David sejak tadi menatap dua malaikat kecil yang pulas tertidur dan menyapu pandangan di kamar kost kecil yang nampak bersih. Wangi khas bayi begitu semerbak di seluruh ruangan itu.
Tidak ada foto, tiada ada gantungan yang menggantung, semua nampak begitu rapi dan bersih.
"Di minum tuan," ucap Yoan pelan sambil menyodorkan satu nampan besar di lantai dekat dengan David.
"Terima kasih," jawab David dingin. Memang seperti itu sikap David yang sebenarnya dingin, cuek dan tak peduli apapun.
Keduanya saling diam dan tak bicara. Yoan duduk di dekat kasur sambil menyelimuti dua buah hatinya dan David melihat begitu tulusnya Yoan menyayangi kedua bayi kembarnya.
"Kau berjuang sendiri selama ini?" tanya David. Entah kenapa David ingin bertanya dan hanya kaa -kata itu yang terlontar dari bibirnya.
"Maksudnya? Berjuang sendiri? mengurus si kembar?" tanya Yoan pelan.
David mengangguk kecil dan melirik sekilas ke arah si kembar.
"Iya." jawab David singkat.
David mengambil satu gelas kopi yang di suguhkan kepadanya dan menyeruput pelan menikmati aroma wangi kopi yang tak biasa.
"Kalau kerja, saya titipkan di tetangga," jawab Yoan tak bertele -tele.
"Oh gitu. Kamu bawa ke kantor juga boleh," ucap David pelan.
Yoan langsung menggelengkan kepalanya cepat.
"Tidak tuan. Nanti pekerjaan saya terbelengkalai karena bayi kembar saya," ucap Yoan pelan.
David pun melirik ke arah jam tangan di pergelangan tangannya. Saat ini sudah hampir pukul tujuh, pasti sebentar lagi Nenek Ana meneleponnya dan menanyakan keberadaannya.
"Ya sudah. Saya mau pulang dulu. Ada janji," ucap David pelan.
"Iya tuan," ucap Yoan pelan. Yoan masih merasa canggung. Tapi memang pada kenyataannya mereka tidak pernah kenal dan tidak pernah dekat. Skedar menyapa pun tidak.
David pun bangkit berdiri dan keluar dari rumah Yoan.
"Tuan jalan kaki?" tanya Yoan pelan. Rasanya tidak tega juga lihat seorang atasannya di kantor berjalan kaki.
"Motor saya ada di taman. Tadi saya parkir di sana" jawab David pelan sambil memakai sepatunya.
"Hati -hati, tuan. Terima kasih sudah mengantarkan saya,' ucp Yoan dengan sopan.
"Jangan panggil tuan. Panggil sewajarnya saja. Kita sama -sama orang biasa. Saya juga sam seperti kamu, orang biasa, tingggal di kost yang sempit, hanya naik motor dan tak punya uang banyak," ucap David menjelaskan.
Yoan hanya tersenyum kecut. Ia tahu David lelaki seperti apa. Tapi, emang kali ini David terlihat lebih sederhana d bandingkan satu tahun lalu yang terlihat glamour.
"Maaf Pak." jawab Yoan pelan.
David hanya mengangguk dan berpamitan lalu berjalan lagi ke arah taman yang berjarak lumayan. Dalam hatinya terus membatin Yoan dan kedua anak kembarnya.
"Rasanya aku begitu dekat dengan kedua bayi kembar itu. Melihat bayi -bayi itu, aku jadi merasa bersalah pada Tiwi. Apakah ia juga memiliki bayi yang montok dan lucu seperti itu.
Pikirannya begitu kacau. Ia langsung menaiki motor bututnya dan melaju pelan menuju restauran bintang lima sesuai petunjuk Nenek Ana.
Tepat di samping ia memarkirkna motornya, ia melihat seorang perempuan turun dari sebuah mobil sedan termewah dan termahal di kota ini. Gadis itu melihat ke arah David yang sedang menstandarkan motor bututnya. Tatapannya begitu sinis.
"Hei, kau bisa lihat tidak. Parkir motor itu di sebelah sana. Bukan di sini, di sini khusus untuk mobil mewah. Apa kau bukan anak sekolahn sampai tak bisa membaca tulisan sebesar itu?" teriak seorang gadis dari samping mobilnya.
DAvid hanya melongo. Belum pernah ia di teriaki seorang wanita dnegan suara lantang dan kasar seperti itu. Memang ia tak membaca tulisan parkir motor di depan belok ke kakan, kalau belok ke kiri memang di peruntukkan bagi mobil.
Debgan cepat David menaiki motor bututnya kembali dan memutar motornya memarkirkan di tempat yang seharusnya.
David melirik ke arah gadis yang meneriakinya dengan sinis tadi. Gadis itu sudah tidak ada entah kemana perginya.
David segera menelepon Nenek Ana dan berbicara dengan sopn. Ia mengatakan bahwa dirinya sudah ada di restauran itu.
"Kita sudah nunggu kamu dari satu jam yang lalu. Sebanyak itu pekerjaan kamu hingga mluangkan untuk ketemu dengan jodohmu saja sulit," ucap Nenek Ana yang tetap bersuara lembut.
"Sebentar lagi saya kesana Nek," ucap David sopan.
David melepaskan jaket kulitnya. Ia sengaja tak memakai parfum lgi, agar Nenek tahu nahwa ia lelah seharian bekerja. David pun berjalan menuju restaurant itu dan mencari tempat yang telah di pesan Nenek Ana.
"Maaf Nek sudah menunggu lama. Ada pekerjaan yang tidak bisa di tunda. Ada karyawan OB baru, jadi David harus mengajari dan memberi pengarahan pelan -pelan," ucap David pelan menjelaskan.
"Iya David. Nenek percaya," ucap Nenek pelan.
David memang lebih sopan dan lembut. Apalagi thadap Nenek yang selama ini ia sayangi. Walaupun sikapnya kepada orang lain tetap diingin dan arogan.
"Kenalkan ini Ineke, putri semata wayang keluarga Christian. Kamu pasti sudah tak asing lagi dengan nama besar itu?" tanya Nenek Ana pelan.
David menoleh ke arah perempuan itu dan ...
Deg ...
Gadis yang kasar dan sombong tadi. Sama seperti David, gadis itu juga beggitu kaget dengan wajah David yang terlihat samar tadi tapi jelas itu lelaki yang ia teriaki karena salah mearkirkan motor bututnya.
Dengan lantang gadis itu pun bicara dengan lantang, "Ini cucu Nenek? Cucu kandung atau cucu pungut? Gayanya tidak mencerminkan seorang cucu dan ahli waris dari keluarga Baskoro."
Ineke memang sombong, ia hanay mau berteman dengan orang -orang yang se -level.
Kedua orang tua Ineke pun mencubit paha Ineke untuk tidak bersikap smbong seperti itu. Sebagai putri keluarga yang di kenal banyak orang, seharusnya Ineke bisa menjaga sikapnya.
David menatap tajam ke arah Ineke. Wanita seperti Ineke sama sekali tak masuk dala daftar listnya sama sekali. Begitu pun dengan Nenek Ana yang melongo dengan sikap Ineke yang luar biasa lancang.
"Kamu saja tidak bisa membedakan David ini cucu kandungku atau bukan? Lagi pula, itu bukan masalah untukmu kan? Seharusnya kau lebih percaya padaku, karena semua hartaku hanya untuknya. Tapi kalau kau ragu, aku juga ikut ragu pada hatimu Nak," ucap Nenek Ana dengan suara tegas.
Nenek Ana sendiri sudah ilfeel dengan sikap Ineke yang se -enaknya saja.
"Maafkan anak kami, Bu Ana. Maklum Ineke terbiasa hidup di luar negeri jadi terlalu jujur kalau bicara. Tapi, Ineke itu gadis pintar dan nilainya kumlaude," ucap Mama Ineke memuji anaknya.
"Cukup. Kita mau makan malam bukan memuji Ineke. Kalau mau memuji silahkan puji di depan tetanggamu bukan di depanku. Aku hanya butuh sikap baik, bukan pujian yang tanpa bukti," tegas Nenek Ana bijak.
Nenek Ana langsung membuka buku menu makanan dan memesan makanan.