Dari Sarapan Ke Sentuhan Terlarang

1211 Words
“Kayla, ayo sarapan!" “Tuhan, kenapa aku ingin pergi dari rumah ini.” Suara Hilda memanggil dari bawah. Lembut, seperti biasa, bahkan terdengar seperti ibu yang sangat perhatian layaknya ibu dari keluarga yang bahagia. Tapi entah kenapa, Mikayla tak lagi merasakan kenyamanan dari suara itu. “Kayla, kenapa tidak menjawab?” ucap Hilda masih memanggil Mikayla. “Iya, Bu,” jawab Mikayla, meski suaranya hambar. “Kau harus kuat, Kayla.” Mikayla menegakkan tubuhnya, ia tak bisa kemana-mana untuk saat ini. Mikayla turun dengan rapi. Hari ini hari pertamanya kuliah. Meskipun kampus barunya bukan kampus yang ia inginkan, tapi Mahendra bersikeras mendaftarkannya di salah satu universitas swasta paling bergengsi di kota. Mikayla tahu, tempat itu bukan dunianya. Namun dia tetap menjalaninya, melihat bagaimana dunianya yang sekarang, apa mungkin itu bisa membuatnya bertahan atau malah sebaliknya. “Ini meja makan yang membuatku merinding,” gumam Mikayla, teringat tatapan mata Arsenio, putra tunggal Mahendra yang membuatnya ingin muntah. Di meja makan, Hilda sudah menyiapkan roti dan segelas s**u. Sarapan yang normal, tapi tak seperti sarapan yang biasa. Hilda tau, padahal selama ini Mikayla paling suka nasi goreng, bukan roti. Bahkan Mikayla nyaris tak pernah menyentuh roti selama hidupnya. “Seperti bayi saja,” tiba-tiba suara dingin terdengar di belakang Mikayla. Gadis itu tau, kemunculannya tak bisa diabaikan, tapi Mikayla tak mau menoleh walau sebentar. Ia duduk di samping Mikayla tanpa diminta, membuat tubuh Mikayla menegang. Sorot matanya menyapu meja, lalu berhenti pada gelas s**u di hadapan Mikayla. “Milik Mikayla kelihatannya enak, lezat, menarik.” Mikayla mematung. Ada yang salah dari cara pria itu bicara, nada suaranya menyiratkan hal yang tak pantas. Benar saja, kegilaan itu berlanjut, tangannya merayap ke pahanya di bawah meja. Mikayla tersentak, tapi tak berani bereaksi terang-terangan. Gila, pria itu jelas sudah melecehkannya. “Sialan,” batinnya, jantungnya berdebar keras. Kalau saja bukan di meja makan, Mikayla sudah menampar pria itu dengan tangannya sendiri. Namun jika ia tetap memberontak di depan semuanya, ia hanya akan dipermalukan. “Kalau begitu, kau mau yang ini juga?” tanya Hilda polos, mengira Arsenio bicara soal minuman. “Susunya, kan. Ini untukmu.” Arsenio menyeringai. “Sudah tidak mood.” Lalu, tangannya terlepas dari paha Mikayla. “Santai saja, Adik kecil, susumu tidak akan kuambil,” bisik Arsenio sambil menyeringai. Mikayla menahan diri, sekuat tenaga, sebisanya. “Fvck you.” Ia menggeram pelan. Mahendra datang, duduk di kursinya sambil meminum kopi yang disiapkan Hilda. Mikayla hampir tak bisa menelan makanannya. Ia hanya ingin menelan Arsenio hidup-hidup, pria tak sopan itu membuatnya mual. “Antarkan Mikayla ke kampusnya,” ujar Mahendra tiba-tiba. Itu perintah, dan Arsenio tak suka diperintah oleh siapapun. “Aku sudah pesan taksi,” potong Mikayla cepat. “Benarkah?” Arsenio meliriknya sambil menggigit roti dari piring Mikayla. “Adik kecil, kau tau aku ada di sini sebagai kakakmu.” Mikayla berdiri. “Saya permisi dulu, Pa. Terima kasih, Bu.” Arsenio berdecih. “Papa, ya. Sopan sekali." Di depan Mahendra, Hilda masih mencium pipi Mikayla seperti ibu yang hangat. Tapi Mikayla tahu, semua itu hanya untuk menjaga wajah mereka di depan Mahendra. “Arsenio, tolong kau jaga dia,” kata Mahendra lagi. Arsenio tak menjawab, ia hanya berlalu pergi. Begitu di luar, Mikayla menghembuskan napas berat. “Astaga, apa-apaan keluarga ini.” Belum sempat Mikayla melangkah jauh, mobil hitam mengilat berhenti di depannya. Jendela terbuka, memperlihatkan wajah Arsenio. “Mana taksimu, gadis kecil?” “Pria gila menjijikkan! aku membencimu,” ucap Mikayla kesal. Ia menahan diri tapi pria itu malah makin mengejarnya. Mikayla menghindari tatapannya. “Aku sudah bilang, aku tidak mau!!” “Apa aku menerima penolakan?” Tanpa peringatan, Arsenio keluar dari mobil dan menarik Mikayla dengan cepat. Ia mengangkat tubuh Mikayla seolah tanpa beban. “Lepaskan aku! Gila kau!” “Diam. Duduk saja.” Pintu ditutup. Mobil melaju. “Kau itu sakit jiwa atau apa?!” seru Mikayla geram. “Aku hanya menolong adik tiriku yang keras kepala.” “Jangan panggil aku adikmu!!” “Kenapa? Takut kau mulai nyaman dengan sebutan itu?” Arsenio menatapnya sekilas. “Atau takut kau mulai nyaman dengan aku?” Mikayla mengalihkan pandangan, menahan segala caci yang hampir terlontar. “Kau melecehkanku tadi, aku takkan diam!” “Ah, benarkah, tapi itu hal biasa yang kulakukan.” Arsenio berkata santai. “Aku bukan gadis murahan yang bisa kau samakan!!” tegas Mikayla. “Oh oh oh, adik tiriku, kau sungguh seksi kalau sedang marah. Kita ini harus saling berdekatan, Sayang, karena kita ini keluarga, kan?” “Kau lebih baik belajar cara bersikap manusiawi dulu sebelum bicara soal kedekatan!” Arsenio terkekeh, lalu berseru ringan, “Berapa harga harga martabatmu, Mikayla? Apa harus kubayar dulu supaya kau diam?” “Kau membuatku jijik!* “Hanya karena aku meraba pahamu, aku belum melakukan yang lain, misalkan meraba dadamu juga?” Mikayla melotot, ujung matanya merah dan terasa pedih. Tangannya mengepal kuat, ia mulai mempertimbangkan untuk melayangkan tamparan di pipi Arsenio sekarang. Mobil tiba-tiba direm mendadak. “Sudah sampai,” katanya tanpa dosa. Mikayla memegang dadanya, jantungnya nyaris copot. Gadis itu lalu membanting pintu keluar tanpa menoleh. “Jangan lupa panggil aku kakak ya!” Mikayla mengangkat jari tengah ke udara tanpa rasa bersalah. “Dasar b******k!” Arsenio hanya tertawa kecil. “Tsk. Gadis keras kepala. Tapi, kenapa dia seksi sekali.” Arsenio terkesan dengan kecantikan alami Mikayla yang memancarkan aura unik. Wajah lugu dengan mata indah dan bibir lembut membuatnya ingin terus melihatnya. Namun, yang lebih menarik adalah kepribadiannya yang kuat dan spontan, membuatnya terkesan lucu dan menggemaskan. Saat Mikayla menunjukkan kemarahannya dengan mengangkat jari tengah ke udara tanpa rasa bersalah, Arsenio tersenyum. Ia merasa tertantang untuk mengetahui lebih lanjut tentang Mikayla dan melihat bagaimana dia akan bereaksi terhadap situasi-situasi yang berbeda. Dengan kepribadian yang begitu kuat, Mikayla menjadi sosok yang menarik dan membuat Arsenio ingin terus mengetahuinya. ** Kampus itu lebih megah dari yang pernah Mikayla bayangkan. Tapi suasananya membuatnya merasa asing. Semua mata seperti menilainya. Belum satu jam ia menginjakkan kaki di kelas, seseorang sudah menghampirinya. “Hei, kau siapa?” Seorang gadis bermata tajam dengan penampilan mewah berdiri di depannya, dikelilingi beberapa temannya. “Ada urusan apa memangnya?” sahut Mikayla datar. “Wah, berani juga jawabannya,” ucap si gadis—Kristal, nama itu terlontar dari teman-temannya. Tak ingin memperpanjang, Mikayla mengenakan earphone, tapi langsung ditarik kasar dan dilempar. “Lihat! Orang miskin masuk kampus elite!” Tawa merendahkan menggema. Sebelum Mikayla sempat bicara, seorang dosen masuk dan menyaksikan semua itu. “Mikayla ya? Ini earphonemu.” Mikayla mengambilnya pelan. Wajahnya tetap tenang, meski hatinya bergemuruh. “Tidak ada orientasi di sini. Semua setara. Jadi hentikan sikap meremehkan,” kata dosen itu pada semua. Kristal angkat tangan. “Pak, siapa dia sebenarnya? Apa orang tuanya pejabat?” Dosen menghela napas. “Dia putri Mahendra Pratama.” Suasana kelas berubah senyap. “Mahendra? Ayahnya Arsenio?” Kristal menutup mulutnya. “Astaga! Jangan-jangan?” bisik temannya. Mikayla hanya menunduk. Semua perhatian itu bukan yang ia inginkan. Ia hanya ingin bertahan. Tapi bahkan di tempat baru ini pun, namanya sudah terlalu berat untuk dibawa. Ia hanya ingin hari itu segera berakhir. Namun salah seorang menepuk pundaknya, membuat ia terpaksa menoleh ke belakang. “Kau adik tiri, Arsenio?” “Enyahlah.” Mikayla bergumam, nyaris tak terdengar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD