!” gerutu Ivy.
“Kau bilang aku selalu baik,” goda Rocky geli.
“Akhir-akhir ini kau suka mengejekku,” keluh Ivy sedih.
Perkataan Ivy memang tidak salah. Akhir-akhir ini Rocky kerap mengejek Ivy dengan mengatakan adiknya itu jelek. Padahal kenyataannya, Ivy yang kini berusia sebelas tahun mulai menunjukkan bakat-bakat kecantikan alami yang akan membuat para pemuda jatuh hati di kemudian hari.
“Jangan marah. Kau cantik saat tersenyum,” bujuk Rocky.
Sesuai janjinya, Rocky benar-benar mengantarkan Ivy ke sekolah hari itu.
“Rocky …,” panggil Ivy saat mereka sedang dalam perjalanan menuju sekolahnya.
“Hm?”
“Kau sudah punya kekasih?” tanya Ivy tiba-tiba.
“Belum.” Rocky mengernyit bingung. Ia ingin melihat wajah adiknya, namun sayang karena mereka tengah duduk di motor, Rocky tidak bisa melakukannya. “Ada apa menanyakan itu?”
“Kalau kau punya kekasih, aku akan sedih,” ujar Ivy dengan nada sendu.
“Kenapa begitu?” tanya Rocky terkejut.
“Karena kau pasti tidak akan menyayangiku lagi.” Ivy mengatakannya sambil mengeratkan pelukan di pinggang Rocky dan membenamkan wajahnya di punggung sang kakak.
“Darimana datangnya pikiran semacam itu?” Rocky menggeleng geli. Ada-ada saja pikiran gadis ini.
“Aku tahu pasti akan begitu. Kau akan sibuk dengan kekasihmu sepanjang waktu dan melupakan aku.”
“Aku tidak akan begitu,” jawab Rocky menenangkan.
“Kau bilang begitu karena belum memiliki kekasih. Saat ada perempuan istimewa nanti, kau pasti berubah.”
Sejujurnya Rocky bingung. Mengapa gadis seumur Ivy sudah berpikir sejauh ini? Mungkinkah karena perasaan trauma akibat ditinggalkan? Pria yang ia anggap ayahnya meninggal dan ibu tempatnya bermanja kini sibuk dengan dunianya sendiri. Itukah yang membuat Ivy dilanda ketakutan jika sewaktu-waktu Rocky juga akan menjauh darinya?
Rocky menepuk tangan Ivy yang melingkari pinggangnya untuk meyakinkan gadis itu. “Kau akan tetap jadi yang paling penting.”
“Rocky, bisakah kalau kau tidak punya kekasih saja?” pinta Ivy sedih.
“Supaya kau tetap memiliki seluruh waktuku?” tanya Rocky geli.
“Iya.” Ivy mengangguk tanpa malu. Biar saja ia dianggap egois. Pada kenyataannya ia memang ingin memiliki Rocky untuk dirinya sendiri saja. Ivy tidak ingin membaginya dengan siapa-siapa, karena bagi gadis itu, Rocky adalah segalanya. Dunianya. “Bisa tidak?”
“Bisa.” Entah mengapa dengan mudahnya Rocky menjawab seperti itu. Ia tidak berpikir jauh. Tidak juga khawatir jika kelak akan melanggar janjinya. Sampai saat ini dunianya memang penuh dengan Ivy seorang. Apa yang ia kerjakan, apa yang ia perjuangkan, semuanya memang untuk melindungi sang adik.
“Kau janji?”
“Aku janji.”
“Saat aku besar nanti, aku saja yang jadi kekasihmu,” ujar Ivy seenaknya.
Rocky terkekeh mendengar usul Ivy yang ngawur. “Haruskah begitu?”
“Ya. Aku akan jadi gadis cantik saat dewasa nanti. Dan aku akan jadi kekasihmu,” ujar Ivy sungguh-sungguh.
Rocky mengangguk setuju. “Aku suka ide itu.”
Entah akan seperti apa hidupnya nanti, Rocky tidak terlalu peduli. Sampai hari ini ia memang belum pernah tertarik untuk menjalin hubungan dengan perempuan mana pun. Jika seumur hidupnya ia harus menjaga Ivy, sepertinya Rocky tidak keberatan. <<<