Niat Awal Yang Berubah Perlahan

1078 Words
Mikayla menutup pintu kamarnya keras. Punggungnya menempel pada kayu dingin, napasnya naik turun tidak beraturan. Bisikan Arsenio masih menguasai telinganya, membuat tubuhnya gemetar. Ia benci kenyataan bahwa bukan rasa takut yang dominan, melainkan api asing yang merayap liar di bawah kulitnya. Di depan cermin kamar mandi, ia melihat wajahnya sendiri. Pipi merah, bibir basah, mata yang tidak bisa menipu. Bayangan jemari Arsenio yang menahan tangannya di atas map muncul lagi. Suara berat itu terngiang, dekat sekali, seolah tadi ia benar-benar dicium. Tangannya menyentuh dadanya sendiri, mendengar detak jantungnya terlalu cepat. Ia membisikkan kata-kata lirih pada bayangannya. “Kenapa aku kecewa dia berhenti.” --- Pagi harinya, ruang makan dipenuhi aroma kopi dan roti. Mikayla datang lebih dulu, mencoba bersikap biasa. Tangannya mengaduk jus dengan tenang meski kepalanya penuh kekacauan. Arsenio muncul beberapa menit kemudian. Kemeja putihnya rapi, dasinya terikat ketat, sorot matanya gelap. Ia menarik kursi dengan suara gesekan tajam lalu duduk tanpa menoleh. Hening panjang menekan ruangan. Hanya bunyi sendok menyentuh piring yang terdengar. “Tidurmu nyenyak semalam” ucap Arsenio datar sambil menatap kopi di tangannya. Mikayla berhenti sejenak lalu menjawab dengan senyum tipis. “Cukup nyenyak. Tapi pikiranku dipenuhi seseorang.” Sendok di tangan Arsenio berhenti berputar. Bahunya menegang. “Pantas kau tidak kirim pesan.” Mikayla menatapnya lurus. “Kau menunggu? Bukankah kau bilang tidak pernah tergoda." Tatapan mereka bertemu. Tegangan itu nyata, seperti tali yang ditarik kencang siap putus kapan saja. Arsenio bangkit. Suara langkahnya berat, menyusuri meja hingga berhenti tepat di belakang Mikayla. Napasnya panas terasa di kulitnya. “Aku tergoda. Bahkan saat kau hanya duduk diam aku ingin menjatuhkanmu di meja ini dan mencium habis bibirmu.” Mikayla menahan napas. Jantungnya melonjak. “Kalau begitu lakukan." Arsenio menunduk, bibirnya nyaris menyentuh bahunya. “Aku masih mencoba jadi manusia.” Mikayla meremang. Tubuhnya kaku, tapi matanya tetap menatap tajam. “Kau tidak akan selamanya menahan diri.” Arsenio tersenyum tipis. “Mungkin lebih cepat dari yang kau kira.” Mikayla terdiam. Hatinya kembali diguncang rasa kecewa yang aneh. Setiap kali Arsenio mendekat, tubuhnya menjerit meminta lebih. Tetapi pria itu selalu mundur di saat terakhir. Ia membencinya sekaligus menginginkannya. Dan itu membuatnya semakin gila. Sementara Arsenio berlalu begitu saja meninggalkan Mikayla, sendirian. ** Musik lembut mengalun di restoran elegan yang penuh cahaya lampu gantung. Mikayla duduk di meja sudut bersama Leon, senior yang mengajaknya makan malam. Dress hitam sederhana membalut tubuhnya, kontras dengan gaun glamor para tamu lain. Justru kesederhanaan itu yang membuatnya menonjol. “Kayla,” suara Leon terdengar hati-hati sambil meletakkan gelas anggurnya, “apa benar Raka dikeluarkan dari kampus karena mencoba mengganggumu?” Mikayla terperangah, sendok di tangannya nyaris terjatuh. “Apa?” “Semua orang tahu. Rumornya cepat menyebar.” Leon menatapnya serius. “Bahkan Kristal ikut terseret.” Nama itu membuat Mikayla kaget lebih dalam. “Kristal?” “Ya. Katanya Raka melakukannya karena diminta Kristal agar mendekatimu. Seperti permainan kotor.” Mikayla tercekat, tenggorokannya kering. Ia tidak percaya mendengarnya, tapi cara Leon mengatakannya terdengar terlalu yakin untuk disebut gosip kosong. “Lalu siapa yang mengeluarkan Raka?” tanyanya dengan suara hampir berbisik. “Pastinya Arsenio. Dia pemilik kampus. Kau pikir siapa lagi yang bisa menendang seseorang semudah itu?” Mikayla terdiam, matanya membesar. Ia tidak pernah menyadari sejauh itu pengaruh Arsenio, dan lebih mengerikan lagi, betapa mudahnya pria itu mengendalikan hidupnya tanpa ia sadari. ** Mikayla baru pulang, dress hitam sederhana membalut tubuhnya. Ia berhenti seketika ketika melihat Arsenio berdiri di lorong, dasinya sudah terlepas, wajahnya dingin. “Kau dari mana?” suaranya tajam. “Makan malam,” jawab Mikayla santai, meski jantungnya berdebar. “Kenapa?” “Makan malam dengan siapa? Pakai baju begitu?” “Leon. Teman kampus. Dan ini cuma dress, bukan lingerie.” Mikayla mendongak menantang. Arsenio mendekat satu langkah. Matanya turun, menyapu tubuh Mikayla. “Apa dia menyentuhmu?” Mikayla menahan tatapannya. “Kalau iya?” Geraman keluar dari d**a Arsenio. Tangannya mencengkeram pinggang Mikayla, menarik tubuhnya rapat. “Jangan bermain dengan lelaki lain. Aku tidak suka berbagi.” Mikayla membalas tatapannya. “Aku bukan milik siapa pun.” Suasana menegang. Mikayla menarik napas dalam lalu bertanya, suaranya pelan namun tajam. “Jadi benar kau yang mengeluarkan Raka dari kampus?” Arsenio menyipitkan mata. Senyum miring muncul di wajahnya. “Kenapa? Kau kecewa dia pergi? Kau merindukan pria itu?” “Bukan itu maksudku. Aku hanya kaget. Aku baru tahu kau bisa bertindak sejauh itu,” Mikayla membantah cepat. “Kau kaget? Padahal jelas b******n itu nyaris menidurimu,” Arsenio mendesis dingin. “Dan sekarang kau menatapku seolah aku penjahat hanya karena menyingkirkannya?” “Aku tidak membela dia,” Mikayla meninggi. “Aku tidak pernah suka padanya.” “Oh ya?” Arsenio semakin dekat, tubuhnya menekan tubuh Mikayla hingga punggungnya terbentur dinding. Napasnya berat menyapu wajah gadis itu. “Kalau kau tidak suka, kenapa mau diajak ke klub? Kenapa kau mau menyesap minuman dari tangannya?” “Itu—aku tidak tahu!” Mikayla tersedak kata-kata sendiri. Arsenio mencengkeram tengkuknya, menahannya agar tak bisa bergerak. Tatapannya dalam dan menguasai. “Kau polos. Tapi kebodohanmu bisa membunuhmu. Kalau bukan aku yang datang malam itu, tubuhmu sudah jadi mainan.” “Kenapa harus kau yang selalu muncul!” Mikayla melawan, meski napasnya tercekat. “Aku tidak butuh kau mengaturku.” Arsenio tertawa rendah, suaranya penuh sarkas. “Bohong. Kau bahkan masih mengingat bagaimana aku menahan diri malam itu, kan?” Mikayla membeku, tubuhnya gemetar. “Kau gila.” Arsenio menunduk, wajahnya begitu dekat, bibirnya nyaris menyentuh bibir Mikayla. “Gila karena kau. Karena setiap kali kau menantangku, aku hanya ingin merobek habis bentengmu.” Mikayla menahan napas. “Kau tidak akan berani.” Arsenio tersenyum tipis. “Salah. Aku terlalu berani.” Detik berikutnya, bibirnya menutup bibir Mikayla dengan ciuman keras dan liar. Tidak ada lagi ruang untuk penolakan. Hasrat, amarah, dan frustrasi bercampur jadi satu. Mikayla sempat menolak, tangannya mendorong d**a Arsenio, tapi dorongan itu berubah jadi genggaman erat di kerah kemejanya. Ciuman itu semakin panas, kasar, penuh tuntutan. Napas mereka berpacu, d**a mereka sama-sama terbakar. Arsenio menekan tubuhnya lebih rapat ke dinding, tangannya menelusup ke rambut Mikayla, menariknya ke dalam ciuman yang seakan tidak akan pernah selesai. Saat akhirnya ia melepaskan, wajah Arsenio gelap, matanya liar. “Aku ingin menyingkirkanmu,” katanya dengan suara berat. Senyum tipis mengiris bibirnya. “Tapi lebih dari itu, aku ingin menghabisimu dengan cara paling liar.” Mikayla terdiam, napasnya terengah, tubuhnya bergetar. Ia tahu batas mereka sudah makin tipis dan tidak ada jalan kembali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD