You Will be Mine Tonight

3038 Words
Liam’s POV Ini adalah pagi pertama yang kami lalui di rumah baru kami. Masa cutiku sudah habis. Besok aku akan kembali ke kampus. Rasanya cukup puas cuti seminggu untuk honeymoon “palsu” meski aku belum berhasil “membelah duren”. Oh my God, sepertinya aku sudah terjangkiti virus piktor a.k.a pikiran kotor dari Chandra. Dia selalu saja mengingatkanku untuk memanfaatkan “SIM”. Sampai kapanpun pandanganku dan Ami tentang s**s itu tidak akan pernah sama. Aku laki-laki yang masih bepegang pada prinsip, “berikan keperjakaanmu hanya pada istri”. Dalam hal ini sama sih seperti apa yang ada dalam pikiran Ami, “berikan keperawanan kamu hanya pada suami”. Yang menjadi perbedaan mendasar adalah aku ingin melakukannya dengan istriku tak peduli ada cinta atau tidak di hatiku, tak peduli apakah istriku mencintaiku atau tidak, yang terpenting hasrat biologisku tersalurkan di jalan yang halal. Sedang Ami dia berprinsip akan melakukanya dengan suami dan dengan cinta. Ini yang sulit aku penuhi. Baik aku maupun Ami, tidak ada perasaan cinta. Kalaupun kami tetap bertahan dan tak berpikir untuk berpisah adalah karena kami menghormati keluarga masing-masing. Aku tak mau mengecewakan kedua orangtuaku, begitupun dengannya. Aku tak mau menghancurkan persahabatan yang sudah terjalin begitu baik antar dua keluarga. Tapi jujur dari hatiku yang terdalam, terkadang aku menginginkan ada malam intim dan romantis yang akan aku lalui bersamanya. Kemesraan singkat yang pernah terbangun antar kami sebelum dia mendorongku keluar kamar selalu saja terngiang di kepala. Membayangkannya saja sudah membuat dadaku naik turun dan suhu badanku seakan berganti-ganti dari panas ke dingin, dingin ke panas. Dan semakin aku memperhatikannya, dia semakin menarik. Aku menyesal pernah mengatakan dia kurang menarik dan nggak ada cantik-cantiknya. Di mataku, dia semakin menarik and I realize one thing that every woman is beautiful in her own way. Menjadi cantik itu tak berarti harus memenuhi standar yang ditetapkan banyak orang. Aku suka Ami menjadi dirinya sendiri. Meski aku sudah menyadari banyak kekeliruan selama berinteraksi dengannya, tapi tetap saja bertengkar atau beradu argumen dengannya adalah hal yang tak bisa aku hindari. Kami sama-sama punya gengsi yang tinggi. Di depannya aku selalu membullynya, mengejeknya, meski dalam hati terkadang aku mengaguminya. Aku suka cara Ami tertawa, apalagi jika teringat bagaimana dia begitu seksi dalam balutan lingerie, ranum bibirnya yang begitu pas saat aku pagut, rasanya yang manis dan segar seperti mint menjadi daya magnet tersendiri yang seolah membuatku tak ingin berhenti ketika aku mencumbunya, suara desahannya yang begitu seksi dan menggairahkan...shit..apa-apaan otakku ini. Aku selalu saja memikirkan yang iya-iya setiap menggambarkan sosoknya. Sumpah, masih tetap waras dalam kondisi seperti ini adalah hal terbaik yang harus kusyukuri setiap kali fantasi liarku berkelana menjelajahi tubuh Ami. Hanya bisa dijadikan objek fantasi tanpa bisa dijadikan objek “ehem-ehem”. Kulirik Ami yang sedang memasak di dapur. Antara dapur, ruang makan dan ruang tengah memang didesign tidak dibatasi sekat, jadi aku bisa melihatnya saat memasak. Ami juga bisa menonton televisi di ruang tengah ketika memasak. Satu hal lagi yang tak ketinggalan adalah aku suka mengamatinya memasak. Begitu serius dan seksi. Masakan Ami juga cukup enak. Aku pikir dia tak bisa memasak. Memang jangan cuma menilai seseorang dari penampilannya. Setomboy-tomboynya Ami, dia masih memiliki sisi feminin. Smartphoneku berbunyi. Ada pesan WA dari Rangga salah satu mahasiswa bimbinganku. Pak kapan balik ke kampus? Aku balas WA-nya Insya Allah besok. Rangga membalas. Alhamdulillah, saya pingin cepet-cepet di-ACC pak. Btw selamat ya pak atas pernikahannya. Gimana sekarang pak? Udah dikasih jatah? Mataku terbelalak membaca kata-kata di akhir kalimat. Udah dikasih jatah? Entah sudah berapa banyak teman maupun orang-orang yang aku kenal menanyakan hal ini padaku. Memang sih hanya bercanda, tapi terus-terusan ditanya seperti ini membuatku jengah. Pasalnya aku kadang harus berpura-pura menjawab “udah”, padahal realitanya cukup mengenaskan dan gigit jari. Sejak rekaman itu viral di i********:, tagline “udah dikasih jatah?” seakan menempel erat pada diriku. Tak lama setelah membalas chat dari Rangga, datang WA dari Chandra. Liam ntar malam futsal yuk. Temen-temen gue yang lain juga pada ikut. Kali aja lo mau ikut. Saat masih single aku memang sering main futsal bareng Chandra, Johan dan Kris. Namun setelah menikah rasanya aku tidak asal bebas mengambil keputusan. Paling tidak aku harus minta izin pada Ami. Satu pesan WA dari Chandra datang lagi. Oya gue lupa, lo udah punya bini, udah nggak bebas ya. Chandra dan Johan ini teman SMA Kris. Aku kenal mereka karena mereka sering main ke rumah, bahkan juga menginap. Aku dan Kris pun kadang menginap di tempat mereka. Bisa dibilang mereka dua sahabat yang tulus dalam berteman. Meski kadang somplak dan malu-maluin tapi mereka nggak pernah menikam dari belakang. One of the most painful thing in a friendship is when our best friends stab us in the back. Johan bekerja sebagai dancer, model sekaligus wedding singer, ya seperti Ami yang merangkap menjadi wedding singer selain juga mengurus bisnis craftnya. Sedang Chandra punya bisnis distro yang sudah memiliki tiga cabang. Keduanya berstatus jomblo, satu jomblo ngenes, satu jomblo karatan. Alasan Johan masih menjomblo adalah dia masih trauma menjalin hubungan karena penah diselingkuhi mantan pacarnya. Sedang Chandra, dia selalu memandang pernikahan sebagai bentuk komitmen yang akan memasung kebebasan. Dia tidak suka terikat. Aku ingat akan perkataan Chandra bahwa cinta dan kebahagiaan itu tidak harus selalu diwujudkan dalam ukiran nama di kertas undangan, duduk di pelaminan, cincin di jari dan mahligai dalam pernikahan. Bagi dia memiliki keluarga, sahabat dan masih adanya hati yang peduli dengan sekitar, itu sudah lebih dari cukup. Dan nyatanya pernikahan tidak selalu membuat kita lebih hidup karena memiliki seseorang dan ke depan memiliki beberapa orang, pasangan dan anak-anak..Bagiku pernikahan ini hanyalah sesuatu yang tak bisa kupilih, juga tak bisa kuhindari. Ami menata hidangan di meja makan. Sepertinya dia sudah selesai memasak. “Liam makan dulu. Masakannya udah matang.” Aku melangkah mendekat ke meja makan. Kuamati masakan yang tersaji di meja. Ada sop jamur, ikan bandeng, tahu goreng serta cah kangkung. Dari aromanya sih menggugah selera. “Ternyata lo jago masak juga ya. Kirain cuma jago PHP.” Celetukku. Ami membulatkan matanya, “PHP?” “Ya PHP, Penggoda Hasrat Pasangan.” Ami menyeringai, “sejak kapan singkatan PHP berubah jadi Penggoda Hasrat Pasangan?” “Sejak lo sering banget pakai hotpant dan berkeliaran di rumah ini.” Mataku menelusuri tubuhnya, mulai dari ujung rambut, menurun ke bawah dan terhenti pada paha mulusnya yang terekspos. Ami melirik celananya, “ini cuma hotpant. Namanya juga di rumah, aku seneng pakai baju dan celana santai. Masa kayak gini aja bisa menggoda lo?” Aku duduk di kursi dan kutatap dia tajam, “lo pakai kaos kedodoran aja menggoda Mi, gimana pakai hotpant.” Ami tertawa, “lo dulu selalu bilang body gue nggak jelas bentuknya dan meski gue nggak pakai baju sekalipun, lo nggak bakal tertarik. Sekarang lo akui kan kalau gue seksi dan menarik? Baru aja pakai hotpant, dari tadi mata lo nggak kedip ngelihatin gue.” Aku terkekeh, “jangan GR dulu Mi. Kali ini pertahanan gue lebih kuat. Gue nggak akan lagi kegoda ama lo.” Jawabku santai sambil mengambil nasi dan lauknya. Ami duduk di hadapanku dan menatapku penuh selidik. “Yakin? Kalau gue pakai lingerie gimana?” Ami menaikkan alisnya. Aku menganga sekian detik, “lo mau mancing-mancing gue? Silakan..! Tapi jangan salahin gue kalau mendadak gue jadi buas dan gue bakal memborbardir lo habis-habisan.” Ami tersenyum, “lo emang ganas Liam. Andai saja gue ada rasa ama lo mungkin gue bakal suka diperlakukan ganas ama lo.” Aku menyeringai, “ada rasa atau nggak, gue bisa jauh lebih ganas ke lo Mi. Cowok bisa nglakuin tanpa cinta.” Ami terdiam. Kukunyah masakan Ami. Rasanya tidak sehancur dalam bayangan. Cukup enak kurasa. “Oya Mi, Chandra ngajak main futsal ntar malam. Lo keberatan nggak kalau gue ikut main futsal?” Ami menghentikan kunyahannya, “main futsal malem-malem?” Aku tersenyum, “biasa kali Mi main futsal malam. Siangnya kan pada kerja, jadi baru bisa ngumpul malem.” “Ya kesepakatan kita kan masing-masing dari kita bebas bergaul dengan siapa aja, melakukan hobi dan aktivitas, keluar rumah, jadi gue nggak ada hak glarang lo.” “Okey, ntar malam gue mau main futsal.” Ujarku meski sebenarnya aku berharap dia melarang sedikit. Dan aku masih tertantang untuk menaklukkannya. Ami masih sering jual mahal, jaim dan memberi harapan palsu. Entahlah aku ingin melihatnya bertekuk lutut di hadapanku, biar dia tahu bagaimana tersiksanya dikasih harapan lalu dihempas jauh-jauh, seperti yang ia lakukan padaku saat kami bermesraan dulu. Misi terbesarku...menidurinya. Rugi rasanya, kami udah nikah tapi aku nggak bisa ngapa-ngapain, nggak bisa grepe-grepe dan nggak dapet apa-apa dari dia. Maaf kalau hormon laki-lakiku lebih banyak bicara. Sumpah aku gregetan banget, tapi aku tahu aku mesti menunggu waktu yang tepat. Wanita mungkin memang senang diperjuangkan. Yang kubutuhkan hanya waktu. Aku yakin saat dia sudah jatuh cinta padaku, dia akan pasrah saat aku coba menjamahnya, dan mungkin malah minta nambah. Plaakkk.... Ami meneguk segelas air putih. Kuperhatikan tenggorokannya seakan naik turun ketika air itu melaju di kerongkongannya. Kok sexy banget ya...Ya ampun kendalikan dirimu. Selama aku belum berhasil menidurinya, kayaknya otakku bakal terus dipenuhi fantasi nakal tentangnya. “Oya Liam, gue juga kayaknya mau pergi sih malam ini. Lo ngizinin nggak?” “Pergi kemana? Ama siapa?” kukernyitkan alisku. “Ke coffee shop. Kris minta ketemuan.” Aku kaget mendengar nama Kris. “Bagus ya, dia belum pulang ke rumah, belum ketemu ayah ibu dan adiknya, udah minta ketemuan ama lo lebih dulu.” Aku jadi emosi mendengar namanya. Dia telah mengacaukan semuanya, menghancurkan impianku bersama Lalisa. “Ya gue juga nggak tahu apa yang bakal dia omongin. Seenggaknya dengerin dulu penjelasan dia.” “Lo belain dia ya.” Aku tak suka Ami cenderung membelanya. “Gue nggak belain dia Liam. Gue cuma ingin kasih dia kesempatan untuk menjelaskan semua.” “Terserah lo lah.” Aku beranjak dan melangkah menuju kamarku. Entah apa reaksi Ami. Tapi jujur aku begitu kesal pada Kris. Aku ingin dia meminta maaf pada ayah ibu, bukan malah main kucing-kucingan begini. ****** Ami’s POV Kulihat laki-laki itu duduk menungguku di salah satu sudut. Sudut yang sama yang sering kami kunjungi saat kami masih bersahabat dulu. Dia kerap mengajakku ke coffee shop ini dan memilih sudut itu untuk berbincang banyak hal. Aku melangkah mendekat padanya dengan gempuran rasa yang masih begitu kuat. Hingga detik ini perasaanku belum juga berubah, masihlah sama seperti dulu. Meski dia sempat menorehkan luka yang teramat besar di hati, tapi aku tak bisa membencinya. Aku selalu memaafkannya. Kris mengangkat wajahnya dan menatapku dengan tatapan mata yang begitu sayu. Persahabatan kami terjalin sejak kecil dan rasa cinta ini tumbuh mengalir tanpa bisa kucegah. Sekian tahun aku memendamnya karena aku tak ingin kehilangannya jika dia tahu apa yang kurasakan. Hingga saat perjodohan itu dicetuskan, aku ungkapkan semua perasaanku. Dia bilang dia akan mencoba memulai hidup baru bersamaku. Dia lelah dengan petualangan cinta yang tiada ujungnya. Dan dia berharap akulah yang akan menjadi pelabuhan terakhirnya. Namun dia menghancurkan semua impian dan asa yang sempat kubangun susah payah. Dia pergi dua hari sebelum pernikahan. Saat itu serasa ingin mati saja. Yang ada hanya kegelapan dan aku hanya bisa pasrah ketika adiknya menggantikan posisinya di pelaminan. Ya aku tak banyak melawan karena kurasa aku sudah mati saat itu juga. Di dalam nadi yang berdetak, tak selalu ada kehidupan di dalamnya, bahkan sebagian orang merasa sudah mati meski jantung mereka terus berdegup. Dan seperti itulah kondisiku saat itu. Kami duduk saling berhadapan dengan kebekuan yang sudah menggunung. Entah dengan cara apa bongkahan es yang sudah sedemikian beku ini mencair. “Ami..gue minta maaf udah ninggalin lo dan menjebak lo dalam kesulitan. Gue menyesal. Waktu itu gue emang belum siap menikah dan gue selalu memandang pernikahan adalah sesuatu yang omong kosong dan gue belum siap untuk terikat. Gue takut nggak bisa jadi suami yang baik buat lo. Gue takut gue bakal nyakitin lo. Karena itu gue pergi. Setelah pisah dari lo gue baru sadar, cuma lo yang gue butuhin. Cuma lo yang bisa memahami gue. Gue selalu bingung dengan perasaan gue ke lo. Tapi sekarang gue sadar sesadar-sadarnya, gue sayang lo. Rasanya gue nggak ikhlas lo nikah ama Liam.” Aku tercekat. Kata-kata seperti ini sudah lama aku nantikan. Aku ingin mendengar langsung Kris mengungkapkan perasaannya. Tapi sekarang keadaan sudah berbeda. Terlepas dari keterpaksaanku menikah dengan Liam, tetap saja aku bukan lagi Ami yang bebas dan tak terikat, aku sudah menikah. “Please kasih gue kesempatan untuk memulai semua dari awal.” Ucapnya lagi dan kulihat ada harapan yang begitu besar tersirat di kedua matanya yang sendu. Kuhela napas dan kustabilkan emosiku, “gimana caranya memulai dari awal Kris? Gue udah menikah.” Kris memejamkan matanya lalu membukanya perlahan. “Gue tahu. Tapi lo dan Liam menikah terpaksa kan? Kalian menikah tanpa cinta. Bukankah kalian sama-sama menderita? Kalian bisa mengakhiri pernikahan ini untuk mengejar kebahagiaan kalian masing-masing. Gue akan menebus semua kesalahan gue Mi.” Aku lagi-lagi tercekat, tak tahu harus membalas apa. “Ami kenapa lo diem?” Aku tatap dia dengan tajam, “Kris nggak semudah itu. Pernikahan itu bukan untuk main-main. Gue tahu, gue dan Liam menikah tanpa cinta. Tapi pernikahan kami melibatkan dua keluarga. Pernikahan ini sebulan juga belum ada Kris dan lo minta kami pisah. Yang benar saja. Kami nggak bisa egois tanpa memikirkan perasaan orangtua. Kami nggak kayak lo yang lebih milih kabur, lari dari masalah.” Kris mengusap wajahnya, “iya gue akui, gue salah. Gue nyesel banget Mi. Setiap orang berhak atas kesempatan kedua kan? Gue bakal bicara ama Liam. Dan gue juga bakal minta maaf ama orangtua gue dan orangtua lo.” Aku tak membalas lagi. Andai saja Kris datang di saat aku masih sendiri, mungkin aku akan memulai semua dari awal bersamanya, tapi semua sudah terlambat... ***** Author’s POV Liam berjalan mondar-mandir sambil melirik jarum jam. Sudah jam sebelas malam dan Ami belum pulang juga. WA hanya centang satu, telpon nggak nyambung, dan kini Liam mulai khawatir. Dia mencoba menelpon nomer Kris juga tak aktif. WA pun sama hanya centang satu. Spekulasi negatif mulai meracuni pikirannya. Liam menebak-nebak apa yang dilakukan dua sejoli yang saling mencintai itu hingga nomor handphone keduanya tak bisa dihubungi. Liam begitu marah. Ia tahu pernikahan ini mungkin hanya sebuah status, tapi dia merasa tak dihargai sebagai suami. Bagaimana bisa seorang istri bebas keluar malam bertemu dengan seseorang yang ia cintai dan belum juga pulang kendati malam telah larut. Sesaat kemudian Liam mendengar suara mobil berhenti di depan pintu gerbang. Liam berdiri di balik tirai dan melihat Ami keluar dari mobil tersebut. Ia sempat melambaikan tangan kepada seseorang yang ada di dalam mobil lalu melangkah masuk ke pelataran. Liam yakin Krislah yang mengantar Ami. Ami mengucap salam dan membuka pintu. Liam menjawab salam dengan raut wajah sedingin es. “Liam, lo nggak berangkat futsal?” Ami merasa ada yang berbeda dengan ekspresi wajah Liam. Begitu datar dan dingin. “Gue nggak jadi berangkat.” Liam masih saja dingin. Ami menjadi serba salah. Dia tahu, Liam tak suka ia pulang larut begini. “Tadi gue...” “Nggak usah ngeles. Gue tahu lo kangen banget ama Kris. Gue tahu kalian saling mencintai. Tapi ya nggak harus ngabisin malam bareng dan nggak kasih kabar apa-apa. Ampe handphone kalian juga dimatiin.” Intonasi suara Liam terdengar meninggi. “Ini nggak seperti yang lo bayangin Liam. Hp gue mati, hpnya Kris mungkin juga mati. Tadi waktu berangkat gue kelupaan ngecharge dan nggak bawa powerbank juga. Sebenarnya dari jam sembilan gue udah selesai ngomong ama Kris. Eh Luna dan Henry ngajak ketemuan di rumah Luna. Akhirnya gue dan Kris meluncur ke rumah Luna. Di sana kita nonton film bareng, ngobrol segala macam, nggak kerasa ternyata udah malem. Kris nganter gue pulang karena arah dia sejalur.” Liam menyeringai, “lo pikir gue percaya ama lo begitu aja? Lo bisa aja ngarang cerita.” “Kalau lo nggak percaya, lo bisa nanya ke Luna dan Henry.” Lagi-lagi Liam menyeringai dan menaikkan sebelah sudut bibirnya. “Jelas aja Luna dan Henry bakal belain lo. Mereka teman lo. Mereka pasti bersedia bohong demi lo.” Ami menghembuskan napas, “gue udah bilang jujur ya Liam. Terserah lo mau percaya apa nggak.” “Nggak bisa terserah terserah gitu... Gue paling nggak suka denger kata terserah. Wajar donk kalau gue curiga lo dan Kris habis ngapa-ngapain? Masa iya Hp lo berdua bisa sama-sama nggak bisa dihubungi? Terus gue nggak terima aja lo pulang dianter cowok. Yang namanya ipar itu non mahram Mi. Kenapa lo nggak minta gue buat jemput lo?” Ami melongo, “lo jealous? Lo nggak percaya kalau tadi gue bener-bener ke rumah Luna? Kris itu kakak lo Liam. Dia tahu diri posisinya gimana. Dia nggak ngapa-ngapain gue.” “Kris emang kakak gue. Tapi dia tetep non mahram. Nggak seharusnya lo berdua ama non mahram di dalam mobil. Gimana gue nggak curiga? Bisa aja kalian habis ngapa-ngapain kan? Nggak ada yang lihat.” Liam terus mencecar. Ami mulai kehilangan kesabaran, “lo jangan asal nuduh Liam. Gue masih suci. Gue nggak ngapa-ngapain ama Kris. Nggak ada cowok yang nyentuh dan nyium gue selain lo.” “Intinya gue nggak bisa percaya gitu aja. Gue perlu bukti kalau lo masih suci.” Liam terus nyerocos. Ami memijit pelipisnya, “gimana cara ngebuktiinnya?” Liam terpaku. Ditatapnya Ami begitu lekat. Pandangannya menyisir dari ujung rambut hingga ujung kaki. Liam berjalan mendekat ke arah Ami. Didorongnya tubuh Ami sedikit kasar sampai menghimpit tembok. Mereka saling menatap dengan jarak yang begitu dekat. Ami berdebar-debar menatap Liam sedekat ini. Napasnya terengah-engah. Sebaliknya Liam begitu mendambakan sebuah keintiman seperti yang pernah mereka lalui di hotel. Liam menelusuri wajah Ami dengan jari-jarinya. Dia berpikir, mungkin ini bisa menjadi kesempatan untuknya tuk melaksanakan misi terbesarnya...menidurinya??? Ami terlalu polos untuk bisa membaca apa yang ada di kepala Liam. Liam mencium bibir Ami tanpa Ami siap menerimanya. Liam mencium dengan ganas menyalurkan segala kerinduannya akan moment indahnya bersama Ami. Selanjutnya Liam mencium lembut leher jenjang Ami, membuat Ami meremang. Aneh, dia tak bisa menolak dan justru menikmati setiap sentuhan Liam. Tangan Liam sigap membuka kancing-kancing baju Ami sembari menciumi bibir istrinya yang sudah seperti candu untuknya. Liam melepaskan ciumannya dan berbisik lirih, “gue pingin lo buktiin malam ini juga.” ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD