Awal Dari Ketergantungan

997 Words
Mikayla membanting tas ke atas ranjang, napasnya memburu. Kata-kata Kristal terus berputar di kepalanya, menusuk lebih tajam daripada tawa semua orang di kelas. Menjual dirimu lewat ibumu. Kalimat itu membuat dadanya sesak. Tangannya gemetar ketika meraih bantal, lalu ia pukulkan ke kasur dengan penuh amarah. “Sialan, Kristal! Kau pikir aku mau jadi bagian dari keluarga ini?!” suaranya pecah, meski berusaha ditahan agar tidak terdengar ke luar. Air matanya jatuh deras. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangan, tubuhnya bergetar hebat. “Aku bukan murahan! Aku tidak pernah minta tinggal di rumah ini. Aku tidak pernah minta jadi adik tiri Arsenio!” Ia menghantam bantal lebih keras, seakan itu bisa meredakan sakit di dadanya. “Kenapa semua orang melihatku seperti aku yang salah?!” Foto dirinya bersama ayah di meja belajar menangkap pandangannya. Mikayla meraihnya, menggenggam pigura itu erat-erat. “Kalau Ayah masih ada, aku tidak akan jadi bahan hinaan. Aku benci mereka. Aku benci keluarga Mahendra. Dan aku benci Arsenio…” Tangisnya pecah lagi, kali ini ia menekap mulut dengan bantal agar tidak terdengar siapa pun. Pintu berderit. Mikayla mendongak cepat, tubuhnya menegang. Sosok tinggi dengan bahu tegap berdiri di ambang pintu. Arsenio. Tatapannya dingin, seperti menilai kelemahan yang baru saja ia lihat. “Kenapa tidak dikunci,” katanya ringan, nada suaranya penuh tekanan. “Aku bilang keluar dari kamarku!” suara Mikayla serak, namun tegas. Air matanya masih membekas di pipi, tetapi matanya menatap Arsenio dengan keberanian terakhir yang tersisa. Arsenio melangkah masuk tanpa ragu, menutup pintu dengan santai. “Kamarmu? Kau terlalu cepat merasa memiliki. Rumah ini milik Mahendra, dan aku pewarisnya. Tidak ada ruang di sini yang benar-benar milikmu.” Mikayla menahan napas, wajahnya merah oleh amarah. “Kalau boleh memilih, aku sudah pergi jauh dari kalian sejak awal.” Arsenio terkekeh kecil, matanya penuh ejekan. “Bagaimana kampus elit barumu, Mikayla? Menarik?” ucapnya sarkastis, setiap kata terasa seperti belati. Mikayla terdiam. Matanya kembali memanas, merah karena ingatan akan tawa Kristal, hinaan yang menusuk, tuduhan kejam yang tidak bisa ia lupakan. Tangannya mengepal, tubuhnya kaku, tetapi lidahnya kelu. Arsenio mencondongkan tubuh sedikit, menyipitkan mata seolah membaca isi pikirannya. “Kau tidak perlu jawab. Aku tahu. Gadis baru yang tiba-tiba jadi putri Mahendra, tentu saja akan jadi bahan ejekan. Dan aku yakin mereka akan lebih kejam dariku. Itu sudah pasti.” Air mata jatuh lagi, meski Mikayla buru-buru membuang wajah. “Kau kejam,” bisiknya lirih. Arsenio mendekat, jaraknya kini terlalu dekat, membuat napas Mikayla tercekat. Senyumnya melebar, dingin. “Kejam atau jujur? Kau boleh benci aku, tapi kau tahu aku benar.” Mikayla menutup wajah dengan kedua tangannya, tubuhnya gemetar. Arsenio berbalik, membuka pintu dengan gerakan tenang seolah tidak terjadi apa-apa. Namun sebelum keluar, ia menoleh sekali lagi, matanya berkilat penuh ancaman. “Kau tidak akan pernah tenang, Mikayla. Tidak di rumah ini, dan tidak juga di kampusmu.” Pintu tertutup rapat. Mikayla jatuh terduduk di lantai, menggenggam bantal erat-erat. Air matanya pecah tanpa suara, dan di dalam hatinya, ia berbisik penuh putus asa. ** Mikayla duduk di lantai dengan tubuh gemetar, air matanya belum juga berhenti. Kedua tangannya memeluk lutut erat-erat, seolah hanya posisi itu yang bisa membuatnya bertahan. Ia menatap kosong ke dinding, pikiran berkecamuk tanpa arah. Aku harus pergi dari rumah ini. Kalimat itu berulang-ulang menggema di kepalanya. Rasanya tidak ada tempat yang aman. Di kampus ia jadi bahan hinaan, di rumah ia jadi sasaran ejekan. Bahkan kamarnya sendiri tidak lagi terasa sebagai ruang pribadi. Ia menatap tasnya yang tergeletak di ranjang. Muncul keinginan untuk segera mengemasi semua barang, keluar, lari, dan tidak pernah kembali. Tapi ke mana? Ia tidak punya uang yang cukup, tidak punya tempat tujuan. Ibunya pun kini lebih berpihak pada Mahendra ketimbang dirinya. “Kalau aku pergi, apakah Ibu akan mencariku? Atau justru lega karena aku hilang dari hidupnya?” bisiknya lirih. Pikirannya semakin kacau. Ada rasa ingin memberontak, tapi juga ketakutan yang membelenggu. Ia tahu Arsenio tidak akan diam jika ia berusaha kabur. Tatapan pria itu saja sudah cukup membuatnya membeku, apalagi jika benar-benar menghadapi amarahnya. Air matanya jatuh lagi. “Ayah… aku rindu. Kenapa kau meninggalkanku di saat seperti ini. Aku tidak tahu harus bagaimana…” Ia meremas bantal, menggigit bibirnya hingga hampir berdarah. Tubuhnya bergetar hebat, antara marah dan putus asa. Di luar kamar, Arsenio berdiri bersandar pada dinding. Telinganya menangkap suara isakan pelan dari dalam. Sebuah senyum tipis terbit di bibirnya, bukan senyum bahagia, melainkan kepuasan gelap yang sulit dijelaskan. Setiap kali Mikayla menangis, ada sensasi aneh yang menyelinap di dadanya. Ia menyukai kelemahan gadis itu, menyukai kenyataan bahwa hanya dengan beberapa kalimat sinis, ia bisa mengguncang hatinya sampai hancur. “Aku tahu kau tidak betah di rumah ini,” gumamnya pelan, matanya menatap kosong ke arah pintu. “Kau ingin pergi, Mikayla. Itu terlihat jelas dari setiap tatapanmu.” Ia tertawa kecil, getir. Bagi Arsenio, rasa tertekan Mikayla adalah permainan. Ia menikmati setiap detiknya, seperti menyaksikan drama yang ia sutradarai sendiri. Namun ada sesuatu yang berbeda kali ini. Saat mendengar tangis Mikayla, ada bagian dalam dirinya yang tergerak, bukan hanya karena puas melihatnya terpuruk, tetapi karena ia benar-benar tertarik pada gadis itu. Ketertarikan itu membingungkannya. Mikayla adalah pengganggu, seorang gadis yang seharusnya ia usir dari hidupnya. Tapi setiap kali melihat sorot matanya yang berani sekaligus rapuh, Arsenio justru ingin semakin dekat. “Apa sebenarnya yang kau punya, Mikayla…” gumamnya lagi, jemarinya mengetuk pelan dinding di belakangnya. Bayangan wajah Mikayla saat menatapnya dengan amarah kembali muncul di kepalanya. Ada api di sana, api yang tidak ia temukan pada siapa pun sebelumnya. Dan itu membuatnya semakin ingin memadamkan sekaligus menyulut api itu berulang kali. Arsenio menghela napas panjang, lalu menyunggingkan senyum miring. “Kau boleh berusaha lari, tapi aku tidak akan berhenti. Setiap kali kau menangis, aku akan selalu ada di dekatmu. Karena entah kenapa, aku suka melihatmu seperti itu.” Ia meninggalkan pintu kamar dengan langkah santai, namun pikirannya masih penuh oleh bayangan Mikayla. Gadis itu telah menjadi obsesi barunya, dan Arsenio tahu, obsesi ini tidak akan mudah padam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD