You Are My Endless Story

1586 Words
Author’s POV Liam mengerjap berkali-kali untuk memastikan apa yang di depannya adalah nyata. Dia tidak sedang bermimpi. Ami benar-benar mendatanginya. Disentuhnya leher Ami, tepatnya di bagian jejak kiss mark kemarin malam yang masih terlihat namun sudah mulai samar. Jari-jarinya menurun ke dadanya. Gairahnya semakin berkobar kala ia melihat Ami menggigit bibir bawahnya. “Gue nggak lagi mimpi kan Mi?” Ami menggeleng, “apa lo nggak mau nglakuin malam ini?” “Ma..mau..mau banget.” Ujar Liam langsung menyambar. Tentu, dia sudah menantikan moment ini. Ami beranjak dan menggandeng tangan suaminya, “tunggu apa lagi?” “Gue bersih-bersih dulu ya Ami. Lo udah wangi gini, masa gue bau iler.” Ami tertawa kecil lalu mengangguk pelan. Liam begitu bersemangat menyuci wajahnya, menggosok gigi dan menyemprotkan parfum terbaiknya. Setelah merasa cukup bersih dan wangi, dia merangkak naik ke ranjang. Ami sudah duduk bersandar di sandaran kayu yang melintang di tepi ranjang bagian ujung. Mereka saling menatap, masih dengan desiran tak menentu dan semburat merah yang menyapu pipi. Deg deg deg.... Degup jantung keduanya terdengar lebih cepat dan tak beraturan. Belum apa-apa, Liam sudah menegang hanya dengan melihat tubuh seksi Ami yang terbalut lingerie yang menonjolkan setiap lekuk tubuhnya. Dia begitu mengagumi perut Ami yang terlihat rata pertanda Ami gemar berolahraga dan pintar menjaga bentuk tubuhnya. Liam mengusap pipi kanan Ami dengan senyum lembut diringi mata yang menyipit, pertanda aura m***m sudah merajai dirinya. Liam ingin segera mengawali keintiman mereka dengan ciuman pembuka, namun rasanya dia tak perlu grasa-grusu. Menelisik wajah Ami dengan begitu lekat rasanya begitu mendamaikan. Apa memang begini rasanya menatap pasangan yang sudah halal tanpa takut zina mata? “Gue takut lo nggak akan maafin gue Mi. Meski gue nggak salah, tapi gue tetep bakal minta maaf ama lo. Gue nggak bohongin lo Mi. Gue jujur kalau tadi siang emang ada mahasiswi yang nggak sengaja terjatuh dan bibirnya nyentuh kemeja gue. Sekalipun pernikahan kita diawali karena keterpaksaan, tapi sejauh ini gue mencoba buat menghargai komitmen dan menghargai lo sebagai istri.” Ami mengusap bibir suaminya, “iya gue percaya lo. Gue yang seharusnya minta maaf karena curiga ama lo dan nggak dengerin penjelasan lo. Gue tadi merenung, bahwa udah seharusnya suami istri itu saling percaya.” Mereka saling melempar senyum. Liam menautkan jari-jarinya pada jari-jari Ami. “Gue selama ini mikir, skenario perjalanan kita buat sampai di sini, rasanya unpredictable banget dan semua berawal dari kekacauan. Tapi gue harap pernikahan kita nggak akan jadi kacau dan gue ingin kita sama-sama melangkah menuju masa depan yang lebih baik. Entah rasa cinta itu udah ada atau belum diantara kita, tapi gue pingin kita belajar untuk saling mencintai.” Tatapan Liam begitu tajam dan Ami seperti tengah menatap lautan luas. Dia mungkin sudah tenggelam di dalamnya. Bukan semata karena sorot tajam Liam yang begitu menghujam tapi juga kata-kata Liam yang begitu mengena dan mencairkan perasaan bekunya akan cinta. Setidaknya Ami tidak lagi skeptis memandang cinta dan perlahan ia bisa membuka hati untuk jatuh cinta pada laki-laki lain, selain pada Kris. “Ya Liam. Skenario ini begitu indah Liam.. Awalnya gue selalu ngliat lo tengil, petakilan, selengekan, nyebelin, nggak ada baik-baiknya. Tapi sekarang di mata gue, semua kelemahan lo menjadi bagian yang lengkap dari diri lo. Ketika dunia lo udah menjadi dunia gue dan dunia gue juga udah jadi bagian dari dunia lo, itu artinya kita harus saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing. Akan lebih baik kalau kita sama-sama memperbaiki diri.” Ami semakin mengeratkan genggamannya. Liam tersenyum dan mengusap kembali pipi istrinya, “maafin gue tadi ya. Gue sempat marah-marah ke lo. Padahal gue sempat janji nggak mau ngasih lo jatah di saat lo minta, tapi gue selalu nggak berdaya melawan pesona lo Mi. Gue selalu kalah. Gue akui lo punya daya pikat yang begitu tinggi. Kadang gue curiga apa gue dipelet ama lo ya, habis gue selalu kepikiran lo.” Ami tertawa, “lo ada-ada aja. Lo kepikiran gue karena lo cuma pingin tubuh gue kan? Lo cuma pingin ngegolin gawang, pingin....dapet keperawanan gue.” Ami tertunduk. “Gue nggak sepicik itu Mi. Kalau tujuan gue cuma pingin ngarasain gimana rasanya ngegolin, gimana rasanya mencicipi tubuh perempuan atau dapetin keperawanan...Mungkin udah dari dulu gue kehilangan keperjakaan gue. Kenapa gue mesti nunggu waktu yang tepat, sementara gue bisa dapetin cewek manapun yang mereka tuh udah lama ngejar-ngejar gue.. Itu karena gue menghargai perempuan. Setiap perempuan berhak merasakan rasa aman ketika dia kehilangan virginitynya untuk orang yang tepat, suaminya. Dan ini juga jadi cara gue buat ngehargai diri gue sendiri untuk menghindari dosa berzina. Gue mungkin bukan orang yang religius, tapi gue sedang belajar untuk taat pada rules agama. Dan gue merasa beruntung dapetin lo, karena lo juga menjaga kehormatan lo untuk orang yang tepat, suami lo.” Ami tersenyum. Matanya berbinar menatap sorot mata Liam yang juga berpendar, seakan memancarkan cinta yang tak pernah habis. “Gue minta maaf sekali lagi, tadi gue sempet egois ngunci pintu kamar. Gue mikir lagi, gue nggak mau dilaknat malaikat sampai subuh gara-gara nolak lo.” Liam tertawa, “lain kali jangan main kunci kamar ya. Sumpah, itu tuh lebih serem dari muka valak.” Ami tertawa lagi. “Mi jangan lupa berdoa sebelum “ehem-ehem” ya.” Liam mengedipkan matanya. Mereka tak lupa mengawali pergumulan mereka dengan doa. Bermesraan antar suami istri adalah cara paling menyenangkan untuk beribadah, mendapat pahala dan berharap akan diberikan keturunan yang sholeh sholehah. Sesuatu yang haram dilakukan ketika belum menikah, menjadi sesuatu yang halal dan malah mendatangkan pahala ketika dilakukan setelah menikah. Manusia hanya terkadang kurang bersabar, hingga mereka memilih menabung dosa dulu sebelum meresmikan hubungan dalam pernikahan. Mata mereka kembali beradu. Liam menelusuri leher jenjang Ami dengan kecupan-kecupan lembut. Ami meremang. Kecupan di leher adalah salah satu spot favoritnya. Kecupan itu ia teruskan menjelajah di setiap jengkal tubuh Ami. Mengeksplorasi tubuh Ami dari ujung atas hingga bawah selalu hadirkan sensasi yang mendebarkan dan memabukkan bagi Liam. Ia baru tahu bahwa tubuh perempuan bisa menjadi candu untuknya. Pakaian masing-masing telah tercecer di lantai. Foreplay yang sedemian panas menerbangkan keduanya pada moment yang lebih intim. Liam memagut bibir istrinya begitu rakus. Dia lepaskan ciumannya sejenak dan menatap wajah Ami dengan gempuran rasa yang begitu membara. “Are you ready?” Tanya Liam dengan posisi badan menindih tubuh istrinya. Ami mengangguk pelan, “Actually I’m afraid it will hurt me too much..There’s always an undescribed feeling to tell about whether I’m ready or not to lose my virginity. I’m little bit scared Liam...” Liam mengusap rambut Ami dan tersenyum tipis, “I can understand it. You don’t need to be afraid. Giving your virginity to me will be your highest achievement as my woman. I will not force you to do it because I will wait until you are ready to do..” Ami mengangguk, “gue nggak bisa menundanya lagi meski gue masih merasa sedikit takut.” Bagi perempuan menyerahkan sesuatu yang bisa dibilang sebagai nyawa keduanya dan harga dirinya kepada seseorang setelah sekian tahun dijaga adalah sesuatu yang sangat emosional. Kendati seseorang itu adalah pasangan sah yang memang berhak atas dirinya. Ada rasa takut, cemas, kekhawatiran bahwa dia akan mengecewakan pasangan atau tak bisa memberinya kepuasan. Segala rasa bercampur aduk, bergemuruh di d**a Ami. Ia sadar melayani suami di ranjang sudah menjadi kewajibannya. Jika ia tak mau melayani, maka ia akan berdosa. Liam bisa melihat kecemasan di raut wajah istrinya. Sebenarnya dia pun merasa deg-degan luar biasa, takut apa yang akan ia lakukan nanti menyakiti Ami dan gagal lagi seperti kemarin malam. “Ami, ikhlaskan semua lahir batin. Ini sudah menjadi kewajiban lo. Gue juga berkewajiban memberi lo nafkah, nggak cuma nafkah lahir tapi juga batin. Ini juga pengalaman pertama buat gue dan gue juga sama kayak lo, deg-degan. Deg-degan banget. Percaya ama gue, malam ini kita bakal berhasil.” Ami mengangguk sekali lagi. Liam kembali melumat bibir Ami, menyesapnya dalam-dalam dan menyalurkan segala perasaannya tuk menghilangkan segala rasa gugup yang ada. ****** Liam Menatap wajah Ami sedemikian lekat. Segaris senyum melengkung ke atas. Rasanya tak bosan-bosannya dia memandang wajah istrinya yang natural tanpa make up. Semakin hari Ami terlihat semakin cantik di matanya. “Terimakasih Mi...terimakasih udah menjaga kehormatan lo buat gue. Malam ini benar-benar pengalaman yang menakjubkan dan nggak akan pernah terlupakan.” Liam mengecup kening Ami begitu dalam dan lembut. Ami memejamkan mata dan merasakan dalam-dalam aliran cinta dari Liam yang seakan menyusup ke setiap celah hatinya. Mereka kembali beradu pandang. “Gue bahagia banget Liam. Rasanya lega. Ke depannya nggak akan lagi ada beban atau ketakutan untuk gagal. Gue bener-bener ngrasa udah jadi wanita lo seutuhnya.” Liam mengulas senyum. Pandangannya menyisir pada noda darah di atas sprei. “Spreinya mesti diganti Mi, langsung dikucek kayaknya biar nodanya ilang. Biar gue yang nyuci.” “Gue aja yang nyuci Liam.” Ucap Ami. “Nggak usah, gue aja. Lo istirahat aja. Kasihan tadi lo nahan sakit.” Ami tersenyum. Entah kenapa Liam terlihat semakin keren di matanya. Di balik sikap tengilnya, Liam begitu manis dan memperlakukannya dengan begitu lembut selama mereka b******a. Ami mendaratkan kecupan di pipi Liam dan itu membuat Liam terkesiap. “Terimakasih untuk semuanya.” Ucap Ami lembut. Liam merengkuh tubuh Ami yang hanya terbungkus selimut dalam pelukannya. Baginya Amber seperti buku cerita yang tak bosan untuk dibaca..sebuah cerita yang tak berkesudahan..sebuah kisah yang tak pernah berakhir. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD