Bab 07

1047 Words
Briana Jovanka melangkah ke dalam gedung megah milik perusahaan ayah tirinya, Jeremy Handsone. Lantai marmer mengilap, lampu kristal menjuntai dari langit-langit tinggi, dan suasana korporat yang penuh formalitas langsung terasa begitu ia memasuki lobi. Di sampingnya, Jeremy berjalan dengan postur tegap dan wajah dingin seperti biasa. Tidak ada senyuman atau sapaan ramah dari pria itu, bahkan kepada para karyawan yang menyambutnya dengan anggukan hormat. Namun, bukan Jeremy yang menarik perhatian mereka kali ini. Semua mata tertuju pada Briana. Mengenakan gaun berpotongan elegan berwarna biru navy dengan rambut yang disanggul rapi, Briana tampak seperti sosok yang tak terjangkau. Kecantikannya memancarkan aura yang membuat siapa pun sulit mengalihkan pandangan. "Pak Jeremy membawa siapa itu?" bisik seorang karyawan. "Katanya anak tirinya," jawab yang lain, lirih. Briana merasa tidak nyaman mendengar gumaman itu. Ia menundukkan pandangannya, mencoba menghindari tatapan-tatapan penasaran dari para karyawan. Jeremy tiba-tiba berhenti di tengah lobi, membuat langkah Briana terhenti pula. Pria itu menatap sekeliling dengan sorot mata dingin dan otoritatif. Briana yang berdiri di sampingnya hanya bisa menunggu, bertanya-tanya apa yang akan dilakukan ayah tirinya. "Saya ingin mengenalkan seseorang kepada kalian," suara Jeremy menggema di seluruh lobi, tegas dan tanpa basa-basi. Semua aktivitas di sana seketika terhenti, dan semua karyawan memusatkan perhatian pada pria itu. "Ini Briana Jovanka," lanjutnya sambil menunjuk ke arah Briana dengan gerakan ringan. "Dia adalah anak tiri saya, dan mulai hari ini, dia akan bekerja di sini sebagai sekretaris pribadi saya. Jangan ada yang mencoba mengganggunya. Jika ada yang melakukannya, kalian tahu apa yang akan terjadi." Nada ancaman dalam kalimat terakhir Jeremy terasa jelas, membuat beberapa karyawan saling bertukar pandang dengan gugup. Briana yang mendengar pengumuman itu hanya bisa meringis kecil. Ia tidak menyangka Jeremy akan mengenalkannya dengan cara seperti ini. Sorot mata karyawan kini bergeser dari Jeremy ke Briana, membuat gadis itu semakin merasa tidak nyaman. "Hari pertama dan aku sudah menjadi pusat perhatian," pikir Briana sambil memaksakan senyum kecil. Jeremy menganggukkan kepala singkat, lalu melangkah menuju lift pribadi, memberi isyarat kepada Briana untuk mengikutinya. Tanpa bicara, Briana mengikuti pria itu masuk ke dalam lift, meninggalkan lobi yang masih dipenuhi karyawan yang berbisik-bisik. --- Di dalam lift, suasana terasa hening. Briana menatap angka-angka lantai yang terus naik di layar digital, mencoba mengalihkan pikirannya dari rasa canggung yang mendera. Jeremy, seperti biasanya, tetap diam. "Papa," Briana akhirnya memecah keheningan, suaranya terdengar ragu. "Apakah tadi benar-benar perlu mengenalkan aku seperti itu di depan semua orang?" Jeremy melirik sekilas ke arahnya, lalu kembali menatap pintu lift. "Aku hanya ingin memastikan mereka tahu posisi mereka. Kamu tidak perlu khawatir." Briana menghela napas pelan. "Tapi aku ingin dianggap sebagai karyawan biasa, bukan anak tiri yang mendapat posisi karena koneksi." "Kamu bekerja di sini karena aku tahu kamu mampu," jawab Jeremy dingin. "Bukan karena kamu anak tiriku. Kalau kamu tidak mau, pintu keluar selalu terbuka." Jawaban itu membuat Briana terdiam. Jeremy memang selalu seperti itu—keras dan to the point. Tidak ada ruang untuk diskusi, apalagi kompromi. Ketika lift sampai di lantai tertinggi, Jeremy keluar lebih dulu, diikuti Briana. Mereka tiba di ruangan luas yang menjadi kantor pribadi Jeremy. Interiornya modern dan minimalis, dengan meja kerja besar di tengah ruangan dan jendela besar yang memberikan pemandangan