Liam’s POV
Ami tertawa begitu lepas. Sepertinya dia sangat bahagia bersama Kris. Entahlah, tak seharusnya aku cemburu. Kris ke sini bukan untuk menemui Ami, tapi untuk bertemu dengan baby Cal. Tapi kadang pikiran burukku menduga-duga, barangkali Kris ke sini sambil memanfaatkan kesempatan untuk bertemu Ami juga. Aku paham banget kakakku itu playboy bersertifikat internasional yang kegantengannya nggak habis tujuh turunan, dan semua mantannya nggak ada yang jelek. Dengan mudahnya dia bisa mendapatkan siapa saja, termasuk hati Ami. Sejarah tak akan lupa, bagaimana dulu mereka bersahabat dan Kris adalah cinta pertama Ami. Teringat bahwa Kris adalah cinta pertama Ami saja sudah menerbitkan rasa senewen begini. Bahkan di saat awal menikah, perasaan Ami masih kuat terhadapnya. Aku tak tahu apakah sekarang Ami masih memiliki perasaaan untuk Kris atau tidak, tapi melihatnya tertawa lepas begini, itu artinya Ami nyaman bersama Kris.
Ami menoleh ke arahku. Dia berhenti tertawa dan terlihat kaget.
“Liam...kok kamu nggak bilang-bilang mau ke sini?”
Kris menolehku. Dia hanya tersenyum tipis. Saat baby Cal menolehku, dia tertawa lebar dan memanggilku, “dad...dad..dad...”
Kudekati baby Cal dan kugendong dia, “hi baby..I miss you so much.” Kukecup keningnya. Baby Cal tersenyum begitu lebar, membuatku lupa sejenak akan kecemburuanku.
“Udah lama Kris?” Aku lirik Kris yang masih duduk di bawah.
“Belum kok.” Jawab Kris pelan.
Ami beranjak dan mendekat padaku.
“Kamu bawa bunga Liam? Buat aku?” Ami tersenyum dan melirik bunga dalam genggamanku yang juga tengah menggendong Callista.
Aku menyeringai, “nggak, lagi pengin aja beli bunga.”
“Kamu suka bunga?” Ami memicingkan matanya dan seketika bunga dalam genggamanku dia rebut.
“Nggak usah ngeles. Kamu beli ini buat aku kan?”
Aku cuma mengulas senyum dan tatapanku menyasar pada Kris yang memerhatikan kami.
Baby Cal merengek dan meminta turun. Tumben sekali dia minta turun. Biasanya setelah aku gendong, dia tak mau begitu saja lepas dari gendonganku. Baby Cal berjalan satu dua langkah dengan kakinya menuju Kris. Di langkah ketiga dia terjatuh. Kris menyambutnya.
“Do you want to play with me again Cal? Let’s do something fun.” Kris kembali mengajak baby Cal bermain miniatur kereta api. Kulihat tawa pecah dari bibir mungil baby Cal. Sepertinya baby Cal begitu menyukai Kris. Mungkin aku tak hanya jealous karena Kris begitu akrab dengan Ami, tapi juga karena Kris sudah berhasil mengambil hati baby Cal.
Aku harusnya paham dan mengerti bahwa hubungan ayah dan anak selamanya tak akan bisa terpisahkan secara ikatan batin. Dan aku harus bersiap, entah kapan waktunya saat Callista menyadari ada yang berbeda darinya dan orangtuanya. Saat dia bisa berpikir bagaimana mungkin ras bulenya bisa menurun dariku dan Ami yang tak memiliki darah bule, maka akan tiba saatnya bagiku dan Ami untuk menjelaskan semua tentang asal-usulnya dan siapa orangtua kandungnya. Aku bahkan tak bisa membayangkan, jika nanti Stella sembuh dan memintanya pada kami, maka aku dan Ami harus bersiap untuk kehilangannya. Orangtua kandungnya lebih berhak atasnya. Kris adalah ayah kandungnya. Dia lebih berhak atasnya.
Lamunanku buyar, saat Ami mengusap pipiku.
“Mau aku ambilin minum Liam?”
Aku menggeleng, “nggak usah Mi.”
Aku lebih banyak diam memerhatikan Kris yang asik bermain dengan Cal. Ami ikut bergabung dengan mereka. Aku seperti terjebak di satu keadaan yang membuatku sebal, kesal, tak nyaman, entahlah suasana hatiku tak jelas begini. Kenapa setiap kali melihat interaksi antara Ami dan Kris, aku selalu melihat ada cinta yang masih kuat diantara mereka. Apa mungkin jauh di dalam hati Ami masih ada perasaan untuk Kris? Sepertinya Ami benar-benar lepas menjadi dirinya sendiri saat bersama Kris. Begitu juga dengan Kris. Aku jarang melihatnya tertawa selepas ini. Seperti ada yang hampa melesat membungkam perasaanku saat ini. Mungkin secara status, Ami sudah sah menjadi milikku. Semua yang ada pada raganya sudah menjadi milikku, bahasa kasarnya sudah kuobok-obok, kuublek-ublek, pokoknya setiap jengkal tubuh Ami itu nggak lolos dari sentuhanku, tapi untuk hatinya, entahlah...Aku berharap cintanya juga utuh untukku, tapi hanya Allah dan Ami yang tahu isi hatinya.
Sekarang mereka bermain melempar bola karet. Lemparan Kris mengenai kening Ami. Ami memegangi keningnya dan sedikit mengaduh. Aku terhenyak saat melihat Kris meniup kening Ami dan telapak tangannya menyentuh pipi Ami. Apa-apaan ini. Dia sengaja memanfaatkan kesempatan untuk pegang-pegang Ami.
“Kris..”
Kris menurunkan tangannya dan menolehku.
“Lo ngapain megang-megang Ami?”
Kris melongo sejenak, “gue cuma pingin mengurangi rasa sakit di kening Ami Liam. Nggak ada maksud lain.”
“Keningnya yang sakit, kenapa pipinya yang lo sentuh?”
Ami mendekat ke arahku dan menepuk pipiku, “Liam nggak usah salah paham gitu. Kris refleks aja nyentuh pipiku, bukan sengaja atau gimana.”
“Kamu seneng kan? Disentuh gitu ama Kris? Makanya kamu belain dia.” Nada bicaraku mungkin begitu sewot. Aku kesal dengan sikap Ami yang cenderung membela Kris dan membiarkan Kris menyentuhnya. Harusnya dia menghindar. Atau mungkin dia justru senang dipegang-pegang Kris. Aarghhh aku jadi kesal sendiri.
“Kamu ngomong apa sih? Siapa yang seneng?” Ami menaikkan intonasi suaranya.
“Liam, lo nggak usah cemburu kayak anak kecil. Masa kayak gini aja lo jealous? Ami udah resmi jadi istri lo, gue nggak mungkin ngrebut dia dari lo.” Kris menatapku kesal. Dia mengecup kening baby Cal, “baby, I must be off now, be happy with your mom and dad okey? see u next time, I love you..” Kris mengusap pipi baby Cal lalu beranjak dan melirik Ami sejenak. Tetep ya mau pamit aja mesti melirik Ami dulu.
“Ami, aku pulang dulu. Nitip Callista ya. Thank you for this great day. You made my day.” Kris mengerlingkan senyum yang begitu manis, hanya kepada Ami. Dia sama sekali tak menganggapku ada. Hanya sekilas melirik lalu berlalu begitu saja.
“Hati-hati Kris.” Ucap Ami kemudian.
Kulirik Ami, “wow, perhatian banget. Hati-hati Kris...Dia udah gedhe kali, bisa jaga diri, nggak perlu bilang hati-hati.”
Ami memasang tampang juteknya, “kamu kebangetan Liam. Perasaan ngucapin hati-hati di jalan itu ungkapan yang umum. Kayak gini aja dipermasalahin.”
“Jadi masalah soalnya kamu ngucapin buat Kris. Dan aku nggak suka dia tadi nyentuh pipi kamu, kamu malah diem. Jangan-jangan kamu menikmati ya disentuh ama dia.”
Ami balas menatapku tajam, seperti mau menerkam. Kalau sudah begini, pasti dia bakal mencak-mencak. Sudah kebiasaan, dia suka mencak-mencak dan nyolot, heran aku bisa suka sama dia.
“Tuduhan kamu gitu banget sih. Siapa yang menikmati disentuh dia?” Ami membulatkan matanya.
“Tadi aku lihat langsung Mi. Coba sana kamu survey, ada nggak suami yang nggak kesal lihat istrinya disentuh laki-laki lain, pipinya pula. Gemes gue jadinya. Greget. Kris nyari kesempatan, kamu juga mau aja dipegang-pegang.” Aku beranjak. Kulirik dia sekali lagi.
“Mending sekarang kita pulang.”
Di perjalanan, aku lebih banyak diam. Ami lebih banyak mengajak baby Cal bicara. Sumpah, aku masih merasa gregetan, kesal, sebal, dan eeehhhhh...rasanya pingin ngacak-acak rambut Ami ampe berantakan. Aku masih belum bisa menerima saat dia diam saja ketika Kris menyentuh pipinya. Apa-apaan.. Berasa dunia milik mereka berdua. Lupa kalau ada suami di situ. Berasa masih single aja. Beuh...
“Baby Cal, your daddy is jealous to me. Tell me what should I do to make him better?”
Ami mencoba mengajak baby Cal bicara. Aku tak bergeming dan tetap fokus menyetir.
“What?”
Kulirik Ami mendekatkan wajahnya ke baby Cal, seakan baby Cal baru saja bicara.
“Kiss him? Hmm.. Are you sure it will make him better? Actually I have plan for tonight baby... You know, I bought new lingerie yesterday...” Ami melirikku. Dia tidak sedang bicara pada baby Cal yang kulihat matanya terpejam, tertidur di pangkuan Ami. Rupanya dia sedang memancingku untuk menanggapinya.
Aku cukup kaget juga sih waktu dia bilang membeli lingerie baru. Rasanya penasaran juga, lingerie model seperti apa lagi.. Tidak..tidak...aku tak akan tergoda. Memangnya aku cowok apaan, bisa dirayu karena baju kurang bahan itu.
“Hmm.. he doesn’t say anything baby.. It’s okey.” Ami melirikku sekali lagi. Aku membuang muka. Biar saja, sesekali Ami perlu diberi pelajaran agar dia tahu cara menghargai perasaan suami.
Malam ini aku mencoba tidur lebih awal. Sepulang sholat Isya di Masjid, aku langsung masuk ke kamar, merebahkan badanku. Ami masuk ke dalam dan duduk di sebelahku. Jika dia sudah masuk ke kamar, itu artinya baby Cal sudah tidur.
“Liam...”
Aku terdiam.
“Liam kamu masih marah? Kamu kalau udah cemburu, lama sembuhnya.”
Aku masih membisu.
“Liam dengerin aku dulu. Tadi siang tuh, aku nggak nyadar Kris megang pipiku. Soalnya aku fokus mijit keningku. Bukannya aku sengaja membiarkan Kris nyentuh pipiku. Jangan salah paham.”
Aku menoleh Ami sejenak. Ami tersenyum begitu manis. Aku alihkan pandanganku lagi, lurus ke depan.
“Jangan cemberut terus donk Liam. Please... Aku nggak mau malam romantis ini rusak gara-gara kamu cemburu.”
“Malam romantis apaan?” Sahutku ketus.
“Ya romantis, soalnya gerimis, udara terasa lebih dingin, jadi kerasa banget romantisnya. Apalagi berduaan gini sambil dengerin suara gerimis.” Ami menyandarkan kepalanya di bahuku dan tangannya memeluk pinggangku. Hmm mulai deh dia berusaha menggodaku.
Ami mengusap pipiku, “Liam sombong banget sih... Ayo donk lihat aku.”
Kutoleh dia sejenak. Aku sadar, dia mengoleskan lipstik warna merah s*****l di bibirnya. Beuh..jadi pingin nyipok. Eitt....Nggak nggak...Aku harus bisa menahan diri.
Ami beranjak. Mau kemana dia? Aku merebahkan badanku lagi.
Beberapa menit kemudian...
“Liam...”
Kutoleh sumber suara. Aku tersentak melihat Ami mengenakan lingerienya yang baru. Mini dress itu terlihat seksi membalut tubuhnya. Aduh, kalau kayak begini rasanya susah buat nolak.
Ami merangkak naik ke ranjang dan duduk di atasku. Astaga...Dadaku serasa naik turun, berdebar-debar. Mungkin aku sudah melewatkan banyak malam romantis bersamanya. Namun selalu saja ada desiran dan getaran di hati kala melihatnya seagresif ini.
Ami mendekatkan wajahnya padaku lalu berbisik lirih, “dengar sayang, aku nggak ada hubungan apapun dengan Kris. Perasaanku padanya sudah hilang. Aku cuma cinta kamu dan aku sangat menginginkanmu malam ini.”
Telingaku serasa meremang, dan aku semakin deg-degan kala jari-jari Ami begitu cekatan membuka kancing piyamaku satu per satu. Tanpa kuduga Ami melumat bibirku penuh gairah. Awalnya aku tak membalasnya, namun ciuman Ami semakin menuntut dan kurasakan pagutannya semakin panas, membuatku cenut-cenut tak menentu. Segera kucengkeram kedua lengan Ami dan kubalik tubuhnya. Kini posisi kami bertukar, Ami di bawah dan aku menindihnya di atas.
Mata kami saling beradu dengan hembusan napas yang tak beraturan. Ami tersenyum dan aku pun mengulas senyum.
“Kamu selalu bikin aku nggak bisa nahan diri Mi. Dasar wanita penggoda.”
Ami tertawa kecil.
Aku berbisik lembut, “malam ini aku bakal memborbardir kamu habis-habisan.” Langsung saja kucium bibirnya, ganas tanpa ampun.
******
Pagi ini aku lebih bersemangat datang ke kampus. Semalam baru saja dikasih vitamin tambahan ama Ami, makanya jadi semangat gini. Dia selalu membuatku gregetan. Seperti orang yang baru mengenal cinta, aku sulit mengenyahkan namnya dari pikiranku. Jatuh cinta pada pasangan halal itu rasanya berjuta kali lebih indah dibanding jatuh cinta pada seseorang yang belum halal, apalagi cinta yang bertepuk sebelah tangan, menyesakkan.
Tiba-tiba dari ujung koridor aku melihat Kia dan teman-temannya berjalan ke arah sini. Rasanya malas sekali berhadapan dengannya. Baru kali ini ada mahasiswi yang super nekat mengejar cintaku. Akhirnya aku putar arah, aku mencari jalur lain untuk menghindarinya.
Setiba di ruangan, kuhempaskan badanku di kursi kerjaku. Sesaat ada bunyi mengalun dari smartphoneku. Satu pesan WA dari Kia.
Pak, tadi sengaja putar arah buat menghindari saya ya? Kenapa bapak memperlakukan saya seperti ini? Apa salah kalau saya mencintai bapak?
Tak kugubris pesan itu. Aku biarkan saja. Smartphoneku kembali berbunyi. Saat kubuka isi pesan itu, aku kaget bukan kepalang. Kia mengirim foto, foto yang aku sendiri tak tahu-menahu kenapa bisa tiba-tiba ada foto seperti ini. Dalam foto tersebut Kia tengah memeluk punggungku, badan kami behimpitan seperti saling memeluk. Astaghfirullah. Aku benar-benar shock, ini foto saat aku Kia bicara di toilet.
Ini bukti dari kisah manis kita pak. Mulai sekarang tolong jaga sikap bapak.
Hatiku meradang, mataku memanas. Secara tak langsung Kia mengancamku. Dia sengaja menjebakku. Aku tak menyangka dia bisa senekat dan seobsesi ini.
Satu pesan kembali masuk.
Temui saya di coffee shop depan kampus pak, jam dua siang.
Kuusap wajahku. Astagfirullah cobaan apalagi ini..Dadaku serasa sesak. Bagaimana jika Kia menyebarkan foto ini dan orang menuduhku memiliki hubungan khusus dengan Kia? Bagainmana jika foto ini sampai pada Ami? Bagaimana dengan pekerjaanku di sini? Astaghfirullah.. kepala ini serasa mau pecah.