Bab 09

1032 Words
Briana melangkah masuk ke rumah dengan langkah gontai. Sepatu hak tinggi yang membebani kakinya sejak pagi dilepas begitu saja di dekat pintu. Rambut cokelat panjang yang biasanya tergerai rapi kini terlihat acak-acakan, menggambarkan betapa lelahnya ia setelah hari yang panjang. “Briana! Kamu sudah pulang?” suara Mamanya, Arum, terdengar dari ruang tengah. Arum berjalan menghampiri putrinya dengan senyum cerah. Raut wajahnya penuh semangat, seperti seseorang yang sangat ingin mendengar kabar baik. “Bagaimana hari pertama kerja? Apa menyenangkan jadi sekretaris Papa Jeremy?” Briana mendongak sejenak dan tersenyum kecil, meski rasa lelah tampak jelas di wajahnya. “Senang kok, Ma,” jawabnya singkat sambil menaruh tas kerjanya di meja kecil dekat pintu. Namun, nada suaranya terdengar datar dan jauh dari kesan antusias. Arum memperhatikan wajah putrinya dengan seksama. “Kamu yakin? Apa tidak menyenangkan bekerja dengan Jeremy? Bukannya dia sudah membantumu dapat posisi itu?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada lebih penasaran. Briana tertawa kecil, namun tawanya terdengar getir. “Menyenangkan, Ma,” jawabnya sambil berjalan ke sofa. Ia menjatuhkan tubuhnya ke sana dengan lemas. “Papa Jeremy sangat baik. Tapi…” Briana berhenti sejenak, seolah-olah ragu untuk melanjutkan. “Tapi apa?” Arum duduk di sebelahnya, menatap putrinya dengan sorot mata yang penuh perhatian. “Tapi Papa Jeremy langsung mengenalkan aku ke semua karyawan dan bilang kalau aku anak tirinya. Dia bilang ke mereka supaya jangan macam-macam sama aku,” ucap Briana akhirnya. Suaranya pelan, nyaris seperti bisikan, namun cukup jelas untuk didengar Arum. “Oh, jadi begitu…” Arum tersenyum lebar, tampak puas. “Bagus dong kalau begitu. Jeremy memang harus melakukan itu. Dia cuma ingin melindungimu.” Briana menghela napas panjang. “Tapi Ma, rasanya aneh. Aku merasa seperti diperhatikan lebih dari yang seharusnya. Semua orang di kantor jadi canggung. Mereka bahkan kelihatan takut untuk berbicara denganku.” “Briana, kamu harus paham,” kata Arum dengan lembut sambil menyentuh tangan putrinya. “Jeremy hanya ingin memastikan kamu dihormati. Lagipula, kalau mereka tahu kamu anak tirinya, mereka akan lebih hati-hati, kan? Itu bagus untukmu.” “Tapi aku tidak mau dianggap berbeda, Ma,” potong Briana dengan nada sedikit tegas. “Aku ingin di sana karena kemampuanku, bukan karena hubungan keluarga.” Arum tertawa kecil, mencoba meredakan ketegangan. “Sayang, kamu terlalu memikirkan hal kecil. Fokus saja pada pekerjaanmu. Tunjukkan kalau kamu memang pantas berada di sana. Percayalah, semuanya akan baik-baik saja.” Briana mengangguk kecil pada Mamanya sambil beranjak dari sofa. "Aku mau minum air dingin, Ma," katanya sambil melangkah menuju dapur. Namun, sebelum Briana sampai, Arum langsung memanggil salah satu pelayan rumah. "Tini, tolong buatkan jus jeruk untuk Briana. Pastikan dingin, ya," katanya dengan nada tegas tapi lembut. Pelayan itu segera mengangguk dan bergegas menuju dapur. Sementara itu, Arum kembali menatap putrinya. “Jeremy belum pulang? Biasanya kan kalian pulang bareng,” tanya Arum sambil menyilangkan tangan di depan d**a. Briana berhenti sejenak dan menoleh. “Papa Jeremy bilang dia ada pertemuan dengan klien, jadi akan pulang agak telat.” “Ah, begitu,” Arum mengangguk, tampak memahami. “Ya sudah, kamu istirahat saja. Kalau sudah kerja, pasti rasanya capek, kan?” Briana hanya tersenyum kecil, memilih tidak menjawab. Beberapa saat kemudian, Tini kembali membawa segelas jus jeruk yang masih segar dengan embun di permukaan gelasnya. Sebelum Briana bisa mengambilnya, Arum terlebih dahulu mengambil gelas itu dari tangan pelayan. “Nih, minum dulu,” katanya sambil menyodorkan gelas ke Briana. “Terima kasih, Ma,” jawab Briana sambil menerima jus jeruk itu. Dia meminumnya perlahan, menikmati rasa manis asam yang menyegarkan. Rasanya seperti menyapu lelah di tubuhnya. “Enak banget, Ma. Pas banget buat menghilangkan capek.” Arum tersenyum puas. “Ya, bagus kalau kamu suka. Sekarang, ceritakan lebih banyak tentang pekerjaanmu hari ini. Apa ada hal menarik yang terjadi?” tanyanya sambil duduk kembali di sofa, tampak antusias mendengar cerita putrinya. Briana meletakkan gelasnya di meja kecil. “Sebenarnya tidak ada yang terlalu menarik, Ma. Aku lebih banyak mempelajari sistem kerja di sana. Tadi juga banyak berkas yang harus aku pelajari.” “Dan Papa Jeremy? Dia nggak marah-marah kan sama kamu?” tanya Arum, setengah bercanda. Briana tertawa kecil. “Nggak, Ma. Dia baik kok. Tapi, aku merasa sedikit canggung, karena semua orang langsung tahu aku anak tirinya. Aku jadi pusat perhatian, dan rasanya aneh.” Arum menggeleng pelan sambil tersenyum. “Itu bukan hal buruk, Bri. Kamu harus belajar melihat ini sebagai keuntungan. Kalau semua orang tahu kamu anak Jeremy, mereka pasti akan menghormatimu. Kamu tinggal buktikan kalau kamu memang pantas ada di sana.” Briana mendesah pelan, merasa nasihat itu sulit diterapkan. Tapi, dia tahu Mamanya hanya ingin yang terbaik untuknya. “Iya, Ma. Aku akan berusaha,” katanya akhirnya. Arum menepuk tangan Briana dengan lembut. “Bagus. Ingat, kamu bukan hanya bekerja untuk dirimu sendiri, tapi juga untuk keluarga kita. Papa Jeremy mempercayaimu. Jangan sia-siakan kesempatan ini.” Briana mengangguk lagi, meski di dalam hati ia masih merasakan keraguan. Hari pertama di kantor Jeremy Corporate telah membuka matanya bahwa bekerja sebagai sekretaris bukanlah hal mudah, terutama ketika dia harus menghadapi sorotan dari rekan-rekan kerjanya. Setelah menghabiskan jus jeruknya, Briana berdiri. “Aku ke kamar dulu, Ma. Mau istirahat sebentar.” “Ya, istirahatlah. Jangan lupa makan malam nanti,” jawab Arum dengan lembut. Briana mengangguk dan berjalan menuju kamarnya. Dalam keheningan malam itu, dia bertekad untuk menemukan cara agar bisa diterima di kantor bukan sebagai "anak tiri Jeremy," tapi sebagai seseorang yang pantas ada di sana karena kemampuannya sendiri. ** Briana membuka seluruh pakaiannya dan kini ia bertelanjang. Dia merindukan Mr. J sugar daddy nya itu. Briana memfoto tubuh telanjangnya di depan cermin mengirimkan pada Mr. J Kitty_sexy: Daddy, apakah aku cantik dan seksi? Briana bertanya dan menunggu pesannya dibalas oleh Mr. J tapi ini sudah dua puluh menit. Namun lelaki itu tidak membalas pesaannya. Ahh… Mr. J bisa saja sedang sibuk. Lelaki kaya raya pasti akan selalu sibuk bukan? Briana tanpa sadar memainkan bukit kembarnya dan meremasnya pelan… “Ohhh… Jeremy… ahhh…” Briana memejamkan matanya dan tanpa sadar menyebut nama Jeremy. Papa tirinya yang seharian bersama dirinya di kantor dan membuat Briana salah tingkah dan tanpa sadar membayangkan tubuh kekar Jeremy tanpa pakaian. Shit! Briana memang sudah gila!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD