Little Angel

4049 Words
Liam’s POV Smartphoneku berbunyi, kulirik nama Rangga terpampang di layar. “Hallo assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam pak, ini Rangga.” “Iya saya tahu. Ada apa Ga?” “Saya mau ngadep bapak tapi ruang kerja bapak kosong.” “Hari ini saya ada jadwal sore, jadi baru berangkat ke kampus nanti sore. Tadi pagi ada rapat seluruh dosen psikologi, saya langsung berangkat ke tempat rapat. Lumayan lama rapatnya, ini saya baru pulang. Kamu taruh aja skripsimu di meja saya. Saya janji nanti malam langsung saya koreksi.” “Ya pak terimakasih.” Kuletakkan kembali smartphoneku di meja. Rangga ini salah satu mahasiswa yang aktif dan rajin. Teman-temannya baru mulai penelitian atau bahkan baru mengajukan judul, dia sudah melesat menyusun skripsi. Ami berderap mendekatiku yang tengah mematung di balkon dengan membawa dua buah gelas jus. “Liam gue tadi bikin jus jambu. Diminum gih, vitamin C-nya banyak.” Ami meletakkan dua gelas di atas meja. Dia duduk kembali di kursi depan pintu kamar dan mulai menggunting kembali pola flanel yang ia buat. “Makasih Mi...”Kulirik dia. Entah kenapa sejak semalam auranya terlihat semakin cantik ya. Ami menatapku seakan dia tahu aku tengah mengamatinya. “Ada apa Liam?” Aku mengulas senyum dan memandangnya dengan semua fokus terpusat padanya. Kalau sedang tersipu, dia terlihat jauh lebih menggemaskan. “Aura lo kelihatan beda ya. Mungkin karena udah nggak perawan.” Ami melongo dan menatapku dengan bibir menganga seolah menunjukkan keterkejutannya. “Auranya jadi lebih cerah kok. Soalnya you lost your virginity dengan jalan pernikahan, bukan jalan yang haram.” Lanjutku lagi. Ami tersenyum, “lo kalau ngomong difilter dulu kek. Gue heran, tadi waktu gue denger lo ngomong ama mahasiswa lo di telp, lo kelihatan berwibawa banget sumpah. Kharismanya langsung keluar. Beda banget kalau lagi di rumah, ngomong ama gue. Makanya gue suka penasaran pingin tahu cara lo ngajar itu gimana.” Aku tertawa kecil, “di kampus gue mesti jaga image Mi, jaga wibawa. Kalau nggak gitu nanti disepelein mahasiswa. Usia gue kan masih muda, paling cuma sekitar empat-lima tahun di atas mereka. Nggak mungkin juga gue ngomong nyablak di kampus, pakai lo-gue, di sana mneyesuaikan bahasanya lebih formal. Kalau ngomong ama temen baru deh santai, pakai lo-gue.” Ami menatapku lebih tajam, “gue temen lo?” Deg.... “Lo...lo temen, iya...temen bobo.” Kukedipkan mataku. Giliran Ami yang menyeringai. “Sekedar temen bobo?” Tanyanya lagi. Aku mendekat padanya dan aku berjongkok di depannya yang tengah duduk. Kuraih tangannya untuk kugenggam. “Lo temen hidup, temen yang bakal dampingi gue susah maupun senang.” Kami saling melempar senyum. “Cuma gue? Nggak ada yang lain?” Sepertinya Ami mulai meragukanku. Maklum punya wajah ganteng gini sering dikaitkan dengan status playboy. Padahal aslinya gue jauh dari kesan playboy. “Emang yang lain lagi siapa?” Aku beranjak dan duduk di kursi satunya sedang antara kami terbentang satu meja kecil. “Ya siapa tahu ada yang lain. Cowok kan bisa punya istri sampai empat.” Aku tertawa menanggapi omongannya. Wanita itu paling sensitif kalau udah ngomongin poligami. Bahkan banyak yang sewot duluan. Tapi mereka suka mancing-mancing ngomongin masalah ini. “Ami, poligami itu persyaratannya berat. Meskipun Rasulullah poligami tapi beliau tidak mengizinkan Ali bin Abi Thalib untuk berpoligami karena dari yang gue denger di ceramah waktu khotbah Jumat, Rasulullah pernah bersabda putriku adalah bagian dariku. Apa yang meragukannya, itu membuatku ragu. Apa yang mengganggunya itu membuatku terganggu. Rasulullah paham benar akan kondisi psikis seorang wanita yang dipoligami, bahkan Aisyah Radiyallahu’anha adalah istri Nabi yang sangat pencemburu. Lagipula Rasulullah poligami itu bukan karena s*****t, tapi perintah dari Allah, yang mana semua istrinya adalah wanita-wanita pilihan.” Ami mengangguk, “ya gue juga pernah denger dan baca cerita tentang kisah Ali bin Abi Thalib yang tidak berpoligami. Kadang gue mikir, kenapa laki-laki dibolehkan poligami, sedang istri nggak boleh poliandri?” Aku tersenyum sekali lagi, “itu sebenarnya cara Allah menjaga martabat manusia. Bukan karena nggak adil atau apa. Justru memang hal seperti ini yang bisa menjaga martabat manusia. Logikanya gini. Laki-laki yang punya empat istri, ketika istri-istrinya hamil, nasabnya jelas kan? Bayi-bayi itu anak dari si suami. Nah kalau keadaannya dibalik, seorang istri punya empat suami, saat si istri hamil, anak yang dikandung itu bapaknya yang mana? Manusia itu beda ama binatang. Induk ayam bisa kawin sama ayam jantan manapun, lalu bertelur gara-gara ini, itu nggak masalah, lha binatang kan memang kayak gitu. Tapi kalau manusia akan jadi bermasalah dan menurunkan martabat manusia itu sendiri jika seorang istri melakukan poliandri.” Ami mengulas senyum, “jawaban yang sangat logis Liam.” “Oya gue siap-siap dulu ya Mi, mau siap-siap ke kampus.” “Gue juga mau ke toko. Gue berangkat duluan ya.” Aku mengangguk. Ami beranjak dan sebelum ia melangkah, aku menarik tangannya hingga Ami jatuh ke pelukanku. Amber terlihat kaget. Kami saling menatap sejenak. “Lo nggak pingin gue kasih bekal?” Kukedipkan mataku. “Bekal apa?” Tanpa ba bi bu langsung saja kucium bibir Ami tanpa dia lawan. Ami selalu pasrah saat aku menciumnya dan bakan dia membalasnya dengan lebih dalam. Aku suka caranya membalas ciumanku. Kami melepaskan ciuman kami dan saling manatap dengan senyum yang mengembang. “Udah sana berangkat. Bahaya kalau udah cium-ciuman dan tatap-tatapan gini, ntar malah berujung ke sesuatu yang iya-iya.” Ucapku. Ami tertawa sekali lagi. ***** Kulangkahkan kaki memasuki kelas. Di dalam sudah banyak mahasiswa yang datang, sepertinya berangkat semua. Ada beberapa mata kuliah yang aku pegang. Sekarang ini jadwalku mengisi mata kuliah Kesehatan Mental. Waktu kuliah dulu, aku memang senang mempelajari mata kuliah ini. Seperti biasa kuucapkan salam, para mahasiswa serempak menjawab salam. Kuedarkan pandanganku menyisir ke segala sudut. “Kemarin kita sudah mempelajari tentang definisi dari kesehatan mental, baik definisi luas maupun sempit. Mungkin masih ada yang ingat seseorang dikatakan memiliki kesehatan mental jika terhindar dari gangguan apa saja?” Seorang mahasiswi yang sudah sangat familiar mengangkat tangannya. Dia mengulang mata kuliah ini karena sebelumnya mendapat nilai C. “Ya Kia.” “Perasaan rendah diri, perasaan bersalah, perasaan tidak aman, perasaan gagal, mudah curiga dan perasaan-perasaan negatif lainnya.” Gadis yang sempat meninggalkan bekas bibirnya di kemeja saat dia tak sengaja jatuh menjawab dengan senyum percaya diri. Sepertinya dia lebih antusias mengikuti kuliahku dibanding sebelum-sebelumnya. “Ya terimakasih jawabannya Kia. Sekarang saya ingin membahas lebih detail tentang mental illness, seperti schizophrenia paranoid, obsesif kompulsif dan phobia. Sebelumnya kita perlu tahu, apa definisi dari mental illness itu? Mental illness itu adalah suatu gangguan emosi atau gangguan kepribadian yang sangat berat. Nah dari jenis-jenis mental illness ini, entah itu schizophrenia, obesesif kompulsif atau phobia, mana yang ingin kalian pelari lebih dulu? Saya nurut saja. Nanti kita coba diskusi soal jenis-jenis mental illness ini.” Lagi-lagi Kia mengangkat tangannya, “bagaimana kalau obsesif kompulsif dulu pak? Sepertinya menarik.” “Baiklah. Sekarang kita bahas tentang gangguan obsesif kompusif atau lebih dikenal dengan OCD Obsessive Compulsive Disorder.” Kembali pandanganku menyasar ke segala ruang, “OCD ini gangguan jangka panjang ya. Ciri utamanya itu ada pikiran obsesif dan perilaku yang bersifat kompulsif. Jadi obsesi ini menyebabkan perilaku repetitif atau kompulsi atau berulang. Sederhananya seperti ini, ketika obsesi ini muncul, penderita akan dikuasai rasa cemas dan takut. Kecemasan inilah yang memancing penderita untuk melakukan aksi kompulsi untuk mengurangi kecemasan dan ketakutannya. Contohnya misal orang terlalu takut terkontaminasi kuman, cara dia mengatasi ketakutannya ini adalah dengan menyuci tangan 50 kali. Ada pula orang yang selalu memastikan pintu rumah sudah dikunci sebanyak 14 kali, jadi dia akan memeriksa pintu itu bolak-balik selama 14 kali. Gangguan OCD ini kalau sudah dalam tahap parah dapat menguasai dan mengendalikan hidupnya. Jadi kayak ada tuntutan untuk mengulangi ritual yang sama secara berulang-ulang, sampai-sampai kita kesulitan untuk menikmati hal lain yang lebih menyenangkan. Nah sekarang saya ingin tahu, apa yang ada di pikiran kalian saat mendengar kata “obsesi”? Tidak perlu sama dengan yang ada di buku, cukup kalian keluarkan pendapat kalian tentang obsesi ini. Ada yang mau berpendapat?” Hening sejenak, kemudian ada seorang mahasiswa berambut ikal mengangkat tangannya. Kau tidak begitu hafal namnya. “Ya, sebut namanya dan silakan berpendapat.” “Saya Lukas. Kalau menurut pendapat saya ya obsesi ini keinginan untuk meraih sesuatu tapi sudah di luar akal sehat, sudah berlebihan. Mungkin lebih parah dari ambisi. Kalau ambisi masih bisa diterima akal sehat, sedang obsesi kayak menghalalkan segala cara.” “Ada yang lain lagi?” Seorang mahasiswi berambut panjang dan mengenakan bandana merah mengangkat tangannya. “Silakan.” “Saya Anna. Kalau menurut saya obsesi itu ketakutan yang berlebihan dan tidak masuk akal. Jadi saya melihat dari pengertian OCD itu sendiri, dimana kalau saya tarik kesimpulan OCD ini bisa diartikan gangguan mental dimana seseorang memiliki pikiran atau ketakutan yang tidak masuk akal, atau disebut obsesi dan menuntun dia untuk melakukan tindakan yang berulang atau kompulsif.” “Pendapat yang bagus, ada lagi?” Aku kembali melemparkan kesempatan untuk mahasiswa yang lain.” Seorang mahasiswa mengangkat tangannya. Kali ini aku hafal namanya. Dia Afrizal, salah satu anak BEM.” “Silakan Afrizal.” “Kalau menurut saya obsesi mungkin bisa diartikan pikiran yang berulang, impuls atau dorongan yang menyebabkan kecemasan.” Aku tersenyum, “pendapat dari kalian ini tidak ada yang salah. Semuanya benar. Dari diskusi ini saya rasa semakin menarik dan mencerahkan. Artinya kita bisa menarik kesimpulan yang lebih sederhana dari definisi OCD itu sendiri. Menariknya di sini adalah obsesi dan kompulsi sebenarnya dua hal yang bertolak belakang. Jika obsesi memunculkan kecemasan, kompulsi bisa mengurangi atau menghilangkan kecemasan. Yang jadi masalah jika perilaku kompulsi ini terus berulang maka bukannya menghilangkan kecemasan justru akan membuat kita semakin cemas dan mengganggu rutinitas kita, hidup kita serasa dikendalikan dengan perasaan ini.” “Sampai di sini ada yang ingin bertanya?” Kia mengangkat tangannya. “Silakan Kia.” “Saya ingin tanya apa perfeksionisme itu menjadi salah satu ciri OCD? Saya orang yang cenderung perfeksionisme, itu juga yang jadi alasan saya kenapa saya mengulang mata kuliah bapak, karena saya nggak suka melihat ada nilai C dalam transkip nilai saya. Rasanya nggak matching aja, nilai-nilai saya di mata kuliah lain yang didominasi A dan B harus disandingkan dengan niai C.” “Saya mah kalau dapat C nggak diulang, udah alhamdulillah banget. Toh dengan nilai C udah lulus.” Tukas salah seorang mahasiswa yang aku hafal benar suka tidur di kelas. “Ya standarnya Kia kan beda dengan kita.” Sahut seorang mahasiswi. “Okey kita kembali membahas masalah perfeksionisme ini ya. Saya rasa keinginan untuk mendapat nilai bagus masih dalam kewajaran. Kecuali kalau kamu menempuh cara yang melanggar, ini akan mengganggu. Contoh sikap perfeksionisme yang bisa merupakan gejala dari OCD misal kamu terobsesi untuk menata kaleng-kaleng dalam keadaan simetris, diatur sedemikian rupa agar teratur. Cuma ini kan salah satu gejala. Untuk mediagnosa apakah seseorang menderita OCD atau tidak perlu pemeriksaan yang mendalam.” Kia mengangguk, “lalu bagaimana jika saya punya obsesi terhadap seseorang, namun rasanya sulit untuk menjangkaunya.” “Ciyeee.....jatuh cinta ya?” Ledek salah seorang mahasiswa diikuti sorakan mahasiswa lain. Wajah Kia terlihat memerah. Entah kenapa aku merasa ada yang beda dari caranya menatapku. “Jadi gini, saya mungkin jatuh cinta atau apa, tapi saya punya keinginan atau dorongan yang kuat untuk mendapatkannya. Apapun caranya. Hanya saja dia sudah punya pasangan. Apa yang saya rasakan ini termasuk obsesif? Kata orang jatuh cinta itu bisa menjadi sesuatu yang irasional. Jadi kalau saya jatuh cinta ama laki-laki beristri apa saya salah?” Mahasiswa yang lain kembali meledeknya bahkan ada yang nyeletuk, “pelakor nih...” Aku sendiri bingung juga menanggapinya. Ditambah sedari tadi Krystal menatapku penuh arti, sepertinya laki-laki beristri yang dia maksud adalah aku. Sebenarnya bukan sekali ini aku digoda mahasiswi. Rasa-rasanya sejak awal menginjakkan kakiku di sini, banyak sorot mata mahasiswi yang seringkali mencuri pandang ke arahku bahkan banyak yang menggodaku secara terang-terangan di dm i********: atau WA. Ya gimana lagi, nasib menjadi dosen muda dengan level kegantengan di atas rata-rata memang harus siap digoda. Tapi untungnya aku tipe yang tahu bagaimana mensyukuri karunia wajah tampan ini dengan tidak jelalatan atau mempermainkan perempuan. Lebih-lebih sekarang aku udah menikah, aku harus lebih menjaga diri. “Hmm untuk jatuh cinta pada orang yang tidak seharusnya dicintai, saya mungkin no comment saja. Kalau bicara soal jatuh cinta itu sesuatu yang kata orang nggak bisa dicegah atau dihindari, karena datangnya juga tiba-tiba. Saya sendiri menikah dengan perjodohan dan cinta itu datang dengan sendirinya. Padahal awalnya saya nggak pernah berpikir bisa jatuh cinta ama dia, ternyata saya jatuh juga.” “Ciyeeee....suit suit....” Terdengar ledekan dari seisi kelas, seakan menggema ke seantero sudut. “Udah dikasih jatah kayaknya nih....” Ledek salah seorang mahasiswa disusul tawa yang lain. Aku cuma bisa tersenyum, “kalian kalau bahas kayak gini semangat banget ya.” “Bapak mukanya merah lho... emang beneran lagi jatuh cinta ama istri sendiri..” Senyum lebar tergambar di wajah Abi, mahasiswa yang suka banget meledek. Mahasiswa yang lain bersuitan ikutan meledekku. “Udah..udah jangan ledekin saya mulu. Oya pesan saya untuk Kia atau siapapun yang sedang jatuh cinta pada pasangan orang, sebaiknya belajar mengendalikan perasaan sendiri, misal dengan mencoba menghindar, jaga jarak, alihkan pikiran untuk nggak mikirin dia mulu, jangan membiarkan perasaan itu untuk terus tumbuh. Mungkin sulit tapi harus dicoba. Karena nggak baik juga ya merusak rumahtangga orang lain,” Setelah sekitar satu setengah jam mengisi mata kuliah, aku pun membubarkan kelas. Dan di saat aku memasukkan laptop dan buku ke dalam tas, kurasakan jepretan kamera Hp membidikku. Dia menyalakan mode lampu flashnya jadi aku bisa merasakan secercah cahaya menyoroti wajahku. Saat aku menoleh ke sumber cahaya, aku lihat Krystal masih duduk di kursinya dan mengangkat Hpnya sejajar dengan matanya. Dia memotretku. Krystal segera menurunkan smartphonenya dan menundukkan wajahnya kala aku tatap dia datar. “Kalau pingin dapet gambar saya, di i********: saya banyak.” Ujarku sedikit tersenyum lalu keluar kelas. Saat hendak berjalan menuju area parkir, kurasakan suara panggilan seseorang yang tak asing sedikit mengagetkanku. “Hai pak dosen ganteng.” Aku berbalik. Dan aku terkejut bukan main menatap Ami diam mematung di depanku. “Ami..lo di sini sejak kapan? Kok nggak bilang-bilang mau ke sini?” Ami tersenyum, “gue udah lama tahu di sini. Dan gue ikut masuk kelas. Pingin tahu aja gimana cara lo mengajar. Tadi tuh gue nggak ke toko, tapi langsung ke kampus naik taksi.” Aku menganga sekian detik dan aku sama sekali tak menyangka Ami ikut kelasku. Aku tak menyadari keberadaannya. “Gue tadi pakai masker, makanya lo nggak ngenalin. Maaf ya gue diem-diem masuk kelas. Gue minta tolong ama Rangga buat ngasih info ruangan dan jamnya. Kebetulan temen Rangga ada yang ikut kelas lo, jadi gue ikut dia masuk kelas.” Ami menyeringai dengan muka innocentnya. Aku tersenyum, “kalau lo mau ikut tinggal ikut aja, nggak usah diem-diem masuk kelas.” “Gue emang sengaja nggak ngasih tahu karena kalau lo tahu ada gue di kelas, sikap lo nanti malah jadi nggak natural kan? Terus kalau tadi lo tahu ada gue di kelas, kemungkinan lo juga nggak akan cerita di depan kelas kalau lo jatuh cinta ama gue.” Amber tersenyum manis sekali, lebih tepatnya senyum ke-GR-an. “Emang tadi gue bilang jatuh cinta ama lo ya di kelas?” Aku tersenyum meledeknya. Mungkin saat ini mukaku sudah memerah. Ami mencubit perutku, “lo mau nyangkal ya? Udahlah nggak usah gengsi.” Kami tertawa sejenak, sementara aku lihat Kia dan teman-temannya berjalan menuju area parkir dengan tatapan yang tak lepas mengawasi kami. Aku bukannya GR atau gimana, tapi aku bisa merasakan Kia tertarik padaku. Segera kugandeng tangan Ami dan kubimbing dia masuk ke mobil. Aku tak tahu apa reaksi Kia. Aku cuma ingin dia menyadari aku sudah beristri dan tak akan menggubris ketertarikannya. ****** Di tengah perjalanan, smartphoneku berbunyi. Ami yang duduk di sebelahku melirik smartphone yang aku geletakkan di dashboard. “Lihat aja Mi, kalau bisa bacain pesannya juga. Lo bisa mainin Hp gue kapanpun, nggak ada yang disembunyiin. Asal jangan mainin hati gue.” Ami tertawa kecil. Diambilnya smartphone itu lalu ia geser layarnya. “Ayah yang kirim pesan WA L, beliau minta kita datang ke rumah.” “Ya udah kita langsung ke rumah ayah aja ya.” Aku penasaran juga ada gerangan apa ayahku meminta kami datang ke rumah. Setiba di halaman rumah orangtuaku, aku lihat mobil Kris sudah terparkir di halaman. Dia sudah berani pulang ke rumah. Kami mengucap salam. Ayah dan ibu menjawab serempak dan menyambut kedatangan kami dengan senyum merekah. Kami memang belum sempat mengunjungi mereka pasca pindahan dan baru berencana akan mengunjungi mereka weekend nanti. Kris sedang duduk di ruang tengah dan sama sekali tak menyapaku. Aku perhatikan tatapannya menyisir pada Ami. “Kalian tadi langsung dari rumah?” Tanya ibu lembut. “Nggak Bu, kita dari kampus.” “Nak, ada yang ingin ayah dan ibu sampaikan.” Gantian ayah yang bicara. Aku begitu penasaran ada hal penting apa yang ingin mereka sampaikan. Ekspresi wajah dan ibu terlihat serius sekali. “Ada anggota baru di rumah ini.” Ucap ayah datar. Lalu Teteh Anggi, salah satu asisten di rumah orangtuaku berjalan ke arah kami dengan menggendong bayi. Dan aku terperangah ketika kusadari bayi itu tak memiliki lengan. Kedua tangannya tak ada. Aku bertanya-tanya, siapa bayi ini? Umurnya sekitar setahunan. “Liam, Ami, nama bayi ini Callista, dipanggil Cal. Dia anak dari Kris dengan mantan pacarnya, Yolanda.” Aku benar-benar speechless. Sungguh semua ini begitu mengejutkan untukku. Aku lirik Kris, dia hanya terdiam dan ekspresi wajahnya datar. “Tadi pagi ayah Yolanda datang ke rumah ini. Dia ingin Callista diasuh keluarga kita. Dia bilang nggak sanggup mengasuh karena dia tak punya cukup biaya dan sakit-sakitan, sedang Yolanda dirawat di rumah sakit jiwa karena menderita shizophrenia. Yolanda mengalami depresi berat sejak mengandung anak Kris. Dan kami sangat kecewa pada ulah kakakmu yang lagi-lagi mencoreng nama baik keluarga.” Wajah ayah terlihat begitu berduka. Jelas aku menangkap ada kekecewaan yang teramat besar dari nada bicaranya. Aku melirik Kris kembali dan aku begitu kecewa dengannya. Sangat kecewa. Aku pikir dia hanya flirting cewek-cewek tanpa melakukan sesuatu yang lebih, ternyata dia sampai menabur benih di rahim perempuan, dan perempuan itu sampai mengalami gangguan kejiwaan. Benar-benar b******n. “Ayah sudah bertanya pada kakakmu, apa benar bayi ini adalah anaknya. Kakakmu bilang ya. Dia yang membayar biaya persalinan Cal, hanya dia nggak bisa menikahi Yolanda. Itu yang membuat Yolanda sampai depresi. Dan melihat anak ini yang cacat sejak lahir, ditambah dia lahir di luar pernikahan, rasanya ayah dan ibu pun belum sanggup untuk menerima dia di sini.” Aku semakin geram mendengar penjelasan ayah dan ibu. Aku memaklumi sikap ayah ibu yang belum bisa menerima semua ini. Nama baik keluarga adalah sesuatu yang akan dipertahankan kuat-kuat oleh kedua orangtuaku. Tapi yang membuatku kecewa adalah ayah dan ibu terkesan melindungi Kris dan melepaskannya dari tanggungjawab. “Ayah ibu, anak ini punya ayah. Biarkan Kris bertanggungjawab mengurus anak ini. Ayah dan ibu tak perlu repot mengurusnya. Kris harus bertanggungjawab atas perbuatannya.” Kulirik Kris yang sedari tadi menunduk. “Nak, Kris masih sendiri dan dia juga belum mampu untuk mengurus anak ini. Lagipula Kris masih tinggal bersama ayah dan ibu. Bagaimana nanti jika orang lain tahu dia adalah anak Kris di luar pernikahan?” Ujar ibu dengan suara parau. Kini aku mengerti ke arah mana pembicaran ayah dan ibu. “Ayah dan ibu ingin kami mengasuh Cal kan?” Tanyaku sambil melirik Ami. Ami menatapku datar. “Bukan itu Liam. Ayah dan ibu ingin Cal dirawat di panti asuhan yang Ami kelola.” Aku dan Ami saling berpandangan. Rasanya aku ingin bicara empat mata dengan Kris dan menumpahkan segala kekesalanku padanya. Tentu saja Ami tak menolak permintaan ayah dan ibu. Ada rasa haru yang tak bisa kujelaskan saat kulihat Ami menggendong baby Cal. Sebelum aku dan Ami pamit pulang dengan membawa baby Cal bersama kami, aku menemui Kris di kamarnya. Kami saling berhadapan dengan emosi yang tertahan. Tanganku serasa gatal ingin meninjunya, tapi aku coba mengendalikan diri. “Bagus banget kelakuan lo ya Kris. Kabur menjelang pernikahan dan diam-diam punya anak dari perempuan yang nggak lo nikahi. Lo ini cowok apa bukan Kris? Laki-laki sejati nggak akan lari dari tanggungjawab.” Intonasi suaraku meninggi. Aku tak peduli sekalipun ayah dan ibu mendengar kami. “Gue emang salah Liam. Hubungan gue dan Yolanda itu rumit. Kita nggak saling cinta dan belum kenal lama. Dia mancing gue buat nglakuin one night stand bareng dia Liam. Saat itu gue mabok. Gue nggak pakai pengaman dan akibatnya dia hamil. Gue belum siap buat ngasuh Cal yang cacat bawaan.” Aku semakin marah mendengar kata-katanya, “dia anak lo Kris. Dimana hati nurani lo? Dia nggak minta dilahirkan di luar pernikahan dan dia nggak minta dilahirkan dalam keadaan cacat. Gue kecewa ama keluarga ini yang nggak bisa nrima dia dan memilih panti asuhan sebagai tempat untuk mengasuhnya. Gue kecewa berkali lipat. Lo harus berubah Kris. Gue jengah lihat kelakuan lo yang makin ke sini justru makin menjadi.” Rasa-rasanya aku tak bisa berlama-lama di sini. Aku keluar dari kamarnya. Aku takut semakin lama kami bicara, aku semakin tak bisa mengendalikan diri untuk menghajarnya. ****** Aku dan Ami terpekur menatap baby Cal yang tertidur pulas boxnya. Wajah bayi ini begitu cantik, ada kemiripan dengan Kris. Umurnya 12 bulan, belum bisa berjalan. Keadaannya yang lahir tanpa kedua tangan terbitkan rasa haru dan sedih yang teramat dalam. Meski dia lahir di luar pernikahan dan dinasabkan pada ibunya, secara biologis dia adalah keponakanku. Kami akan membawanya ke panti asuhan besok. Namun semakin aku menatapnya, rasanya aku semakin tak tega jika dia diasuh orang lain, yang bukan keluarganya. Callista lahir dengan kondisi membawa syndrom phocomelia, di mana kondisi bayi lahir dengan bentuk tubuh yang tidak sempurna karena malformasi anggota badan. Malforasi ini menyebabkan ada lengan atau tungkai kaki yang hilang. Phocomelia yang diidap Callista karena adanya faktor genetik. Abnormalitas pada phoconelia atau ketiadaan anggota tubuh ini bisa bersifat sebagian (meromelia) atau keseluruhan (amelia). Callista sendiri menderita phocomelia meromelia karena dia masih memiliki kaki. Ami menatapku dengan kedua mata yang begitu sayu. “Liam....” “Ya Mi...” “Boleh nggak kalau baby Cal tinggal di sini semingguan, baru setelah itu kita serahkan ke panti asuhan. Insya Allah pengurus panti di panti asuhan yang gue dan teman-teman kelola bisa bertanggungjawab dengan baik. Dulu kita bangun panti asuhan ini waktu kuliah dan kita mengajukan proposal ke banyak perusahaan. Ujung-ujungnya perusahaan ayah gue dan ayah Luna serta ayah dari Anisa, yang bersedia menyumbang dana. Perusahaan lain lepas tangan. Namanya juga membangun proyek non laba dan untuk kegiatan sosial, nggak semua perusahaan mauuu jadi donaturnya.” Aku tersenyum dan kami kembali bertatapan. Aku ingin mengatakan sesuatu tapi aku takut Ami keberatan. “Lo cuma pingin dia tinggal di sini seminggu?” Tanyaku. Ami tercenung, “kalau bisa dia tinggal lebih lama dengan kita Liam. Rasanya gue jatuh cinta ama dia di saat pertama kali gendong dia.” Aku tersenyum sekali lagi dan kuusap pipi Ami lembut. aku tahu Ami memiliki hati yang begitu baik. Di balik ketomboyannya dia seseorang yang sangat lembut. “Kita akan mengasuh dia Mi. Kita akan jadi orangtua buat dia.” Ucapku masih sambil mengelus pipinya. Ami bengong sekian detik seolah memastikan apa aku benar-benar mengatakannya. Sudut matanya berkaca dan seketika dia menghambur ke pelukanku. “Makasih Liam. Gue sayang baby ini. Gue terbiasa berinteraksi dengan anak-anak panti dan gue tahu gimana rasanya nggak punya orangtua. Baby Cal begitu istimewa Liam. Meski dia nggak memiliki tangan, setidaknya dia memiliki kita yang akan membesarkan dia dengan penuh cinta. Meski orang-orang nggak bisa nrima kondisi dia, seenggaknya kita bisa tulus menerimanya.” Kulepas pelukanku dan kutangkup kedua pipi Ami. Aku lihat air matanya mengalir, berlinang membasahi pipinya. “Makasih banyak Mi udah mau nrima bayi ini, keponakan gue, anak dari kakak gue, cucu dari ayah dan ibu.” Kukecup kedua mata Ami yang masih mengeluarkan air mata. “Gue beruntung menikahi lo. Gue bersyukur Kris kabur menjelang pernikahan, karena itu udah ngebawa kita melangkah sampai detik ini. Gue sayang lo.” Ami mengerjap dan menatapku begitu lekat. Ini pertama kali aku mengatakan bahwa aku menyayanginya. Ami tersenyum sementara air matanya masih terus menetes. “Gue juga sayang lo Liam.” Kurengkuh dia kembali dalam pelukanku. Mulai malam ini, kami resmi menjadi orangtua untuk Callista dan bidadari kecil ini akan semakin mewarnai dan melengkapi hari-hari kami.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD