Mikayla tidak menyukai cara orang itu menatap saat mengajukan pertanyaan. Ia hanya berdehem dan kembali ke posisinya, berharap bisa mengabaikan gangguan tersebut.
"Hey, kenapa kau sok cuek? Jadi, benar? Kau adik tirinya?" tanya Michele dengan nada yang sedikit menusuk.
Mikayla menghela napas, merasa kesal dengan pertanyaan yang terus-menerus. "Pak, apa saya boleh pindah?" ia bertanya pada dosen di depan.
Dosen menghampiri Mikayla, penasaran dengan alasan di balik permintaan tersebut. "Ada apa? Kenapa Mikayla mau pindah?"
"Dia, orang ini terus ganggu," jawab Mikayla jujur, menunjuk Michele.
Dosen menegur Michele, "Michele, kau sedang apa?"
"Tidak, Pak. Aku hanya tanya, apa dia adik tiri Kak Arsen? Kenapa hanya begitu saja tidak mau jawab!" Michele membalas dengan nada kesal.
Mikayla mendesah malas, kembali fokus pada pekerjaannya dan berusaha mengabaikan Michele. Dosen berbicara pada Michele, membuat gadis berisik itu akhirnya diam.
Mikayla tidak yakin apakah tempat kuliah ini tepat untuknya. Ia merasa seperti hanya menjadi bayang-bayang keluarga Mahendra.
"Kakak apanya, aku bukan adiknya, aku membencinya," gumam Mikayla setengah berbisik sendirian.
Di kamarnya yang sunyi dan senyap, Mikayla merasa lebih nyaman. Ia berusaha mengatur napas yang terasa berat setelah hari pertamanya kuliah yang tidak berakhir dengan manis.
Tiba-tiba, pintu kamarnya berderit. Mikayla mendongak cepat, melihat Arsenio berdiri di ambang pintu. "Kenapa tak dikunci?" tanya Arsenio, masuk tanpa izin.
"Aku bilang keluar!" tegas Mikayla, menjaga dirinya sebisa mungkin. Ia takut dengan tatapan Arsenio yang membuatnya tidak nyaman.
Arsenio melangkah pelan, suaranya rendah tapi menekan. "Kamarmu? Kau bicara seolah kau punya ruang milik sendiri di rumah ini."
"Aku tidak merebut apa pun!" bentak Mikayla, merasa kesal dengan tuduhan Arsenio.
Arsenio menatapnya lama, seperti menelanjangi pikiran dan keberaniannya sekaligus. "Kau seperti ibumu. Menjijikkan tapi bedanya kau menarik, Mikayla. Wanita yang pura-pura suci, tapi diam-diam menikmati ketika pria mendekat."
Mikayla tidak bisa menahan diri lagi, ia menampar Arsenio. "Kau gila, ya! Aku tak pernah mau berurusan dengan orang sepertimu! Jangan ganggu aku!!"
Arsenio tersenyum, senyum yang bukan kemarahan, bukan kepuasan, tapi sesuatu yang lebih gelap. "Tenagamu luar biasa ya, seharusnya kau gunakan untuk menghabiskan malam denganku saja."
Mikayla menatap Arsenio dengan amarah, "Kau b******k. Aku benci kau!!"
"Kita lihat, Mikayla. Siapa yang lebih dulu hancur. Adik tiri," ucap Arsenio dengan seringai khas sebelum keluar dari kamar.
Mikayla terjatuh di lantai, menggenggam dadanya yang sesak. Ia membenci laki-laki itu.
Ketika Mikayla keluar dari kamar untuk mengambil air di dapur, ia bertemu Arsenio yang tengah duduk di dekat meja makan sambil memegang gelas berisi wine. Mikayla berjalan melewati Arsenio tanpa menatapnya.
"Kau sudah jadi bahan pembicaraan satu kampus," ujar Arsenio datar.
Mikayla menegakkan bahu, "Aku tidak peduli. Selama aku tak mengemis perhatianmu!"
Arsenio melangkah lebih dekat, "Lucu. Karena caramu memandangku pagi tadi kau hampir tergoda."
Mikayla terkekeh kecil, "Sombong sekali. Mungkin kau terlalu sering dikagumi sampai tak bisa membedakan antara jijik dan tertarik."
Ucapan itu menampar, tapi hanya membuat Arsenio melangkah lebih dekat. "Kau boleh juga, kata-katamu menusuk. Tapi aku tak bisa kau atasi semudah itu."
Suaranya rendah, nyaris berbisik. Nafasnya terasa di wajah Mikayla kini terlalu dekat. Terlalu pribadi.
"Besok aku jemput kau dari kampus. Siapkan dirimu," ucap Arsenio sebelum meninggalkan Mikayla.
Mikayla berdiri mematung, jantungnya berdetak tak karuan. Ia membenci pria itu, tapi tubuh dan pikirannya tak sepenuhnya sepakat.
**
Arsenio duduk di kamarnya, memandang ke dalam kegelapan. Ia merasa seperti kehilangan kendali, seperti ada sesuatu yang tidak beres dalam dirinya. Semenjak Mikayla datang ke rumah itu, ia merasa terus gelisah, tidak bisa fokus pada apa pun.
Ia memikirkan kembali tindakannya terhadap Mikayla, bagaimana ia terus mengganggunya, membuatnya terusik. Awalnya, ia hanya ingin membuat gadis itu tidak betah, ingin melihatnya pergi dari rumah itu. Tapi belakangan, ia malah menikmati tiap kali Mikayla tertekan, itu menyenangkan dan seperti hiburan di hari-harinya yang sering membosankan.
Arsenio tersenyum sendiri, merasa seperti gila. Apa yang membuatnya begitu terobsesi dengan Mikayla? Apakah karena gadis itu tidak takut padanya? Apakah karena Mikayla tidak seperti orang lain yang selalu mencoba mendekatinya dengan senyum manis dan kata-kata manis?
Ia memikirkan kembali tatapan Mikayla, bagaimana gadis itu menatapnya dengan mata yang penuh amarah dan kebencian. Arsenio merasa seperti terangsang oleh tatapan itu, seperti ada sesuatu yang membangkitkan adrenalin dalam dirinya.
Arsenio berdiri dan berjalan ke jendela, memandang ke luar. Ia merasa seperti terjebak dalam permainan yang tidak bisa ia kendalikan. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi ia tahu bahwa ia tidak bisa berhenti sekarang.
Ia ingin terus melihat Mikayla, ingin terus mengganggunya, ingin melihat reaksi gadis itu ketika ia mendekatinya. Arsenio tersenyum sendiri, merasa seperti sudah tidak bisa kembali ke jalan yang benar.
Dan ketika ia memikirkan besok, ketika ia akan menjemput Mikayla dari kampus, ia merasa seperti tidak sabar. Ia ingin melihat Mikayla, ingin melihat reaksi gadis itu ketika ia mendekatinya. Arsenio tahu bahwa ia tidak bisa berhenti sekarang, bahwa ia sudah terlalu jauh.
Arsenio menerima telepon dari Krystal, seorang gadis yang sudah lama ia kenal. "Halo, Kak Arsen," suara Krystal terdengar riang di telepon.
"Apa kabar, Krystal?" Arsenio menjawab dengan nada yang santai.
"Aku baik-baik saja, Kak. Aku ingin tanya tentang Mikayla di kampus. Apa benar dia adik tiri Kak Arsen?" Krystal bertanya dengan rasa penasaran.
Arsenio hanya berdehem, tersenyum sendiri memikirkan reaksi Mikayla besok saat dirinya benar-benar menjemput adik tirinya itu di kampus. "Mungkin," jawabnya singkat.
Krystal tertawa kecil, tapi suara lengkingannya terdengar ketika dia berkata, "Aku kesal, Kak. Kenapa Kak Arsen tidak memberitahu bahwa di kampus akan kedatangan tamu yang begitu penting yaitu adik tiri Kak Arsen. Aku pasti akan menyambutnya dengan baik."
Arsenio tersenyum, memikirkan bagaimana reaksi Mikayla jika tahu bahwa ada orang yang begitu antusias menyambutnya. "Mikayla bukan tamu, Krystal. Dia adalah orang yang mungkin bisa saja mengusikmu nanti," Arsenio mengatakan dengan nada yang serius.
Krystal terdiam sejenak, lalu bertanya, "Mengusikku? Apa maksud Kak Arsen?"
"Tidak apa-apa, Krystal. Aku hanya ingin kamu waspada," Arsenio menjawab, tidak ingin menjelaskan lebih lanjut.
Krystal tidak bertanya lagi, tapi Arsenio bisa merasakan rasa penasaran di balik keheningan Krystal. "Baik, Kak. Aku akan waspada," Krystal akhirnya mengatakan.
Arsenio tersenyum, merasa puas dengan jawaban Krystal. "Bagus, Krystal. Aku percaya padamu," Arsenio mengatakan sebelum menutup telepon.
Arsenio duduk di kursi kerja, jemarinya mengetuk meja pelan. Matanya menajam ketika nama Mikayla kembali melintas di kepalanya.
"Aku tidak akan membiarkan Mikayla merasa tenang. Bahkan di rumah, aku bisa membuatnya gelisah dengan tatapan atau satu kalimat sinis. Di kampus pun sama. Tempat itu milikku. Tidak ada sudut yang benar-benar aman untuknya."
Sudut bibirnya terangkat tipis. Ia tahu benar Krystal menaruh hati padanya.
"Kalau Krystal sampai tahu aku memberi perhatian lebih hanya pada Mikayla, dia pasti meledak. Dan itu akan jadi permainan menarik. Semua mata akan tertuju padanya, dan Mikayla akan semakin terpojok."
Bayangan wajah Mahendra, ayah kandungnya, tiba-tiba hadir. Rahang Arsenio menegang.
"Kau pilih menikah lagi padahal usiamu sudah renta, apa kau ingin hartamu jatuh ke tangan w************n. Ah, memikirkan itu saja membuatku muak. Baiklah, Mikayla, kau harus bayar kontan setiap hal yang membuatku geram dengan ... apa pun, aku akan renggut darimu, meski kau memohon agar aku berhenti." Ia menyeringai.