The Trouble Has just Begun

1804 Words
Author’s POV Liam tampak ragu melangkah ke dalam coffee shop. Dia takut mahasiswa yang sedang berkunjung di coffee shop salah mengartikan pertemuannya dengan Kia. Dia tak mau ada selentingan kabar yang menyebutkan bahwa dia punya hubungan khusus dengan Kia atau akan ada yang menuduhnya dosen pilih kasih karena telah meng-ACC skripsi Kia lebih cepat dibanding mahasiswa lain. Liam tak punya pilihan lain. Kenekatan Kia mengejar cintanya sudah cukup membuktikan seperti apa karakter Kia itu. Dia cenderung obsesif dan akan melakukan apa saja untuk mencapai tujuannya. Saat Liam masuk ke dalam, ada beberapa pengunjung tengah menikmati kopi di dalam. Pandangannya menyasar ke sudut ruangan. Ia melihat Kia menatap ke arahnya. Saat Liam menghampiri Kia, beberapa mahasiswa mengangguk dan menyapanya. Liam sebenarnya tak enak hati. Tapi dia tak bisa menolak ajakan Kia. Kia telah memiliki foto mereka yang bisa disalahgunakan kapanpun. Liam duduk di hadapan Kia dengan ekspresi wajah yang datar. Kia mengulas senyum kemenangannya. “Kenapa kamu ngajak saya ketemuan?” Tanya Liam tanpa basa-basi. “Saya ingin berbincang sama bapak. Terimakasih bapak mau datang.” Kia kembali tersenyum, senyum yang begitu sinis dan tak enak dilihat. “Sudah jangan bertele-tele Kia. Saya tak punya waktu banyak.” Liam mengedarkan pandangannya. Para pengunjung sepertinya begitu tertarik memerhatikannya dan Kia. Satu per satu menundukkan wajahnya kala tatapan Liam berhenti pada mereka. Liam sudah menduga, para mahasiswa yang sedang ngopi di sini pasti bertanya-tanya ada apa gerangan dosen ganteng itu menemui Kia di coffee shop. “Pak, saya ini orang yang nekat. Dan saat saya benar-benar jatuh cinta pada seseorang, saya akan berjuang apapun untuk mendapatkan cinta itu. Saya punya foto bapak dan jika saya mau, saya bisa mengirim ke nomer istri bapak atau dm i********: istri bapak saat ini juga. Jadi tolong jangan ketus lagi terhadap saya pak.” Liam mengalihkan pandangannya sejenak lalu kembali menatap Kia. “Kamu mengancam saya? Saya bisa menjelaskan ke istri saya kalau kamu menjebak saya.” Kia menaikkan sebelah sudut bibirnya, “pertanyaannya apa istri bapak bakal percaya begitu saja dengan penjelasan bapak? Lihat pak, bahkan sekarang pengunjung sedang memandang kita dan aku yakin berbagai spekulasi tentang hubungan kita begitu mengganggu pikiran mereka.” Kuhembuskan napasku. Kia ini seperti ular berbisa yang siap mengeluarkan bisanya kapanpun. Otakku berputar-putar memikirkan bagaimana caranya untuk menghentikannya. “Langsung saja katakan apa yang kamu inginkan?” Liam menatap Kia sesaat lalu kembali mengalihkan pandangan ke arah lain. Kia tersenyum, “saya ingin bapak membuka hati untuk saya. Paling nggak beri saya kesempatan untuk menunjukkan pada bapak bahwa saya mampu mencintai bapak lebih baik dibandingkan istri bapak.” Liam semakin kesal mendengar penuturan Kia. Tentu dia tak berniat membagi cintanya. Dia tak sampai hati jika harus mengkhianati Ami. “Kamu gila Kia. Aku nggak mungkin mengkhianati istriku.” Liam bicara begitu tegas namun ia pelankan volume suaranya. “Saya akan jaga rahasia. Tak akan ada yang tahu hubungan kita.” Kia bicara pelan agar tak terdengar pengunjung lain. Liam menggeleng dan ia pijit pelipisnya. “Okey kalau bapak belum siap, saya tak akan memaksa. Tapi setidaknya kita bisa mulai dengan hang out bareng.” Liam menggeleng, “nggak bisa Kia.” Liam beranjak dan keluar meninggalkan Kia yang masih mematung. Dia melirik Vicky dan Sasha yang duduk di sudut lain dan memberinya isyarat untuk mengikuti langkahnya. Kia mengejar Liam. Tangannya mencengkeram lengan Liam, “pak tunggu..” Liam berusaha melepaskan lengannya dari cengkraman Kia. Kia mengedipkan mata pada Vicky lalu dengan sigap dia memeluk Liam. Liam begitu terkejut dan dia berusaha melepas pelukan Kia namun Kia makin mengeratkan pelukannya. Liam memegang kedua lengan Kia dan menjauhkan badannya dari drinya. “Kendalikan dirimu Kia. Saya mohon, jangan ganggu saya lagi.” Liam berbalik dan berjalan menuju mobilnya. Setelah mobil Liam berlalu dari hadapan Kia, Vicky dan Sasha berjalan mendekatinya. Kia menatap Vicky dan Sasha bergantian. “Mana fotonya? Coba aku lihat.” Ucap Kia sambil melukis senyum. Vicky menyerahkan smartphonenya. Kia memandangi foto-fotonya bersama Liam dan tersenyum culas. Foto-foto yang djepret cukup banyak, mulai dari foto saat mereka berbincang di coffee shop, sampai foto pelukan barusan. “Satu foto aja nggak cukup buat bikin istri pak Liam percaya kalau antara aku dan pak Liam ada hubungan. Jadi aku perlu banyak foto.” Sasha menggeleng mendengar kata-kata Kia. “Lo nekat banget Kia. Apa rencana lo ama foto-foto ini? Lo bakal bener-bener nyebarin foto ini? Atau hanya mengirim ke istri pak Liam?” Sulli memicingkan matanya. Kia tersenyum, “gue punya rencana lebih besar dari ini. Kalian tahu, gue paling benci ama orang yang menolak gue. Kalau gue udah sakit hati, gue bisa nekat nglakuin apa aja. Aku nggak akan bikin hidup pak Liam tenang.” Vicky melongo sekian detik, “kayaknya lo udah mulai terobsesi ama pak Liam.” Kia tersenyum sekali lagi, “ya gue mungkin udah terobsesi ama dia. Dan gue nggak peduli apapun. Gue cuma pingin ngasih dia pelajaran.” “Tapi lo mesti hati-hati juga Kia. Perasaan obsesi kayak gini bakal menyiksa diri sendiri.” Sasha mencoba memperingatkan. “Kalian tenang aja. Tugas kalian hanya bantu gue dan jaga rahasia.” Kia menatap kedua temannya tajam. ****** Perasaan Liam campur aduk tak menentu. Dia begitu kecewa dengan Kia dan sedari tadi pikirannya buntu memikirkan jalan keluar untuk menghentikan Kia. Mungkin dia perlu meminta bantuan seseorang. Dering smartphone mengagetkannya. Liam menepi dan menghentikan mobilnya, lalu dia mengangkat telpon. “Assalamu’alaikum ada apa Kris?” “Wa’alaikumussalam. Gue pingin ketemu lo. Lo lagi dimana?” Liam menghela napas sejenak. Sebenarnya dia sedang tak mood untuk berbicara dengan kakaknya. “Gue lagi jalan pulang. Lo masih di kantor? Kalau masih di kantor, gue mampir ke kantor.” “Iya Liam, gue masih di kantor.” “Ya udah gue mampir.” Liam menutup telponnya lalu melajukan mobilnya. ****** Dua kakak beradik itu duduk saling berhadapan dengan atmosfer yang lebih canggung. Rasanya sejak kejadian Kris kabur dua hari menjelang pernikahannya, hubungan Liam dan Kris seperti perang dingin dan tak bisa kembali normal seperti sebelumnya. Padahal dulu mereka begitu akrab dan tak terpisahkan. Ditambah sekarang Liam dan Ami saling jatuh cinta. Kris tidak bisa menampik, ia cemburu melihat keharmonisan adiknya dan seseorang yang baru ia sadari begitu berarti untuknya. “Liam, gue pingin cerita semua, tentang Stella, tentang Callista.” Liam melirik kakaknya dan mengamati ekspresi wajah Kris yang terlihat begitu serius. “Okey, gue bakal nyimak.” Kris menarik napas dan menghembuskan perlahan. “Gue dan Stella itu dulu cuma kenal sebentar Liam, teman yang ngenalin. Waktu kita jadian pun itu cuma semata buat fun aja. Gue nggak bener-bener cinta dia. Sampai akhirnya kami mabok dan melakukannya. Dan setelah kejadian itu, Stella pergi entah kemana. Gue nggak sebejat itu main tinggalin dia. Gue merasa bersalah karena ternyata Stella belum pernah tidur ama cowok manapun selain ama gue. Dia datang lagi waktu kandungannya udah tujuh bulan. Dia minta pertanggungjawaban gue. Gue sempat nolak karena gua pikir, mungkin aja anak yang ada di kandungannya bukan anak gue. Gue bilang gue bakal nikahin dia setelah anak itu lahir. Waktu Callita lahir, Stella mengidap baby blues syndrome yang cukup parah. Mungkin lo masih inget waktu itu gue pernah jarang banget pulang ke rumah, karena gue mesti nemeni dia.” Liam masih menyimak setiap kata yang meluncur dari kakaknya. Liam juga masih bisa mengingat masa dimana Kris jarang banget pulang ke rumah dan membuat ayah dan ibunya senewen setiap hari. Kris mengatur napasnya yang serasa mencekat. Dia lanjutkan kata-katanya, “baby blues Stella berkembang jadi post partum depression yang lebih berat. Dia bahkan tak segan untuk melukai diri dan yang gue takutin dia akan melukai Callista juga. Dia selalu merasa dirinyalah penyebab Tuhan marah, karena itu Callista diberikan tubuh yang tidak sempurna. Dia marah pada dirinya sendiri. Waktu itu gue bilang gue akan menikahinya, mungkin dengan itu depresinya akan sembuh, tapi ternyata tidak. Apalagi kami beda agama, ini yang membuat semuanya makin sulit. Pada akhirnya dia diagnosa skizofrenia dan harus dirawat di Rumah Sakit Jiwa. Dia tidak diperbolehkan mengasuh Callista. Gue titipin Callista ke ayah angkat Stella karena gue tahu, ayah dan ibu pasti nggak akan bisa menerimanya.” Kris mengusap wajahnya. Banyak hal yang dia pikirkan. Beban itu serasa makin berat karena dia merasa telah menjadi ayah yang buruk untuk Callista. Liam menepuk bahunya. “Gue turut prihatin dengan semua permasalahan lo. Lo nggak usah khawatir soal Callista. Gue dan Amber bakal jagain Callista seperti anak kita sendiri.” Kris mengulas senyum, “makasih Liam. Gue percaya kalau lo dan Ami bisa jaga Callista dengan baik. Gue merasa bersalah karena gue nggak ngrawat Callista sendiri. Ayah dan ibu nggak akan ngizinin. Gue rasa Callista juga bakal lebih aman bareng Ami karena lo tahu sendiri, kerjaan gue padat, kadang gue mesti ke luar kota.” Liam mengangguk dan tersenyum, “gue paham ama masalah lo. Gue dan Ami seneng banget bisa ngasuh baby Cal dan dia udah ngasih warna buat kehidupan kami.” “Liam....” Kris menatap Liam tajam. “Ya Kris..” “Kalau misal suatu saat gue pingin ngasuh baby Cal atau mungkin Stella sembuh dan kita bisa menikah, apa kalian nggak keberatan kalau nanti gue dan Stella meminta Callista dari kalian?” Pertanyaan Kris begitu sulit untuk Liam jawab. Sulit untuknya membayangkan jika suatu saat dia dan Ami harus melepas Callista. Mereka terlanjur menyayangi anak itu. Rasanya berat jika harus berpisah dengan seseorang yang dicintai. Kehadiran Callista begitu berarti dalam kehidupannya. Liam balas menatap Kris tajam, “tentu saja kami harus merelakan hati untuk melepas Callista sewaktu-waktu Kris. Kalian orangtua kandung Calista dan lebih berhak untuk mengasuhnya.” Kris tersenyum dan mengangguk, “makasih untuk pengertiannya Liam.” Sesaat kemudian, bunyi smartphone mengagetkan Liam. Dia menatap layar smartphonenya dan memdapati satu pesan WA masuk dari Kia. Saya akan mengirim kenang-kenangan manis kita yang lain, tunggu ya... Mata Liam terbelalak. Kenang-kenangan apa yang dimaksud Kia? Sesaat kemudian datang lagi beberapa pesan masuk dari Kia. Isinya foto-foto dirinya dan Kia saat berbincang di coffee shop dan yang membuat Liam shock ada foto dia dan Kia terlihat sedang berpelukan. Liam ingat Kia sempat nekat memeluknya saat dia berjalan menuju mobilnya di area parkir. Lagi-lagi kepala Liam terasa pening dan rasanya mau meledak. Liam melirik Kris sejenak. Apa ia harus meminta bantuan kakaknya untuk menghadapi masalahnya? ****** FYI, baby blues dan depresi post partum itu sama-sama gejala kesedihan dan kecemasan setelah melahirkan. Bedanya baby blues terjadi dalam waktu singkat, biasanya selama 2 minggu, sedang depresi post partum bisa terjadi berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Orang yang mengalami depresi post partum akan kehilangan semangat, mengalami kecemasan dan kepanikan terus-menerus, memiliki pemikiran-pemikiran yang menyeramkan, merasa bersalah, tidak berguna, menyalahkan diri sendiri, moodnya labil, mudah marah, mengalami kesedihan yang mendalam, menangis tidak terkontrol dalam waktu yang lama, memiliki kekhawatiran tidak bisa menjadi ibu yang baik, susah tidur, takut ditinggal berdua dengan baby, dan kadang terbersit keinginan untuk melukai bayinya. (www.hellosehat.com)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD