“Kayla, ayo sarapan!”
Mikayla menutup mata rapat-rapat. Suara itu terdengar lembut, penuh perhatian, seolah datang dari seorang ibu yang hangat. Namun bagi Mikayla, suara Hilda kini terasa asing, menyesakkan. Ia sudah tidak merasakan kenyamanan darinya.
“Iya, Bu,” jawabnya singkat, hambar.
Hari ini hari pertama kuliah. Bukan di kampus yang ia impikan, melainkan universitas swasta bergengsi pilihan Mahendra. Bagi Mikayla, itu hanya tempat asing yang akan menelannya hidup-hidup.
Ia turun dengan langkah teratur, rambut rapi, wajah disembunyikan di balik senyum tipis. Meja makan megah itu membuatnya bergidik, karena ia teringat tatapan pria yang sejak awal membuatnya muak: Arsenio.
Hilda sudah menyiapkan roti dan segelas s**u. Sarapan tampak normal, tapi Mikayla tahu ibunya tidak benar-benar memperhatikannya. Selama ini, ia selalu suka nasi goreng, bukan roti. Bahkan jarang menyentuh roti seumur hidupnya.
“Seperti bayi saja.” Suara berat tiba-tiba terdengar di belakangnya.
Mikayla kaku. Ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa pemilik suara itu. Arsenio.
Ia duduk di samping Mikayla tanpa diminta. Tubuh gadis itu langsung menegang. Sorot mata Arsenio menyapu meja, lalu berhenti pada gelas s**u di hadapannya.
“Milik Mikayla kelihatannya lezat,” katanya dengan nada licik.
Mikayla menahan napas. Nada itu bukan sekadar bicara tentang minuman. Dan benar saja, tangan Arsenio merayap ke pahanya di bawah meja. Mikayla tersentak, tapi tubuhnya membeku. Ia ingin berteriak, tapi tak berani.
Batinnya mendidih. Kalau saja bukan di meja makan, ia sudah menampar pria itu.
“Kalau begitu, kau mau yang ini juga?” Hilda mendorong segelas s**u lain ke depan Arsenio, polos mengira putranya bicara soal minuman.
Arsenio tersenyum miring. “Sudah tidak mood.”
Tangannya terlepas dari paha Mikayla, namun ia membisikkan kata-kata ke telinga gadis itu. “Santai saja, Adik kecil. Susumu tidak akan kuambil.”
Tubuh Mikayla bergetar. Rahangnya mengeras, ia menggeram pelan. “Sialan.”
Mahendra masuk, duduk, dan menyesap kopi. Mikayla hampir tak bisa menelan makanannya. Ia ingin mengiris pria di sampingnya dengan pisau meja.
“Antarkan Mikayla ke kampusnya,” ujar Mahendra.
Arsenio mendongak, sorot matanya gelap. Ia tidak suka diperintah.
“Aku sudah pesan taksi,” potong Mikayla cepat.
Arsenio menoleh, bibirnya menekuk senyum dingin. Ia meraih roti dari piring Mikayla lalu menggigitnya tanpa izin. “Adik kecil, kau tahu aku di sini sebagai kakakmu.”
Mikayla berdiri, menahan diri. “Saya permisi dulu, Pa. Terima kasih, Bu.”
“Papa, ya. Sopan sekali,” cibir Arsenio.
Hilda mencium pipi Mikayla seperti ibu penuh kasih. Semua hanya topeng di depan Mahendra.
“Arsenio, jaga dia,” kata Mahendra lagi.
Arsenio tidak menjawab. Ia hanya bangkit dan pergi dengan langkah malas.
Begitu Mikayla keluar rumah, ia menghembuskan napas berat. “Astaga, apa-apaan keluarga ini.”
Tiba-tiba mobil hitam berhenti di depannya. Jendela terbuka, memperlihatkan wajah Arsenio.
“Mana taksimu, gadis kecil?”
“Pria gila menjijikkan. Aku membencimu,” geram Mikayla.
Arsenio keluar, menarik tubuhnya tanpa memberi kesempatan. “Diam. Duduk saja.”
“Lepaskan aku! Kau sakit jiwa!”
“Terserah kau mau menyebut apa. Aku hanya menolong adik tiriku yang keras kepala.”
“Jangan panggil aku adikmu!”
“Kenapa? Takut kau nyaman dengan sebutan itu? Atau takut kau mulai nyaman denganku?”
Mikayla melotot, wajahnya memerah karena marah. “Kau melecehkanku tadi. Aku tidak akan diam.”
Arsenio terkekeh. “Lawanlah sekuatmu. Semakin kau marah, semakin kau terlihat menarik.”
“Menjijikkan!”
Arsenio mencondongkan tubuh, suaranya lirih menusuk. “Baru pahamu saja sudah membuatmu gemetar. Bagaimana kalau aku lebih jauh dari itu?”
Mikayla terdiam. Ujung matanya panas, tangannya mengepal. Ia ingin menampar pria itu, tapi mobil mendadak direm keras.
“Sudah sampai,” katanya ringan.
Mikayla membanting pintu, berjalan cepat tanpa menoleh. Ia mengangkat jari tengah ke udara. “Dasar b******k!”
Arsenio tertawa kecil. “Keras kepala. Tapi kenapa begitu seksi.”
---
Kampus itu megah, penuh wajah-wajah angkuh. Baru beberapa menit di kelas, Mikayla sudah dikelilingi tatapan.
“Hei, kau siapa?” seorang gadis berpenampilan mewah berdiri di depannya, dikelilingi beberapa teman.
“Ada urusan apa?” Mikayla menjawab datar.
“Wah, berani sekali. Aku Kristal.”
Mikayla memilih diam, memasang earphone. Kristal langsung menariknya kasar dan melemparnya ke lantai.
“Lihat semua, orang miskin masuk kampus elite.”
Tawa merendahkan bergema.
Dosen masuk dan menyaksikan kejadian itu. “Mikayla, ya? Ini earphonemu.” Ia mengambil dan mengembalikan dengan tenang. “Tidak ada orientasi di sini. Semua setara. Hentikan sikap meremehkan.”
Kristal menatap dosen. “Pak, siapa dia sebenarnya?”
“Dia putri Mahendra Pratama.”
Seketika kelas hening.
“Mahendra? Ayahnya Arsenio?” Kristal menutup mulutnya, matanya membesar.
Bisik-bisik menyebar cepat. Mikayla hanya menunduk, dadanya sesak. Ia tidak menginginkan sorotan ini.
Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya. “Jadi kau adik tiri Arsenio?”
Mikayla menoleh, matanya tajam penuh amarah. “Aku bukan adiknya. Dan aku tidak pernah mau menjadi bagian dari keluarga itu.”
Kelas mendadak gaduh, bisikan merambat cepat seperti api yang menjalar.
“Putri Mahendra, jadi benar dia adik tirinya Arsenio.”
“Pantas saja berani melawan Kristal.”
Mikayla ingin menutup telinganya, tapi suara-suara itu terus menghantamnya.
Kristal berdiri dengan d**a terangkat, wajahnya dipenuhi senyum puas. “Jadi kau tinggal serumah dengan Arsenio. Menarik sekali. Semua perempuan di kampus ini rela melakukan apa saja hanya untuk bisa sekadar menyapanya. Tapi kau, anak baru yang miskin dan tidak berkelas, tiba-tiba mendapat tempat paling dekat dengannya. Apa yang kau lakukan agar bisa masuk ke rumah Mahendra? Menjual dirimu lewat ibumu?”
Tawa teman-temannya meledak, menusuk telinga Mikayla.
Darah Mikayla mendidih, matanya memanas. “Kau tidak tahu apa-apa,” jawabnya pelan, meski suaranya bergetar.
Kristal mendekat, langkahnya anggun namun penuh kesombongan. Ia menunduk tepat di depan wajah Mikayla. “Aku tahu lebih dari cukup. Arsenio tidak pernah memberi perhatian pada siapa pun, bahkan aku yang selalu ada di sekitarnya. Tapi kini kau akan terus mendapat tatapannya setiap hari, karena kau serumah dengannya. Kau sadar tidak, Mikayla? Semua orang di sini akan melihatmu sebagai gadis murahan yang tiba-tiba menjadi pusat hidup Arsenio.”
Bisikan kembali menggema, kali ini bercampur dengan tawa sinis. Mikayla mencengkeram meja erat, mencoba menahan diri agar tidak menangis di depan mereka.
Kristal menyeringai lebih lebar. “Apa kau pikir akan bertahan lama? Kau akan hancur, Mikayla. Karena aku tidak akan diam melihat seorang gadis kampung sok suci merebut perhatian pria yang selama ini menjadi incaran semua perempuan. Ingat baik-baik, aku tidak akan membiarkanmu tenang di sini.”
Air mata Mikayla akhirnya jatuh. Bukan tangis keras, melainkan tetesan diam yang terasa jauh lebih menyakitkan. Ia merasa seluruh dunia menertawakannya, dan Kristal berdiri tepat di tengah, tersenyum puas melihatnya patah.
Ruangan penuh suara berbisik, nama Arsenio melayang-layang di udara. Untuk pertama kalinya, Mikayla sadar bahwa bayang-bayang pria itu bukan hanya menghantui rumah, tetapi juga menjeratnya di kampus.
Kelas kembali gempar.