Rumah itu masih sama. Usang, sepi, dan nyaris roboh jika angin malam terlalu kencang berhembus. Mikayla menuruni angkot dengan langkah pelan. Tangannya menggenggam map berisi salinan kontrak kerja yang tadi diberikan HRD, seolah itu adalah tiket menuju hidup yang lebih layak. Tapi langkahnya terasa berat. Perutnya mual. Entah karena lapar atau karena satu nama yang terus bergema di kepalanya. Isi kepalanya dipenuhi nama Arsenio. "Arsenio," bisiknya dalam hati, penuh sesak. Pintu rumah neneknya mengeluarkan derit panjang saat didorong. Mikayla masuk, meletakkan tas lusuhnya di kursi kayu reyot yang lapuk di salah satu sisinya. Ruangan itu hanya diterangi satu bohlam kecil yang redup. Ia terduduk di lantai, bersandar di dinding yang mengelupas. Napasnya berat. Pikirannya riuh. Tangan g