kota. "Ini meja kerjamu," kata Jeremy sambil menunjuk ke sebuah meja di sudut ruangan, dekat pintu. "Mulai sekarang, kamu akan bekerja di sini." Briana melangkah dengan hati-hati menuju meja kerja Joseph, lelaki yang selama ini menjadi sekretaris utama Papa tirinya, Jeremy. Pria itu tampak sibuk mengetik sesuatu di laptopnya, tapi ketika menyadari Briana mendekat, ia menghentikan pekerjaannya dan mengangkat wajah. "Joseph, ya?" Briana membuka pembicaraan dengan nada ramah, meskipun dalam hatinya ia sedikit gugup. Joseph menatapnya, lalu tersenyum lebar. Pria itu tampak profesional dengan setelan rapi, tapi senyumnya memancarkan kehangatan yang jarang ia lihat di kantor ini. "Ya, saya Joseph. Dan Anda pasti Briana Jovanka. Selamat bergabung di sini." Briana mengangguk kecil. "Terima kasih. Mulai hari ini, saya akan bekerja sebagai sekretaris pribadi Papa Jeremy. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik." Joseph terkekeh pelan, lalu menjawab dengan nada santai, "Tentu saja. Saya senang mendengar itu. Kehadiran Anda pasti akan membawa suasana baru di sini." Briana tersenyum simpul, merasa sedikit lebih nyaman dengan sambutan Joseph. Di antara tatapan dingin dan sikap penuh penilaian dari beberapa karyawan lain, pria ini memberikan kesan berbeda. "Jika ada yang Anda butuhkan atau pertanyaan tentang pekerjaan, jangan ragu untuk bertanya pada saya," tambah Joseph. "Baik, saya pasti akan melakukannya. Terima kasih, Joseph," jawab Briana dengan tulus. Dalam hatinya, ia merasa lebih lega. Mungkin bekerja di sini, di bawah bayang-bayang Papa tirinya, tidak akan sesulit yang ia bayangkan sebelumnya. Setidaknya, ia memiliki seorang rekan kerja seperti Joseph yang terlihat tulus ingin membantu. *** Jeremy duduk di kursinya yang besar di dalam ruangan kerjanya yang luas dan mewah. Jendela besar di belakangnya memperlihatkan pemandangan kota yang sibuk, tapi pandangannya tak teralih ke sana. Matanya tertuju pada Briana, yang kini sedang duduk di meja sekretaris pribadinya, tepat di luar ruangan itu. Briana terlihat begitu sibuk, mencoba memahami dokumen-dokumen yang baru saja diberikan oleh Joseph. Rambutnya yang tertata rapi, gerakan tangannya yang anggun, dan caranya mengerutkan alis saat berkonsentrasi membuat Jeremy sulit memalingkan pandangan. Ia menelan ludah, lalu tanpa sadar menjilat bibirnya. "Sial," gumam Jeremy pelan, seraya menyandarkan tubuhnya ke kursi. Ia tahu betul bahwa memikirkan Briana seperti ini adalah hal yang salah. Briana adalah anak tirinya—putri dari wanita yang dinikahinya empat hari yang lalu. Namun, semakin hari, pesona Briana semakin sulit untuk diabaikan. Briana bukan sekadar cantik; ia memancarkan daya tarik yang berbeda. Elegan, pintar, tapi juga terlihat polos, membuat Jeremy merasa semakin terobsesi. Ia menggertakkan giginya, mencoba mengusir pikiran itu, tapi sia-sia. Rasa ingin memilikinya semakin menguasai pikirannya. Setiap hari ia melihat Briana, semakin sulit baginya untuk menahan diri. Jeremy memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan diri. "Fokus, Jeremy," bisiknya pada dirinya sendiri. Namun, saat membuka mata lagi, pandangannya kembali tertuju pada Briana yang kini menatap ke arah ruangannya, mungkin karena menyadari dirinya sedang diawasi. Mata mereka bertemu. Briana tampak bingung, tapi tetap tersenyum sopan sebelum kembali menunduk dan melanjutkan pekerjaannya. Senyuman itu seperti cambuk bagi Jeremy, membuat hasrat yang selama ini ia pendam semakin menguat. "Ini akan jadi menarik," gumam Jeremy, sambil mengetuk-ngetuk jari di meja. Ia tahu, keinginan ini salah, tapi ia juga tahu bahwa dirinya adalah pria yang selalu mendapatkan apa yang ia inginkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD