Liam’s POV
Ayah dan ibu begitu terkejut saat tahu bahwa aku dan Ami memutuskan untuk mengasuh baby Cal dan menjadi orangtua angkat untuknya. Ayah sempat berkata ketika ada orang yang menanyakan asal-usul baby Cal, kami tak boleh memberitahu kebenarannya. Jawab saja bahwa baby Cal itu anak yang diadopsi dari panti asuhan. Namun dengan tegas aku katakan, “saat ada yang bertanya tentang siapa baby Cal, bagaimana asal-usulnya, aku akan katakan baby Cal adalah anakku dan Ami.”
Sebenarnya aku merasa sedih. Bagaimana bisa bayi polos dan tak berdosa seolah harus ikut menanggung dosa kedua orangtuanya yang berzina. Ayah ibu belum bisa menerima anak ini. Kris sebagai ayahnya pun belum mau mengakui anak ini secara terang-terangan di depan publik. Hanya sahabat terdekat yang tahu siapa anak ini, Chandra dan Johan. Kris tidak menutupi apapun di depan Chandra dan Johan. Karena nyatanya mereka tahu siapa baby Cal bahkan sebelum aku bercerita tentang baby Cal pada mereka. Mertua juga tahu karena aku tak mau menyembunyikan apapun dari mereka.
Kemarin aku dan Ami mengunjungi Stella di Rumah Sakit Jiwa. Kondisinya begitu menyedihkan. Dia tak bisa mengingat siapapun kecuali anaknya. Sesekali dia memanggil Callista, namun dia lebih banyak murung dan melamun. Tatapannya kosong dan tubuhnya semakin kurus. Dulu aku pernah melihatnya sekali saat aku susul Kris yang tengah bersenang-senang di night club dan tidak pulang sampai dini hari. Ibu begitu mengkhawatirkannya dan memintaku menjemputnya. Ami sempat menitikkan air mata saat mendengar Stella beberapa kali menyebut nama Callista. Dia bilang, “lihatlah Liam, tidak ada sesuatu apapun yang membatasi dan menghalangi cinta seorang ibu. Kendati dia menderita gangguan mental sekalipun.”
Aku dan Ami semakin menyayangi anak ini dan kami belajar untuk mengasuhnya dari nol. Mungkin di awal kami sedikit kaku dan kewalahan menenangkannya saat dia menangis, tapi kami belajar untuk beradaptasi dengan atmosfer kehidupan yang baru. Pekerjaan Ami yang fleksibel menjadi keuntungan tersendiri. Ami bisa lebih bebas mengatur waktu agar lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bersama baby Cal. Jika dia ke toko, baby Cal pasti diajak. Yang aku salut, Ami belajar memasak sendiri menu untuk baby Cal. Dia juga belajar menerapkan toilet training untuk baby Cal dan rajin melatih baby Cal berjalan. Baby Cal sudah lancar melangkah dengan dituntun, hanya dia belum berani melepas tangannya untuk berjalan sendiri. Tawa dan keceriaan baby Cal menjadi hiburan terendiri untuk kami. Dan satu hal yang sangat kusyukuri adalah penerimaan ayah dan ibu mertua pada baby Cal yang melebihi ekspektasiku. Bahkan mereka lebih menyayangi dan menganggap anak ini sebagai cucu mereka dibanding orangtuaku sendiri.
Kupandangi baby Cal yang tertidur pulas di kamarnya. Aku dan Ami mendekorasi kamar di sebelah kamar kami menjadi kamarnya. Kami mengecat sendiri dinding kamar ini dengan warna yang cerah dan menghias dindingnya dengan lukisan bunga di ujung bawah serta langit galaksi di atasnya dan hanya satu sisi tembok yang dilukis galaksi. Kami suka tema galaksi dan ini seperti simbol bahawa baby Cal akan selalu bercahaya di hati kami seperti gugusan bintang-bintang yang bercahaya.
Sering kukatakan padanya, bahwa dia anak yang mengagumkan. Tak apa jika dia tak memiliki tangan, asal dia masih memiliki hati yang akan senantiasa mengingat Allah dan baik pada sesama, dia juga masih punya cinta yang akan ia sebar untuk menginspirasi orang-orang di sekitarnya, terutama anak-anak berkebutuhan khusus bahwa hidup bukan tentang memikirkan apa yang tidak kita miliki, mengeluhkan atas keadaan yang tak kita kehendaki, tapi lebih tentang pada rasa syukur dan menganggap semua yang datang dalam kehidupan kita adalah hal terbaik yang pernah ada. Dia juga masih memiliki kami, orangtuanya yang akan tersenyum bangga pada dunia bahwa memilikinya dalam hidup membuat kami terpacu untuk belajar menjadi orang yang lebih baik. Kami belajar untuk lebih bersabar menghadapi tangisnya, bersabar saat harus begadang mengurusnya yang demam dan memberikan waktu serta perhatian kami yang lebih banyak untuknya. Hidup kami serasa lebih berarti.
Setelah puas memandanginya aku kembali ke ruang kerjaku karena masih banyak skripsi yang harus aku koreksi. Kulihat Ami tengah membuka-buka halaman skripsi di atas meja.
“Ami.. lo mau bantuin gue ngoreksi skripsi?”
Ami menatapku datar. Dia memegang sesuatu, secarik kertas.
“Gue nemuin ini di dalam skripsi salah satu mahasiswi bimbingan lo.” Ami menyerahkan selembar kertas itu padaku.
Aku raih kertas itu dan aku baca tulisan yang tertera di atasnya.
Mr. Liam, i’m really sorry for writing these words. But I can’t stand anymore... I think I’m falling in love with you. I know it’s wrong and falling in love can be an irrational thing for everyone. I just can’t lie to myself that I love you... From my deepest heart, I admire you and I love you...
Aku terkejut bukan main membaca tulisan ini. Siapakah mahasiswi yang berani menyelipkan surat ini di skripsinya?
“Kia.” Ami membaca sebaris nama di atas cover. Astaghfirullah aku tak menyangka Kia bisa senekat ini. Sekarang Ami pasti cemburu.
“Lo banyak fansnya ya.” Ami bersedekap dan tersenyum tipis.
“Gue juga nggak nyangka Kia bakal senekat ini Mi. Gue nggak ada perasaan apa-apa ama dia, sumpah.”
Ami menyandarkan badannya di meja kerjaku.
“Kia yang waktu itu nanya tentang jatuh cinta pada pria beristri kan?”
Aku mengangguk. Ami masih mengingatnya.
“Cantik sih orangnya, menarik, seksi.” Ujarnya lagi.
“Lo lebih menarik Mi. Lebih bikin gue cenut-cenut gimana gitu.” Aku menatapnya lebih lekat.
Raut wajah Ami masih terlihat datar.
“Lo jealous? Dari awal gue ngajar, emang kadang ada aja yang ngegoda. Tapi lo mesti percaya ama gue. Gue nggak pernah terlibat affair ama siapapun.”
Ami masih terpekur.
“Lo nggak tertarik ama dia? Dia kan cantik Liam. lo suka yang cantik-cantik kan? Setipe lah ama Lalisa.” Ami memalingkan wajahnya.
“Gue cuma terarik ama lo. Lo udah halal buat gue, ngapain gue tertarik ama yang lain.”
Kudekati dirinya. Kutatap wajahnya lebih dekat.
“Ami, baby Cal udah bobo lho.”
“Emang kenapa kalau udah bobo?” Ami melirikku.
“Waktunya kita buat...ehem-ehem...” Aku mengedipkan mataku dan kulihat wajah Ami merona.
“Ehem-ehem apaan sih?” Ketusnya.
“Halah pura-pura aja. Yuk...”
“Yuk apa?”
Tanpa bicara lagi aku gendong Ami dan kubawa ke kamar. Ami sempat berteriak minta diturunkan. Tapi aku tetap menggendongnya. Setiba di kamar, aku hempaskan tubuhnya di ranjang. Kutindih tubuhnya. Ami sempat memberontak.
“Gue nggak mau ah. Gue masih kesel ama mahasiswi lo yang ganjen itu.” Ami mencoba bangun, namun dua tangannya segera aku kunci. Aku tahan dengan tanganku.
“Jangan sampai lo dilaknat Malaikat sampai subuh gara-gara nolak gue Mi.”
“Gue kan punya alasan. Gue nggak suka ama Kia yang ganjen itu. Gue takut lo berpaling ke dia. Dia lebih cantik dan menarik dari gue. Wajar kalau gue jealous dan takut lo kepincut ama dia.”
“Gue kan udah bilang berkali-kali kalau gue nggak tertarik ama dia. Lo nggak usah khawatir, gue bakal jaga hati buat lo. Jaga raga juga buat lo. Gue sadar benar status gue udah jadi suami orang Mi. Gue nggak akan macem-macem dan gue bakal berusaha buat menundukkan pandangan, nggak jelalatan, gua bakal berusaha setia ama lo.” Aku tatap Ami dengan tatapan yang begitu serius. Aku memang benar-benar serius. Soal perasaan aku nggak pernah main-main. Apalagi soal pernikahan, tak ada celah untuk bermain-main.
Kuusap bibir Ami dengan jari-jariku, begitu lembut. Mata kami saling beradu.
“Jangan raguin gue Mi. Kita mesti saling percaya.”
Ami menangkup kedua pipiku dan menatapku dengan tatapan yang begitu dalam, seakan mentransfer semua perasaan cinta yang dia miliki.
“Kalau lagi romantisan gini, jangan pakai gue-lo donk, ganti aku-kamu, lebih romantis and sweet didenger.” Ami melengkungkan segaris senyum tipis.
“Ya sayang. Malam ini bakal jadi malam yang romantis buat kita. Aku bakal bikin kamu lupa daratan dan lautan.”
“Dasar cowok mesum.” Ami mencibir.
“Tapi kamu suka kan? Aku mesumnya cuma ama kamu doank, suerr..”
Ami terdiam. Kucium bibirnya seketika, membuatnya terkesiap. Ami melepaskan ciumannya.
“Langsung nyosor aja. Biasanya kalau mau nyium, mandangin aku dulu. Ini langsung nyosor.”
“Biar nggak kelamaan. Kita udah punya anak sekarang. Kalau baby Cal bangun gimana?” Kunaikkan alisku. Ami tak menjawab.
Kulanjutkan kecupanku menjelajah di lehernya, menurun ke dadanya dan setiap inchi tubuhnya. Bagian yang paling kusuka adalah saat Ami mengeluarkan desahan-desahan yang begitu seksi dan menggairahkan. Atmosfer sudah terasa panas dan aku meneruskan foreplay yang benar-benar membuat Ami menggelinjang tak karuan. Sepertinya kami sudah siap tempur sekarang.
“Eaa....eaaaa.....huk huk huk...eeeaaaaa.....”
Suara tangis melengking dari kamar baby Cal. Kami yang sudah terbakar gairah seketika menghentikan ciuman kami. Kami saling menatap dengan mata mendelik.
“Baby Cal nangis.” Ami langsung mendorong tubuhku. Dia memungut pakaian yang telah berceceran di lantai. Begitu juga denganku. Setelah berpakaian ala kadarnya, kami mendatangi kamar baby Cal. Tangis itu masih terdengar nyaring. Ami menggendongnya dan berusaha menenangkan. Aku ambil ASIP (Asi Perah) yang sudah diturunkan dari freezer ke kulkas bawah. Baby Cal mendapat donor ASI dari dua ibu yang masih kerabat Ami.
Setelah meminum ASIP dengan cup feeder, baby Cal kembali tenang. Kami menamani baby Cal sampai benar-benar terpejam lagi. Dia terlelap di tengah-tengah kami. Kuusap kepalanya lembut. Matanya terpejam. Setiap kali melihatnya ada rasa sayang yang begitu dalam menghangat di dasar hatiku. Seandainya Kris mau sebentar saja meluangkan waktu untuk tidur dengannya barang semalam saja, mungkin hatinya akan melunak. Dia sering menanyakan kabar baby Cal via WA atau video call agar bisa melihat baby Cal lewat layar, namun untuk bertemu langsung dia baru bisa menemuinya setiap weekend. Pekerjaannya memang sedang padat-padatnya, apalagi perusahaan baru memenangkan tender dengan nilai yang fantastis. Aku bersyukur dia sudah sedikit berubah, minimal sudah tak lagi clubbing atau ganti-ganti pacar. Saat ini dia nyaman dengan status jomblonya dan dia bilang belum ingin menjalin hubungan dengan siapapun. Aku selalu mengingatkannya untuk menyempatkan waktu menjenguk Stella. Bagaimanapun juga sikap Kris yang tak mau menikahi Stella menjadi pemicu kenapa Stella sampai depresi dan akhirnya mengidap schizophrenia.
Aku dan Ami saling melempar senyum dan mata kami kembali bertemu. Hal-hal seperti ini seakan sudah menjadi teman akrab. Di saat aku bermesraan dengan Ami, maka di tengah-tengah kami harus siap dengan tangisan baby Cal yang bisa saja melengking sewaktu-waktu. Diantara padatnya aktivitas, kami selalu mencoba mencari quality time agar bisa menghabiskan waktu intim berdua yang benar-benar berkualitas.
“Pindah ke kamar sebelah yuk.” Ucapku masih sambil menatapnya.
“Emang mau apa?” Tanya Ami dengan nada polosnya.
Aku suka gemes sendiri jika dia sudah berlagak polos begini.
“Emang kamu nggak mau lanjut?” Ledekku.
Ami tak menjawab. Dia hanya tersenyum. Kukecup kening baby Cal, “bobonya yang nyenyak ya baby, ayah dan bunda mau...”
Ami menempelkan jari telunjuknya di bibirku, “zzsttt nggak usah frontal Liam. Yuk ah cepet..” Ami beranjak dan keluar dari kamar baby Cal.
“Wuih ada yang nggak sabar.” Aku segera menyusul Ami dengan semangat 45.
*****
Author’s POV
Kia masuk ruang kerja Liam setelah sebelumnya mengetuk pintu. Dia menanyakan skripsinya apakah sudah selesai dikoreksi atau belum. Liam memberikan skripsi milik Kia yang sudah penuh dengan coretan. Dia membuka-buka halaman demi halaman skripsinya.
“Banyak banget yang dicoret pak.” Gerutunya.
“Emang masih banyak yang salah, makanya saya coret.” Jawab Liam tanpa menolehnya. Liam tak mau membahas surat cinta yang gadis cantik itu selipkan di skripsinya. Liam tak mau memperpanjang masalah ini. Liam berpikir lebih baik ia berpura-pura tak pernah membaca tulisan itu.
“Ada hal lain yang salah pak?” Tanya Kia. Dia begitu penasaran apakah Liam sudah membaca suratnya atau belum.
“Nggak ada, silakan keluar.” Jawab Liam datar sembari sibuk menata tumpukan skripsi di mejanya tanpa mau menoleh Kia.
Kia keluar dari ruangan Liam dengan perasaan sedikit kesal. Ia merasa Liam tidak seramah biasanya. Kini ia sadar, surat cintanya itu yang mungkin membuat Liam berikap ketus padanya. Kia belum ingin menyerah, ia semakin tertantang untuk menaklukkan hati dosen idola itu. Rasanya Kia sudah benar-benar jatuh cinta pada Liam dan ia tak peduli kendati status Liam telah beristri.
******