Cengkeraman Kakak Tiri di Rumah Baru

1285 Words
“Bu, haruskah Ibu menikahi pria itu?” suara Mikayla pecah, nyaris tak terdengar. Tangannya menggenggam pigura berisi foto ayahnya. Air mata jatuh membasahi kaca pigura, membuat wajah ayahnya terlihat buram. “Menurutmu siapa yang akan menafkahimu, Kayla?” suara Hilda datar namun tegas, seolah pertanyaan Mikayla hanya buang waktu. “Dengan cara ini, Ibu bisa membiayai kuliahmu. Kau tidak perlu susah payah.” “Aku bisa kerja. Aku sanggup—” Mikayla berusaha membela diri, tapi suaranya bergetar. “Kerja apa? Kau mau habiskan hidupmu jadi pembantu? Jangan bodoh.” Suara Hilda meninggi, penuh penekanan. "Tanpa kuliah, kau takkan jadi apa pun, Mikayla." Mikayla terdiam. Wanita ini bukan ibu kandungnya, tapi selama ini ia merawat Mikayla dengan kasih sayang. Justru itu yang membuat luka ini semakin sakit. Bagaimana bisa Hilda begitu cepat melupakan ayahnya? “Apa Ibu mencintainya?” bisik Mikayla, penuh harap meski tahu jawabannya mungkin akan menyakitkan. Hilda tersenyum, senyum yang membuat Mikayla muak. “Dia baik. Siapa sangka, Mahendra Pratama, pria sekelas itu, mau menikahi perempuan sederhana seperti Ibu.” Mahendra Pratama. Nama itu saja sudah cukup membuat d**a Mikayla sesak. Pengusaha tua berkuasa, kaya raya, nyaris tujuh puluh tahun. Apa yang sebenarnya ia cari dari Hilda? “Mungkin karena dia sudah tua,” Mikayla bergumam. “Kau benar.” Hilda menatapnya lekat. “Dia tidak mencari yang muda dan cantik. Dia hanya ingin keluarga. Dan Kayla, dia punya seorang putra. Arsenio Mahendra. Dia akan menjadi kakak tirimu.” Bulu kuduk Mikayla meremang tanpa alasan. "Kau harus akur dengannya, kalau perlu dekati dia. Kau dan dia bisa jadi saudara tiri yang saling mendukung." "Saudara tiri...." Mikayla bergumam, pedih. ** Hari itu akhirnya datang. Gerbang rumah megah terbuka, seperti mulut monster yang siap menelan mereka. Kristal lampu menggantung, lorong panjang berkarpet merah membentang. Dinding penuh lukisan tua, aroma kayu mahal bercampur dengan hawa dingin. “Kayla, mulai hari ini rumahmu di sini,” ucap Mahendra dengan suara berat. Senyumnya tipis, namun sorot matanya membuat Mikayla ciut. “Terima kasih, Tuan Mahendra.” Suara Mikayla terdengar kaku. Mahendra mengernyit. “Kau tidak perlu memanggilku begitu. Panggil aku Papa, agar lebih akrab.” Mikayla menelan ludah. Kata itu tersangkut di tenggorokannya. Menyebut pria asing seusia kakeknya sebagai Papa terasa seperti mengkhianati ayah kandungnya. Haruskah ia melakukannya. Tatapan Hilda menusuk. “Kayla, jangan membuat papamu tersinggung.” Sikapnya seolah tidak ingin dibantah. Dengan berat hati, Mikayla memaksa bibirnya bergerak. “Terima kasih, Pa.” Mahendra tersenyum puas, seakan ia baru saja menaklukkan sesuatu. Mikayla merasa tak nyaman dengan segalanya. Ia ingin kembali ke rumah lamanya. Ketukan sepatu terdengar. Arsenio muncul di ambang pintu ruang makan. Tinggi, tegap, wajahnya tampan dengan alis tegas dan tatapan tajam. Namun tidak ada kehangatan di wajah itu. Yang ada hanya hawa dingin, sombong, dan muak. “Arsenio, kemarilah. Sambut ibu barumu, juga adikmu,” kata Mahendra. Arsenio tidak langsung bergerak. Kepalanya menoleh perlahan, sorot matanya dingin dan tajam, bukan tatapan seorang anak yang menerima keluarga baru. Pandangannya berhenti pada Hilda, naik-turun seperti menelanjangi topengnya, lalu menggeser ke arah Mikayla yang berdiri gugup. “Ibu baru, ya?” suara Arsenio rendah, nyaris mendesis. Bibirnya melengkung tipis, senyum itu bukan ramah melainkan penghinaan yang tertahan. Ia melirik Mikayla tanpa belas kasihan. “Dan ini adik kecil yang harus kuperlakukan seperti keluarga?” Nada licin itu membuat udara di ruangan terasa lebih berat. Hilda tersenyum kaku, mencoba menjaga wibawanya. Mikayla menunduk, jantungnya berdebar. Arsenio masih menatapnya, sorot matanya tajam, sinis. Senyum miringnya makin jelas. “Lucu,” gumamnya pelan, “aku bahkan belum menganggap wanita itu ibu tiriku, tapi sudah dipaksa menganggap gadis ini adik tiriku.” Kalimat itu menggantung, tajam seperti pisau. “Arsenio, jaga sikapmu! Beraninya kau?" tegur Mahendra, nadanya menahan amarah. “Untuk apa? Semua orang di rumah ini hanyalah tamu,” jawab Arsenio dingin sebelum berbalik pergi. "Kau ini—" "Sayang, sudah biarkan saja." Hilda tersenyum canggung, mencoba meredakan suasana. “Dia tampan sekali, ya, Arsenio mungkin belum siap saja,” katanya sambil menatap suaminya. Mikayla terdiam. Kata-kata itu membuatnya semakin muak. Jelas sekali kebencian di mata pria itu barusan, dan Hilda bersikap seolah itu bukan apa-apa. Jadi, dia putra tunggal Mahendra. Tampaknya dia tidak menyukai keberadaan aku dan ibu, batinnya. ** Malamnya, Mikayla duduk di kamar baru, memeluk pigura ayahnya erat-erat. Pintu tiba-tiba terbuka, berderit tanpa ketukan. Sosok tinggi berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan dingin. “Wah, tuan putri. Kau pikir ini rumahmu?” suara Arsenio terdengar tajam. Mikayla berdiri kaku. “Kau masuk sembarangan,” ucapnya dengan suara bergetar. Arsenio mendekat, langkahnya pelan tapi mengancam. “Berlagak sekali. Apa yang disuruh pak tua padamu? Mendekatiku?” “Aku tidak tertarik padamu,” Mikayla bersuara keras meski jantungnya berdegup liar. Arsenio mencengkeram wajahnya, mendorong tubuh Mikayla ke kasur. Tatapannya menusuk, dingin, penuh ejekan. “Jangan sok polos. Kau pikir aku tidak tahu maksud kalian masuk ke rumah ini?” “Lepaskan! Kau gila!” Mikayla meronta, suaranya pecah. Arsenio tersenyum sinis. “Menarik sekali. Adik tiri yang cantik. Kau boleh melawan sekarang, tapi aku ingin tahu sampai kapan.” Dengan sisa tenaga Mikayla mendorong tubuhnya. Arsenio mundur satu langkah, tapi tatapannya tidak goyah. “Kita lihat nanti. Dunia di rumah ini tidak akan seindah yang kau harapkan,” katanya dingin lalu melangkah keluar. Pintu menutup keras. Mikayla jatuh terduduk di ranjang, tubuhnya gemetar hebat. Tangannya meremas pigura ayahnya, suaranya pecah lirih. “Dia gila! Dan apa aku harus bertahan?" "Tidak! Aku tidak mau dianggap parasit, aku tidak menginginkan ini." Untuk pertama kalinya, Mikayla benar-benar merasa terjebak. Rumah ini bukan rumah, melainkan jerat yang bisa menghancurkannya kapan saja. Belum sempat menenangkan diri, pintu kamar kembali terbuka. Mikayla terperanjat, darahnya seolah berhenti mengalir. Bayangan di ambang pintu membuat jantungnya melompat, ia yakin Arsenio kembali. Namun ternyata Hilda yang masuk. “Kayla, ada apa denganmu?” suara Hilda terdengar datar, tatapannya menelusuri kamar. Mikayla segera bangkit, air matanya bercucuran. Ia berlari kecil ke arah Hilda, menggenggam lengan ibunya erat-erat. “Bu, tolong, ayo kita pergi dari rumah ini. Aku tidak mau tinggal di sini. Aku mohon, Bu.” Tubuh Mikayla bergetar, suaranya parau penuh ketakutan. “Aku bisa bekerja, kita bisa bertahan tanpa harus di sini. Aku mohon, jangan paksa aku tinggal bersama orang-orang ini.” Hilda menatap putrinya lama, wajahnya tanpa ekspresi. Semakin erat Mikayla memohon, semakin dingin sorot mata wanita itu. “Bu, dengar aku. Aku merasa terancam. Tolong, dengarkan aku kali ini,” Mikayla terus memohon, tangisnya pecah, matanya memerah. Namun tiba-tiba Hilda melotot, tatapannya tajam seperti pisau. “Cukup, Kayla. Jangan pernah mempermalukan Ibu di rumah ini. Kau harus belajar diam dan patuh.” Mikayla terhenyak. Kata-kata itu seperti tamparan di wajahnya. Air matanya tumpah deras, tapi tanpa suara. Suaranya tercekik, seakan pita suaranya membeku oleh dinginnya sikap Hilda. Hilda melepaskan genggaman Mikayla dengan kasar. “Jangan ulangi ini lagi. Kau harus tahu tempatmu.” Tanpa menunggu jawaban, Hilda berbalik dan menutup pintu kamar dengan keras. Mikayla jatuh terduduk, bahunya berguncang hebat. Tangisnya keluar tanpa suara, hanya tersisa isakan tertahan. Dalam sekejap ia sadar, ia benar-benar sendirian di rumah ini. Tidak ada lagi ibu, tidak ada lagi ayah, tidak ada lagi rumah yang bisa ia panggil rumah. Tangannya meremas pigura ayahnya, napasnya tersengal di antara tangis. “Ayah, kenapa Ibu begitu tega. Kenapa aku harus dipaksa hidup di tempat ini.” Suaranya pecah, seolah setiap kata menyayat tenggorokannya. Ia menatap pintu kamar yang baru saja ditutup Hilda. “Semua orang di rumah ini ingin aku diam. Ingin aku patuh. Tapi siapa yang peduli padaku? Tidak ada.” Mikayla menghantam bantal dengan kedua tangannya, air matanya semakin deras. “Aku benci ini. Aku benci rumah ini. Aku benci mereka semua.” Kata-kata itu pecah di udara, lalu tenggelam dalam kesunyian kamar mewah yang terasa seperti penjara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD