Godaan Yang Tersirat Dibalik Bisikan

1041 Words
Di atas meja, pelayan rumah meletakkan sebuah map cokelat. “Nona, ini tertinggal di meja ruang kerja. Katanya penting sekali, harus dibawa ke kantor Tuan Arsenio.” Mikayla menoleh, menatap map itu lama. “Kenapa harus aku yang antar?” gumamnya kesal. Namun ia tahu, tidak ada orang lain yang bisa dipercaya membawa dokumen rahasia seperti ini. Ia meraih map itu, memasukkannya ke tas. Di dalam hatinya ia menimbang. Setiap kali bertemu Arsenio, dunia selalu jadi rumit. Tapi kali ini ia bertekad hanya akan menyerahkan map lalu pergi, tanpa bicara satu patah kata pun. ** Gedung Mahendra Group menjulang dingin dan megah. Langkah Mikayla bergema di lobi, tangannya menggenggam map erat-erat. Sesampainya di resepsionis, ia hanya mendapat jawaban singkat. “Pak Arsenio masih meeting. Ruang pribadinya terbuka. Silakan letakkan di sana.” Dengan berat hati Mikayla menapaki lorong menuju pintu bertuliskan nama Arsenio Mahendra. Begitu pintu itu terbuka, aroma maskulin khas Arsenio langsung menyergap. Ruangan itu rapi, mengintimidasi, penuh file dan catatan bisnis. Ia meletakkan map cokelat di meja. Tapi matanya berhenti pada satu folder hitam terbuka. Rasa penasaran menyeret jemarinya untuk menyentuh. Satu catatan kecil membuat darahnya membeku. Potensi merger enam bulan lagi. Mahendra terlalu lamban. Akan kupotong sebelum ia sadar. Mikayla menahan napas, bibirnya bergetar. “Kau ingin menjatuhkan ayahmu sendiri,” bisiknya. Suara pintu berderit. Mikayla sontak menoleh. Arsenio berdiri di ambang pintu, jas terbuka, dasinya longgar, tatapannya menusuk. “Kau berani membuka dokumen pribadiku. Itu pencurian, Mikayla.” Suaranya dingin, tanpa nada naik turun. Mikayla buru-buru menutup folder itu, meletakkannya kembali. “Dan kau berani menyimpan rencana kotor. Itu pengkhianatan.” Arsenio melangkah maju, langkahnya mantap di atas lantai marmer. Senyum tipis terbit di wajahnya, lebih mirip ancaman daripada keramahan. “Kau datang ke sini untuk mengembalikan map, bukan menghakimi aku.” “Aku tidak bisa pura-pura buta setelah melihat itu.” Mata Arsenio menyipit. “Hati-hati dengan kata-katamu. Kau tidak tahu apa pun tentang bisnis ini.” Mikayla mengangkat dagu, meski jantungnya kacau. “Aku tahu cukup banyak. Kau tega mengkhianati ayahmu sendiri.” Arsenio menahan meja di belakang Mikayla, tubuhnya condong hingga ruang antara mereka nyaris hilang. “Jangan berani-berani menilai aku. Kau pikir kau siapa masuk ke wilayahku, membuka apa yang tidak kau pahami, lalu bicara seolah kau bisa menantangku.” Napas Mikayla tersengal. “Aku tidak takut padamu.” Arsenio mendekat lebih rapat, napasnya hangat menyapu wajah Mikayla. “Kau seharusnya takut. Karena sekali aku kehilangan kesabaran, bukan hanya rahasia yang akan kubongkar, tapi juga kau.” Mikayla mematung, tubuhnya kaku. Di balik amarah Arsenio, ada sesuatu yang lebih gelap, lebih berbahaya, sesuatu yang membuat dadanya semakin sesak. Harusnya ia pergi setelah diusir, tapi sesuatu menahannya. Sesuatu yang berbahaya dan tidak masuk akal. Ia ingin melihat seberapa jauh Arsenio akan menekan dirinya. Arsenio yang duduk di kursinya tidak beranjak. Matanya tetap menatap Mikayla, penuh bara yang terbungkus tenang. Tangan besarnya memutar pena di antara jari, gerakannya santai, tapi justru membuat Mikayla makin gugup. “Kau masih di sini.” Nada suaranya rendah, berat, membuat bulu kuduk Mikayla meremang. “Atau kau menunggu aku benar-benar kehilangan kendali.” Mikayla mengangkat dagu, meski suaranya bergetar. “Aku hanya ingin memastikan kau sadar kalau aku bukan seseorang yang bisa kau injak semaumu.” Arsenio terkekeh pendek. Ia berdiri, langkahnya mantap mendekat. Dalam hitungan detik, jarak mereka kembali hilang. Ia berdiri tepat di depannya, terlalu dekat. Satu tangannya menekan meja di belakang Mikayla, satu lagi meraih dagunya agar menatap lurus padanya. “Bukan diinjak,” bisiknya, tatapannya menusuk. “Tapi kau sudah terlalu sering membuatku ingin memilikimu.” Mikayla terkejut. Tangannya refleks menepis, tapi genggaman Arsenio terlalu kuat. Wajah mereka hampir bersentuhan. Nafasnya menghangatkan kulit pipi Mikayla, membuat jantungnya berdetak semakin kacau. “Kau gila,” bisik Mikayla, meski tubuhnya malah merespons berbeda. “Ya. Gila karena setiap kali melihatmu, aku harus menahan diri,” sahut Arsenio dengan suara parau. Jemarinya turun dari dagu ke leher, berhenti tepat di tulang selangka, menekan pelan tapi cukup untuk membuat Mikayla tercekik udara. “Kau tidak berhak menyentuhku,” desis Mikayla. “Oh ya? Tapi tubuhmu sendiri yang gemetar setiap kali aku mendekat.” Mikayla mencoba berbalik, tapi Arsenio lebih cepat. Ia menahan pinggang Mikayla, mendorongnya ke meja kerja yang dingin. Punggung Mikayla menyentuh permukaan kayu, dan tubuh besar Arsenio berdiri tegak di depannya. “Katakan padaku kau benar-benar tidak menginginkannya,” ucap Arsenio, suaranya rendah, tajam, seakan memaksa. Mikayla membeku. Kata-kata itu membuatnya semakin sulit bernapas. Ia tahu ia harus berkata tegas, menolak, tapi lidahnya kelu. Yang keluar justru desahan tertahan. “Aku… tidak…” Arsenio tersenyum miring, penuh kemenangan. Tangannya bergerak ke sisi wajah Mikayla, lalu perlahan menelusuri garis rahang hingga berhenti di bibirnya. Ibu jarinya menyentuh lembut sudut bibir yang bergetar. “Kau bisa berbohong dengan kata-kata. Tapi tubuhmu tidak bisa membohongiku.” Mikayla memejamkan mata, mencoba mengendalikan diri. Tapi sentuhan itu membuat tubuhnya semakin tegang, darahnya berdesir cepat. Ia ingin menepis tangan Arsenio, tapi jemarinya justru mencengkeram tepi meja lebih erat, seolah butuh penopang agar tidak terjatuh. Arsenio mendekatkan wajahnya, begitu dekat hingga Mikayla bisa mencium aroma maskulin yang pekat dari tubuhnya. “Sekali aku menciummu, aku tidak akan berhenti.” Detik itu, Mikayla merasakan napas panas pria itu di bibirnya. Ia tahu ia harus menolak, harus menjauh, tapi tubuhnya justru menunggu. Degup jantungnya berdentum begitu keras hingga ia yakin Arsenio bisa mendengarnya. Namun tepat saat bibir Arsenio nyaris menyentuhnya, ia menahan diri. Rahangnya mengeras, ia menarik wajahnya menjauh, menatap Mikayla dengan sorot mata yang masih membara. “Lihat, Mikayla. Aku bisa menghancurkanmu sekarang. Tapi aku memilih untuk tidak melakukannya. Itu perbedaan antara aku dan semua pria lain.” Mikayla membuka mata, menatapnya penuh emosi. Ada marah, ada takut, tapi juga ada sesuatu yang tak bisa ia akui. Arsenio mundur setapak, tubuhnya masih mengurung Mikayla di meja. “Sekarang, kau boleh pergi. Tapi jangan pernah datang ke ruanganku lagi kalau kau tidak siap untuk benar-benar terbakar.” Mikayla berdiri gemetar, wajahnya memanas. Ia segera meraih map yang tadi diletakkan di meja, lalu melangkah cepat ke arah pintu. Namun sebelum keluar, ia menoleh sekilas. Tatapan Arsenio masih mengikutinya, intens, tak bergeming. Ia keluar dengan d**a berdegup kencang, menyadari satu hal. Apa pun yang terjadi barusan bukan sekadar permainan. Itu adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih berbahaya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD