Author’s POV
Kris memperhatikan raut wajah Liam yang tampak cemas. Ia menduga, Liam tengah menyimpan masalah. Tumbuh bersama sejak kecil dan bahkan mereka pernah satu kelas waktu SMA karena Liam pernah akselerasi hingga dia bisa lulus bersamaan dengannya, sedikit banyak membuat Kris begitu paham akan karakter adiknya.
“Ada apa Liam?”
Liam terkesiap. Ia menatap kakaknya dengan menimbang-nimbang rencananya kembali. Apa ia perlu melibatkan Kris untuk membantunya mencari jalan keluar?
“Ada masalah? Wajah lo nggak bisa nyembunyiin masalah dari gue.” Kris mengulas senyum.
Terlepas dari permasalahan yang berhembus sejak Kris kabur menjelang hari pernikahannya, di mata Liam, Kris selamanya adalah kakak yang baik untuknya.
Waktu kecil Liam kerap dibully oleh teman-teman SDnya karena wajahnya yang imut seperti anak perempuan, Kris selalu datang sebagai pahlawan yang membelanya dan membungkam mulut nyinyir teman-temannya.
Sejak SMP, Liam sudah menjadi kurir pribadi pengantar surat-surat para cewek yang menggilai Kris dan dia juga menjadi saksi hidup betapa kakaknya ini sudah berbakat menjadi playboy sejak SMP.
Saat Kris malas belajar sewaktu mereka satu kelas saat SMA, Liam sudah melahap membaca banyak buku sebelum makan malam dan esoknya Kris selalu meminta contekan pada adik satu-satunya itu.
Liam selalu menutupi kenakalan Kris di depan ayah ibunya karena ia tak mau orangtuanya memindahkan Kris ke kampung pamannya seperti yang selalu diucapkan ayahnya kala Kris berbuat onar.
Dan sekarang Liam rasa, ia benar-benar membutuhkan bantuan kakaknya.
“Ada masalah.” Jawab Liam singkat.
“Masalah apa? Kerjaan?” Kris menyipitkan matanya.
“Bukan. Tapi bisa jadi ini bakal nyrempet ke masalah kerjaan.” Liam menghela napas sejenak.
Dia kembali menatap Kris begitu serius, “ada mahasiswi mengejar-ngejar gue. Kalau gue bilang dia udah terobesesi dan freak, super nekat dan ada aja kelakuannya buat jebak gue. Dia manfaatin kesempatan ngambil foto gue bareng dia, seolah-olah antara kami ada sesuatu. Gue takut banget dia nekat nyebarin foto-foto itu. Apalagi kalau sampai ke Ami.”
Kris memutar matanya, “kok dia bisa sampai dapetin foto kalian berdua? Kalian pernah ada moment bareng?”
Liam menghembuskan napasnya pelan. Ia sudah menduga Kris bakal menanyakan hal ini.
“Jadi dia jebak gue di toilet. Dia sengaja numpahin jus ke baju gue, terus gue ditarik ke toilet, alibinya dia mau bersihin kemeja gue. Dia manfaatin kesempatan untuk memotret, jadi seolah-olah kami lagi saling pelukan. Terus barusan ngajak ketemuan di coffee shop. Dia ngancam gue pakai foto di toilet itu. Nah waktu gue jalan ke mobil, dia sengaja meluk gue dan ternyata dia minta orang buat motret kami pas dia lagi meluk gue. Caranya ini licik banget Kris. Gue nggak bisa bayangin kalau dia nekat nyebarin foto ini. Gue nggak akan hanya kehilangan Ami, tapi mungkin pekerjaan juga.”
“Coba gue lihat foto-fotonya.” Ucap Kris.
Liam memyerahkan smartphonenya. Kris melihat foto-foto tersebut dan memerhatikan foto mahasiwi yang sudah mengganggu bahkan bisa dibilang mulai meneror adiknya.
“Dia pakai cara licik ya. Terkadang cara licik harus dibayar dengan cara licik juga.” Kris tersenyum penuh arti.
“Maksud lo?” Liam mengernyitkan alisnya.
“Serahin aja ke gue. Lo tenang aja. Mahasiswi itu namanya siapa?”
“Kia.” Jawab Liam.
“Dia asli sini?” Tanya Kris lagi.
“Bukan. Setahu gue dia kost di sini.”
“Ya udah lo tenang aja. Serahin urusan ini ke gue. Gue bakal bantu lo. Gue tahu, gue nggak bisa bales sepenuhnya kebaikan lo, tapi mungkin gue bisa balas sedikit karena lo udah jadi daddy yang baik untuk Callista.” Kris menepuk bahu Liam.
“Makasih Kris.”
“Nggak usah makasih segala.” Seringai Kris.
Mereka tertawa sejenak.
“Gue minta maaf ya. Dari kecil gue selalu ngrepotin lo.” Ujar Kris lagi.
Liam tersenyum, “nggak apa-apa, lo kan emang udah biasa ngrepotin. Kalau nggak ngrepotin, bukan Kris namanya.”
Kris memukul bahu Liam pelan. Mereka tertawa lagi.
******
Liam memarkir mobil di garasi. Berpisah beberapa jam dengan Ami dan Callista sudah membuatnya begitu rindu. Liam melangkah menuju teras, membuka pintu dan mengucap salam. Terdengar balasan salam dari asisten rumah tangganya yang tengah bermain dengan Callista.
“Hi baby Cal..” Liam mengusap rambut anak angkatnya itu dengan lembut.
“Ami mana bi?”
“Di atas a.” Jawab wanita paruh baya itu sambil mengulas senyum.
Liam segera menaiki tangga. Saat membuka pintu kamarnya, Liam mendapati Ami tengah terisak.
“Sayang, kamu kenapa nangis?”
Ami menoleh suaminya. Bara amarah terlihat begitu nyata di kedua matanya. Liam menyadari sesuatu telah terjadi.
“Ada apa Mi?”
“Kamu selama ini bermain di belakangku.” Ami mencecar dan tatapannya begitu menghujam, membuat Liam bertanya-tanya ada gerangan apa yang membuat Ami semarah ini.
“Maksudnya apa Mi?”
“Nggak usah berlagak nggak tahu apa-apa Liam. Kamu punya affair dengan Kia. Aku sudah lihat foto-fotonya.” Ami meninggikan suaranya.
Liam mengernyitkan alisnya, “foto-foto?”
“Kelakuan kamu itu benar-benar menjijikan Liam. Berpelukan di toilet, lalu di muka umum. Sama sekali nggak ada rasa malu.” Mata Ami terlihat sembab. Liam bisa menebak, Ami habis menangis dan sepertinya tangisnya begitu menyayat. Jejak-jejak air mata itu masih terlihat begitu nyata.
“Aku bisa jelasin soal ini Mi. Tolong dengerin aku dulu.” Liam melangkah mendekat dan meraih tangan Ami namun Ami segera melepaskan genggaman Liam.
“Kayaknya nggak perlu ada yang dijelasin Liam. Semuanya udah jelas kok. Dan itu semua foto asli, bukan hasil editan.” Hati Ami terasa begitu sakit. Jauh lebih sakit dibanding saat patah hati karena Kris. Di saat dia menyerahkan hatinya sepenuhnya untuk Liam, Liam justru mengkhianatinya.
“Kia itu menjebakku Mi. Jangan mudah termakan provokasinya.” Liam menaikkan intonasi suaranya.
“Menjebak? Ini hanya alibimu saja kan?”Ami tak kalah, ia pun meninggikan suaranya.
Liam mencengkeram kedua lengan Ami, “dengarkan aku dulu Mi. Kia waktu itu sengaja menumpahkan jus ke bajuku. Dia narik tanganku ke toilet, alasannya mau bersihin noda jus yang nempel di baju. Aku udah bilang nggak usah dibersihin. Dan ternyata tanpa sepengetahuanku dia memanfaatkan kesempatan untuk memotret, biar terkesan kami sedang pelukan, padahal kejadiannya nggak seperti di foto Mi. Terus foto pelukan di tempat parkir, dia sengaja meluk aku Mi, tanpa bisa kuantisipasi. Aku yakin dia minta bantuan temannya untuk memotret kami. Please percaya ama aku.”
Ami menyingkirkan kedua tangan Liam, “nggak semudah itu untuk percaya Liam. Bisa aja kamu berbohong. Aku sadar benar kita nikah awalnya karena terpaksa. Nggak ada cinta, cuma semata untuk menjaga nama baik keluarga. Mungkin aku aja yang ke-GR-an berpikir kamu benar-benar jatuh cinta ama aku, tapi sebenarnya kamu belum mencintaiku sepenuhnya, karena itu kamu masih mudah terombang-ambing Liam.”
“Aku nggak sepicik itu Mi, please percaya sama aku. Aku sadar banget, aku udah jatuh cinta ama kamu dan aku berharap pernikahan kita terus berlanjut sampai kapanpun meski diawali dengan nikah paksa.”
“Aku butuh waktu untuk sendiri dulu Liam. Aku nggak mau kita bicara di saat emosiku belum stabil.” Ami berjalan mendekat ke arah jendela. Ia sibak tirai sedikit dan pandangannya menyapu ke arah luar.
“Aku nggak akan berhenti sebelum kamu percaya ama aku Mi. Aku nggak akan mundur sebelum berhasil meyakinkanmu. Aku masih ingin bicara.” Liam kembali mendekat pada Ami dan meraih tangan Ami.
Ami berusaha melepaskan diri dari cengkraman Liam.
“Sebaiknya kita nggak usah bicara dulu Liam. Aku udah terlanjur sakit dan aku nggak bisa gitu aja percaya ama kamu. Aku perlu bukti yang kuat untuk bisa kembali lagi percaya ama kamu.”Ami menegaskan sekali lagi.
Liam mencengkeram lengan Ami dengan sedikit kasar, “kenapa kamu nggak bisa percaya ama aku Mi. Kamu lebih percaya ama orang lain dibanding suami sendiri.”
Liam menarik tubuh Ami dan berusaha menciumnya, saking gregetnya. Ami memalingkan wajahnya. Liam tak jua menyerah. Dia berusaha mencium sekali lagi namun dengan tangkas Ami mendorong tubuh Liam. Liam tak kehabisan akal. Ditariknya tangan Ami dan ia dorong tubuh Ami hingga terhempas di ranjang. Liam menindih tubuh istrinya dan mengunci kedua tangannya dengan genggaman tangannya yang menekan tangan Ami erat-erat.
“Apaan si Liam?” Ami berusaha bangun namun beban berat Liam yang menghimpitnya membuatnya tak leluasa bergerak.
“Aku pingin kamu dengerin aku dulu. Aku nggak mau menunda-nunda untuk menyelesaikan permasalahan kita. Kita selesaikan sekarang juga.” Liam menatap Ami tajam. Baru kali ini Ami merasakan tatapan Liam begitu serius dan menuntutnya untuk menuruti keinginan Liam, menyelesaikan persoalan saat itu juga.
“Aku butuh waktu untuk sendiri Liam. Aku udah bilang, aku cuma perlu bukti.” Balas Ami masih berusaha melepaskan tangannya dari cengkraman Liam.
Liam mencium bibir Ami tanpa bisa dicegah oleh Ami. Ami memalingkan wajahnya ke kanan dan ke kiri, menghindari ciuman Liam. Semakin ditolak, Liam semakin liar. Saat berhasil menempelkan ujung bibirnya di bibir manis istrinya, Liam memagutnya dengan ganas, menyesap dalam-dalam dan tak memberi kesempatan pada Ami untuk melepaskan ciumannya. Liam meneruskan ciumannya hingga membuat Ami sedikit melemah dan tangannya berhenti bergerak. Hampir saja ia terbawa ciuman Liam yang begitu menuntut dan memacu jantung Ami untuk berdegup lebih cepat, namun ia teringat ia masih belum bisa memercayai suaminya. Ami memilih pasif. Liam melepas ciumannya dan menatap Ami lekat-lekat. Deru napas mereka terdengar tak beraturan. Mata mereka saling beradu.
“Kalau kamu memang minta bukti, aku akan membuktikannya Mi. Dari awal aku udah bilang ini jebakan dari Kia. Aku akan mendapatkan bukti itu.”
Ami terdiam. Tatapannya masih menelisik pada wajah Liam yang sudah terlihat lebih tenang.
“Okey aku akan kasih kamu waktu untuk memikirkan semua, membangun kembali kepercayaan kamu ama aku. Dan aku akan terus berusaha meyakinkan kamu.” Lanjut Liam. Sebelum bangun dari posisinya, Liam memberi kecupan di sepanjang leher Ami, memberikan sensasi yang bercampur aduk di hati Ami. Di satu sisi, dia begitu menginginkan keromantisan bersama Liam, namun di sisi lain hatinya masih begitu sakit dan luka itu telah mengikis kepercayaannya pada Liam.
Liam bangun dari posisinya lalu berjalan meninggalkan Ami sendiri di kamar. Ami terpekur dan air mata itu kembali menetes.
Liam mengepalkan tangannya lalu memukulkannya ke tembok. Dia begitu kecewa pada Kia. Smartphonenya berbunyi. Ada satu pesan WA dari Kia.
Ini baru awal pak. Saya bisa melakukan lebih kejam dari ini. Seandainya seluruh pihak kampus tahu affair kita, mungkin karir dan nama baik bapak juga akan berakhir.
Liam memijit pelipisnya. Kia selalu saja menganggap antara dirinya dan Kia ada suatu affair, padahal Liam tak pernah sedikitpun menyelingkuhi Ami. Kini ia benar-benar berharap pada Kris untuk membantunya menemukan solusi dan mendapatkan bukti yang bisa mengungkapkan kebenaran dan meyakinkan Ami. Kepercayaan dari Ami jauh lebih penting dibanding karir atau nama baiknya.
******
Pagi ini Liam dan Ami tak bertegur sapa. Sudah sejak semalam mereka saling mendiamkan bahkan juga pisah ranjang. Liam sebenarnya merasa galau luar biasa dan rasanya ia belum tenang jika permasalahannya dan Ami belum diselesaikan. Tapi ia tak bisa memaksa Ami untuk memercayainya. Dia hanya butuh waktu dan kesabaran dalam menghadapi istrinya. Dia harap Ami bisa membuka hati untuk kembali percaya padanya.
Saat berangkat pun, Ami masih bersikap cuek dan tak mengantar suaminya sampai ke depan. Hati Liam teriris. Tak ada jabat tangan, cium kening atau cium bibir seperti pagi-pagi sebelumnya. Liam berusaha menenangkan diri sendiri. Jika nanti dia bisa mendapat bukti bahwa foto-foto itu hanya jebakan, Liam yakin Ami akan kembali percaya padanya.
Liam berjalan menyusuri koridor kampusnya dengan wajah yang lebih mendung dari biasanya. Ia melihat Kia yang berjalan di ujung koridor dari arah yang berlawanan. Ketika mereka berpapasan, Liam memalingkan wajahnya. Dia begitu marah dan kesal pada gadis itu. Namun dia harus menjaga sikap selama di kampus meski ia ingin sekali menegur gadis itu dan memintanya untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya pada Ami, meski ia tak yakin Kia mau melakukannya.
Liam menghempaskan badannya di kursi ruangannya. Sesaat smartphonenya berbunyi. Satu pesan WA datang dari Kris.
Liam coba lo WA Kia, ajak dia ketemuan di Lovely night club. Bilang padanya kalau nanti malam akan jadi first date kalian. Lo nggak usah bener-bener datang. Gue yang akan menggantikan lo. Gue bakal kenalan ama dia dulu. Setelah itu gue akan merencanakan yang lain. Siang gue banyak kerjaan Liam, jadi malam hari itu waktu yang tepat untuk kenalan ama cewek itu.
Liam ragu sejenak untuk menjalankan misi ini. Tapi dia percaya pada Kris. Toh dia tidak benar-benar datang ke night club. Liam membalas pesan WA kakaknya.
Kenapa mesti di night club Kris?
Kris membalas.
Dia pasti biasa clubbing. Gue bisa deketin dia lebih personal kalau di club. Lo nggak usah banyak nanya. Serahin ke gue.
Setelah Liam mempertimbangkan matang-matang, akhirnya dia turuti saran Kris. Liam mengirim pesan WA untuk Kia.
Kia ntar malam kita ketemuan di Lovely Night Club. Ini akan menjadi first date kita.
******