Liam’s POV
Aku dan Ami duduk bersebelahan, sementara orangtua kami duduk di hadapan kami dengan ekspresi wajah yang tak terdeskripsikan. Sumpah, jauh lebih seram dari valak. Ini semua gara-gara kerjaan orang iseng yang merekam kejadian waktu aku ngamuk-ngamuk di depan pintu kamar hotel dan mengunggahnya di media sosial. Postingan ini langsung menjadi trending topic di twitter, viral di i********:, sampai masuk ke akun gosip paling wahid seinstagram, @rempongbangetcyyynnn. Bahkan dimana-mana banyak hastag #kasihLjatah sebagai bentuk keprihatinan dan dukungan para suami yang bernasib sama, jarang dikasih jatah ama bininya. Eh belum ada satu jam hastag ini booming, muncul hastag tandingan dari para istri #kasihGUEduit, bahkan ada yang posting mencak-mencak, ngasih duit aja kurang udah minta jatah.
Ayahku menunjukkan berbagai postingan di akun gosip i********: yang mengunggah video viralku. Judulnya pun bervariasi.
Malam honeymoon yang berakhir tragis! Dosen ganteng Liam anak pengusaha properti terkenal Rinto Hardian ngamuk-ngamuk di hotel gara-gara nggak dikasih jatah. #kasihLjatah
Ada pula yang judulnya,
Nasib apes pengantin baru, Liam anak Rinto Hardian terpaksa tidur di luar kamar gara-gara diusir istri. #kasihLjatah
Yang ini mah judulnya agak berlebihan. Orang bisa saja mengira aku tidur di lantai di luar pintu, padahal yang sebenarnya aku tidur di kamar lain.
Akun yang sering membahas tema religi mengangkat judul,
@spiritualnews Istri yang menolak ajakan suami tanpa alasan syari’i dan suami tidak ridho, maka ia dilaknat hingga pagi.
@rumahtangga_sakinah Dosa besar istri yang menolak ajakan suami.
Nah kalau artikel ini aku setuju banget. Bahkan aku sudah menunjukkannya pada Ami berulang kali, biar dia instropeksi dan tak semena-mena lagi.
“Kalian ini baru aja menikah, lagi honeymoon, kok ya malah menggemparkan dunia dengan berita kayak gini.” Ayah menggeleng dan mengelus d**a, seakan aku dan Ami baru saja melakukan tindak kriminal.
“Ayah ingin bicara dengan Ami. Ini terkait penolakan Ami pada Liam.” Kali ini ayah mertua yang bicara. Dia menatap putri tanggalnya begitu tajam. Ami bahkan tak berani membuat kontak mata dengannya.
“Ami, dengerin ayah. Istri yang menolak ajakan suami untuk berhubungan tanpa alasan yang dibenarkan syariat maka malaikat akan melaknatnya hingga pagi. Ada hadits yang mengangkat pentingnya masalah ini.”
“Apabila seorang suami mengajak istrinya untuk berkumpul hendaknya wanita itu mendatanginya sekalipun ia berada di dapur.” (HR. Tirmidzi dinilai shahih oleh Al-Albani dalam shahih At-Targhib)
“Apabila suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya lalu istri enggan sehingga suami marah pada malam harinya, malaikat melaknat sang istri sampai waktu subuh.” (HR. Bukhari)
Aku lega mendengar penjelasan ayah mertua.
“Tuh dengerin Mi. Lo habis dilaknat ama malaikat sampai subuh tadi.”
Ami cemberut dan membuang muka.
“Nggak boleh gitu Ami. Istri yang baik itu harus bersikap baik pada suaminya. Jangan pasang muka jutek dan buang muka.” Ibu mertua menasehati Ami dan aku tersenyum melihat bibir Ami yang mengerucut. Kalau diperhatikan lebih detail, sebenarnya Ami unyu juga dan jujur aku greget banget dengannya, terutama saat dia mengenakan lingerie.
“Liam juga harus merubah sikap, jangan terlalu emosional. Harus belajar untuk bersabar dan bisa membimbing Ami. Cobalah untuk mengerti perasaan Ami. Mungkin Ami belum siap untuk berhubungan. Perempuan lebih cemas menghadapi moment malam pertamanya.” Gantian ibuku menasehatiku.
“Tuh dengerin.” Ami melirikku tajam.
“Sama-sama impas.” Sahutku datar.
“Ayah udah memperpanjang sewa kamar kalian. Kalian akan menghabiskan honeymoon tiga hari lagi di hotel.” Ayahku menatap kami bergantian.
Jujur aku senang dengan keputusan ayah. Setidaknya aku punya waktu tiga hari untuk membalaskan dendamku pada Ami. Atau kalau bisa, sebelum balik ke rumah baru kami yang aku beli dari tabunganku, aku sudah berhasil belah duren, hahahha...#devilLaugh.
Kulirik Ami yang memasang tampang cemberut. Sepertinya dia tak suka dengan perpanjangan masa honeymoon kami. Ah palingan juga jual mahal, pura-pura nggak butuh. Padahal jauh di dalam hati dia juga menginginkan keintiman denganku. Aku bisa merasakannya dari cara dia mendesah saat kukecup lehernya di malam indah sekaligus naas itu.
******
Kami duduk bersebelahan agak jauhan dengan layar televisi yang menyala. Bisa dibilang televisilah yang menonton kami bukan kami yang menontonnya. Suasana terasa canggung. Hari ini aku berencana mengajaknya ke butik temanku untuk membeli beberapa lingerie. Entahlah aku jadi ketagihan melihatnya mengenakan lingerie, benar-benar seksi dan mampu membangkitkan sisi liarku sebagai laki-laki sejati. Tapi aku bingung bagaimana harus memulai perbincangan untuk mengajaknya. Tentu aku tak lupa dengan misiku untuk membalas dendam. Membuatnya merem melek dengan sentuhanku, kalau bisa sampai kelojotan dan menjerit-jerit, setelah itu aku tinggalin. Rasakan..!! Tunggu..tunggu...kalau aku tinggalin, nanti aku nggak jadi belah duren. Rugi donk.. Masalahnya apa nanti aku benar-benar bisa meninggalkannya saat kami sedang panas-panasnya. Bukannya ini yang aku inginkan?
Ami melirikku. Kami saling berpandangan. Rasa-rasanya dia menginginkan ada kelanjutan lebih dari tatapan kami. Apa dia ingin aku cium? Kucoba mendekatkan wajahku padanya. Belum juga sampai ke sasaran, Ami menjauhkan wajahku dengan telapak tangannya.
“Apaan sih lo nyosor-nyosor.” Ujarnya sewot.
Hmm dia mulai jual mahal. Sepertinya dia tengah berada di atas angin sekarang. Ke-GR-an gara-gara kemarin aku tak bisa mengendalikan diri. Dia merasa menang telah berhasil membuatku uring-uringan tak karuan karena tak tersalurkan.
“Gue udah jadi suami lo. Jangankan nyosor, yang lebih dari itu gue juga udah berhak.”
Ami tersenyum dan sikapnya masih ketus, “inget Liam jangan ada kontak fisik dalam pernikahan kita. Gue inget banget dulu lo bilang nggak akan tertarik ama gue, kenapa sekarang jadi agresif?”
“Lo yang mancing-mancing gue buat jadi agresif. Sekarang lo mesti tanggungjawab nuntasin rasa penasaran gue.”
Ami memicingkan matanya, “penasaran? Penasaran apa?”
“Penasaran pingin bobo bareng lo.” Intonasi suaraku meninggi.
“Tiap hari kita bobo bareng.” Jawabnya datar.
“Gue pinginnya bobo bareng plus-plus.”
Ami terdiam, tak membalas lagi.
“Sekarang lo ikut gue.”
Ami menaikkan alisnya, “kemana?”
“Nggak usah banyak nanya. Lo tinggal ngikut aja. Kali ini lo mesti nurut. Atau malaikat bakal melaknat lo lagi ampe subuh.”
Ami mencibir. Tiap kali melihat bibirnya, aku selalu tergoda ingin mengulang berciuman dengannya. Tapi kutepis jauh-jauh keinginan itu. Aku tak mau menunjukkan kelemahanku. Aku bukan pengemis ciuman. Bisa ke-GR-an dia kalau tahu aku begitu gila membayangkan kemesraan kami di malam naas itu. Bisa-bisa Dia semakin menindasku.
Aku mengajak Ami mendatangi butik temanku yang bernama Jennie. Dia sahabat baiknya Lalisa. Butik Jennie khusus menjual pakaian-pakaian import dari pakaian kasual, formal, sampai underwear dan lingerie ada semua.
“Hai Liam, apa kabar pengantin baru?” Jennie mengulas senyum. Matanya melirik Ami dengan tatapan kurang bersahabat. Tentu aku bisa mengerti. Sebagai sahabat baik Lalisa, dia kurang senang mendengar kabar pernikahanku dan Ami.
“Alhamdulillah kabar baik. Lo apa kabar Jen?”
“Alhamdulillah baik juga.” Mata Jennie masih menelisik ke arah Ami seakan menyisir dari ujung kepala sampai kaki. Apa dia meragukan status Ami sebagai perempuan sejati ya? Pasalnya penampilan Ami memang maskulin.
“Oya kenalin ini Ami.”
Ami tersenyum dan mengulurkan tangannya. Jennie membalasnya dengan menjabat tangan Ami sembari mengulas senyum tipis.
“Oya Jennie, gue pingin beli lingerie buat Ami. Bisa minta tolong bantu Ami buat milih nggak?”
Jennie agak bengong mendengar kata-kataku. Sementara Ami melongo.
“Lingerie? Buat gue? Gue kan udah punya.”
“Lo baru punya satu. Gue pingin beliin lagi buat lo.”
Selanjutnya Jennie menunjukkan beberapa lingerie dari Victoria’s Secret. Harganya mahal untuk sebuah baju kurang bahan yang tipis dan transparan, tapi brand ini memang sudah punya nama dan tenar di seluruh dunia. Aku belikan tiga untuknya.
Tiba-tiba mataku dikejutkan dengan kedatangan Lalisa. Dadaku berdesir dan bergetar hebat. Perasaanku masih begitu dalam padanya. Dia cinta pertamaku, pacar pertama dan seseorang yang begitu memahamiku. Namun mata ini memanas kala kulihat ada sosok pria berjalan di sampingnya dan menggandeng tangannya. Sungguh hatiku meradang. Jangan-jangan cowok itulah yang menjadi alasan Lalisa meninggalkanku. Aku sakit dan cemburu, namun aku sadar aku juga telah menikah dan memiliki seseorang. Aku tak boleh egois dengan melarang Lalisa untuk dekat dengan laki-laki lain.
Lalisa berpelukan dengan Jennie dan berbasa-basi saling menyapa. Mataku tak lepas mengamati Lalisa yang semakin cantik. Ah memang ya, namanya mantan itu jauh lebih menawan saat kita tinggalkan. Eh salah, bukan aku yang meninggalkannya, tapi dia yang meninggalkanku.
Lalisa tersenyum padaku. Dia terlihat begitu tegar, atau memang dia sudah melupakan kisah yang pernah terjalin antara kami?
“Hai Liam...” Lalisa melirik Ami.
“Kenalin ini Ami. Ami, ini Lalisa.” Kulirik Ami.
Ami tersenyum dan mengulurkan tangannya. Lalisa menjabat tangan Ami dan mengulas senyum, sebuah senyum ketegaran. Aku tahu pasti tak akan mudah bagi seseorang untuk bertemu kembali dengan mantan terindah yang sudah memiliki pasangan.
Kulirik laki-laki di sebelah Lalisa. Lalisa mengerti aku penasaran akan sosoknya.
“Oya kenalin dia Sean.”
Laki-laki yang bernama Sehun itu menjabat tanganku dan tersenyum. Ganteng sih, tapi kayaknya aku beberapa tingkat lebih ganteng darinya.
“Kalian pacaran?” Tanyaku frontal.
Lalisa terlihat sedikit kaget.
“Ehm...kami sedang dekat.” Jawab Lalisa agak terbata.
“Sejak kapan?” Tanyaku lagi.
Lalisa hendak mengucap sesuatu namun ia urungkan.
“Sejak lima bulan yang lalu.” Sambung Sean.
Jawaban Sean mengagetkanku. Itu artinya mereka dekat sudah lumayan lama, jauh sebelum aku menikah. Berbagai spekulasi menari-nari di kepala. Mungkin saja kedekatannya dengan Sean yang membuat Lalisa begitu mudah memutuskanku.
“Oh lumayan lama...pantas saja cepet banget move on-nya.”
Raut wajah Lalisa berubah muram. Mungkin tak menyangka aku bicara begitu frontal.
“Aku rasa nggak masalah kan kalau kita punya teman dekat meski kita sudah punya pacar?” Lalisa menatapku tajam.
“Tentu salah, karena kalian berteman dekat, bukan pertemanan biasa. Aku sekarang paham, Sehunlah yang jadi alasan kamu begitu cepat memutuskan untuk meninggalkanku.” Kutatap Lalisa lebih tajam.
“Aku berani bersumpah dulu waktu kita pacaran, aku dan Sean tak pernah memiliki hubungan khusus. Setelah kita pisah, aku sempat menyesal apalagi ketika aku ingat kamu pernah bilang bahwa pernikahanmu hanyalah status dan kamu nggak akan pernah menyentuh istrimu. Waktu itu aku ingin kembali padamu. Tapi berita yang viral di i********: membuatku berubah pikiran. Liam anak pengusaha terkenal Rinto Hardian ngamuk-ngamuk di hotel gara-gara nggak dikasih jatah? Itu artinya kamu tertarik untuk menyentuh istrimu. Dasar muna.. Wajar kalau aku memutuskan untuk menjalin kedekatan yang lebih dengan Sean.” Lalisa mencecar tanpa peduli ada Ami di sebelahku.
“Aku ingin menyentuh Ami bukan karena cinta, tapi karena nafsu. Aku laki-laki yang udah menikah, wajar kalau aku berpikir ke arah sana.”
“Laki-laki di mana-mana sama aja.” Ketus Lalisa.
“Gue mau pulang.” Ami bicara datar dan berlalu begitu saja dari tempat ini, tanpa mengajakku. Kususul langkahnya.
Sepanjang perjalanan menuju hotel, Ami terdiam. Bahkan saat aku bertanya sesuatu, dia membalasnya dengan sangat singkat. Apa ada kata-kataku yang menyinggungnya? Atau dia cemburu pada Lalisa? Kalau memang dia tak memiliki perasaan apapun terhadapku, dia tak perlu cemburu ataupun marah.
Setiba di hotel, aku mandi untuk menghilangkan kepenatan. Bertemu kembali dengan Lalisa yang tengah dekat dengan cowok membuatku begitu kecewa. Apalagi mereka sudah dekat sejak lima bulan yang lalu. Aku merasa dikhianati. Guyuran air begitu menenangkan dan kusingkirkan sejenak bayang-bayang Lalisa. Malam ini aku harus fokus pada Ami. Fokus untuk menaklukannya.
******
Seusai makan malam di restaurant hotel, aku dan Amber kembali ke kamar. Ami memilih memanfaatkan waktunya untuk membaca novel. Aku duduk di sofa dan memikirkan langkah apa yang harus kujalankan. Malam ini sudah bebas. Aku sudah sholat Isya di mushola hotel. Aku suka dengan konsep hotel syariah yang dipilih ayah untuk kami. Dijamin tak ada pasangan zina di sini karena setiap pasangan yang menginap wajib menunjukkan surat nikah.
Kukirim WA untuk Luhan dan Chandra di grup chat kami.
Liam : bro apa yang mesti gue lakuin?
Chandra: lo udah dapet DVD film semi panasnya belum?
Liam : udah. Gue mesti nyetel gitu?
Chandra: ya iyalah. Kerasin volumenya pas pemain filmnya lagi mendesah.
Johan : lo juga mesti ngrayu dia Liam. Kurangin gengsi lo.
Aku turuti saran Chandra dan Johan. Kusetel salah sati DVD film semi panas yang aku yakin Ami bakal terangsang setelah menonton film ini. Kulirik Ami yang masih serius membaca novel.
Satu hal yang aku nggak paham ama film satu ini. Alurnya nggak jelas, tahu-tahu udah di ranjang aja nih orang berdua. Aku nggak begitu fokus awalnya bagaimana dua orang ini bisa sudah di kamar dan bersiap untuk bergumul.
Masuk ke bagian inti, aku keraskan volumenya. Terdengar desahan pemain wanitanya saat diciumi oleh pemain laki-lakinya. Cara ini berhasil menarik perhatian Ami. Dia melirik arah layar. Dan kurasa wajahnya bersemu merah melihat adegan panas antara laki-laki dan perempuan yang membuat panas dingin saat menontonnya.
“Lo nonton film apaan sih? Nggak jelas apaan. Mereka tuh lagi ngapain?” Ami beranjak dari ranjang dan duduk di sebelahku.
“Astaghfirullah kirain ah uh ah uh apaan. Lo ini demen nonton film ginian ya?” Ami menatapku dengan tampang juteknya.
“Hampir semua cowok suka nonton ginian Mi. Cowok itu lebih jago kalau soal berfantasi dan nonton ginian tuh menambah daya imajinasi saat kita berfantasi. Kecuali kalau udah nikah dan juga udah dikasih jatah, baru deh bisa mempraktekkan apa yang dicontohkan di film.”
Ami tersenyum, lebih tepatnya senyum yang kurang enak untuk dilihat.
“Terus maksud lo apaan nonton ginian pas ada gue? Lo pasti lagi usaha buat bikin gue terangsang kan? Nggak usah ngarep.”
Gemes juga dengerin dia bicara seperti itu.
“Wajar donk kita udah nikah. Lo sana cari ada nggak suami yang sabarnya kayak gue? Ampe video ngamuk-ngamuk gue viral di i********: pun gue masih bisa sabar.”
“Lo sendiri yang bikin kesepakatan dari awal kalau nggak akan ada kontak fisik antara kita.” Ami bicara semakin nyolot.
“Sekarang gue ganti kesepakatan itu. Seorang istri harus mau melayani suami di ranjang, kalau nolak gue nggak bakal ridho ama lo Mi biar lo dilaknat Malaikat ampe subuh. Dosa tahu nggak nyakitin hati suami apalagi sampai nolak ajakan suami tanpa alasan syari’i. Lo masih ingat kan ama nasehat ayah?” Nada bicaraku sudah meninggi. Tiap bicara sama Ami hawanya emosi mulu, bikin aku makin gerah dan ingin melampiaskan semua dengan membuatnya tak berkutik dan tak berdaya.
“Lo selalu jadiin hal ini sebagai s*****a. Lo nggak mikir, gue butuh kesiapan mental. Fisik udah siap, tapi mental gue yang belum siap. Lagipula kita kan nggak saling cinta. Gue pingin di moment pelepasan virginity gue, gue melaluinya dengan cinta bukan dengan nafsu semata. Virginity is crucial thing for every woman Liam. Okay, this may not really matter for some women and they can give their virginity to anyone without feelings, but I want to give it to the right person, to my hubby who loves me and his love for me more than just his desire to have s*x with me. I can’t have s*x with you as long as there’s other woman’s name in your heart dan your mind...I can see you still love Lalisa.”
Aku terpekur mendegar kata-katanya. Aku hargai keinginannya. Mungkin memang beda cara wanita dan laki-laki memandang s**s, meski kami sudah menikah. Aku memahami jika dia butuh kesiapan lebih, tak hanya fisik tapi juga mental. Aku mengerti jika dia keberatan melakukannya denganku sementara hati dan pikiranku masih berpusat pada Lalisa.
Senyap...
Aaahh uuhh aahhh... Desahan dari pemain wanita di film semi panas kok rasanya kurang pas memecah keheningan diantara kami. Kumatikan DVDnya.
Kami masih membisu dan bergelut dengan pikiran masing-masing.
“Apa s**s bisa bikin orang bisa jatuh cinta?”
Pertanyaan Ami membuyarkan lamunanku.
“Bisa aja. Jangankan s**s, seorang cowok bahkan bisa jatuh cinta ama cewek hanya karena si cewek jadi partner seksnya di mimpi basahnya.” Jawabku.
“Apa lo punya rencana buat jatuh cinta ama gue?”
Pertanyaan Ami kenapa membahas masalah jatuh cinta mulu. Apa itu artinya ia sudah mulai jatuh cinta padaku?
“Jatuh cinta nggak bisa direncanain kan Mi?” Kutatap dia serius.
Ami mengangguk, “lo masih cinta Lalisa kan?”
Aku tercenung sesaat lalu kuanggukan kepalaku pelan. Kutatap dia kembali.
“Dan lo masih cinta Kris kan?”
Ami mengangguk.
“Selama diantara kita belum ada perasaan cinta, mungkin kita perlu jaga diri untuk jangan dulu melakukan sesuatu yang lebih...”
“Ya gue paham. Tapi gue mohon jangan pancing-pancing gue lagi.” Kali ini kutatap dia berkali lipat lebih serius.
“Lo tahu, mancing b****i cowok itu sama aja lo gangguin singa yang lagi tidur. Kalau udah bangun lo bakal diterkam habis-habisan.” Lanjutku lagi.
Ami mengangguk lagi.
“Lo udah terlanjur beliin gue lingerie.” Ucapnya lirih.
Aku tersenyum, “lo bisa makai di saat kita udah ada sedikit rasa.”
“Aku ke kamar mandi dulu ya.” Ami beranjak.
Tiba-tiba ada bunyi mengalun dari smartphone Ami. Mataku terbelalak saat membaca nama Kris. Aku ragu sejenak, tapi aku penasaran juga isi pesan WA Kris. Sumpah kalau dia pulang, aku bakal jambak rambut dia sampai rontok semua. Dia yang sudah membuat pernikahan tak diharapkan ini terjadi.
Kuambil smartphone Ami dan k****a isi pesan WA Kris.
Ami, selamat ya untuk pernikahan lo dan Liam. Gue bener-bener minta maaf udah menyulitkan kalian berdua. Gue udah balik ke Indo, cuma gue belum siap ngadep keluarga, termasuk juga ngadepin lo. Entahlah, gue baru sadar, lo itu berarti banget buat gue. Nggak ada yang bisa ngertiin gue selain lo. Gue kangen ama lo Mi. Gue sadar ternyata gue sayang banget ama lo dan gue nyesel kabur di hari menjelang pernikahan kita.
Aku tersentak membaca isi pesan Kris. Seperti ada yang mengaduk-aduk perasaanku. Aku sadar aku belum jatuh cinta pada Ami dan aku tak perlu cemburu membaca pesan WA Kris. Tapi jujur aku tak pernah berpikir untuk mengakhiri pernikahanku dan Ami. Aku tak tahu apa reaksi Ami saat membaca pesan ini. Mungkin dia akan kembali pada Kris dan menceraikanku. Entah kenapa, aku belum siap kehilangannya.