Ronal keluar dari area restaurant tersebut dengan langkah pelan. Dia memutuskan untuk pulang saja dari pada di sini.
Masih tanpa menghentikan langkahnya tersebut Ronal mulai mengeluarkan ponselnya yang tadi dia simpan di balik jas. Dan berlanjut mencari nomor kontak seseorang di ponsel itu.
Ketemu ...
Dan setelahnya dia langsung saja menghubungi nomor dengan nama kontak 'R1' di sana.
Tut ... Tut ...
Tak perlu menunggu lama suara memanggil tersebut pun di gantikan dengan sapaan seseorang.
"Hallo bos."
Begitupun Ronal sendiri dia juga langsung membalasnya, "Persiapan membereskan sesuatu, alamat di share lock,"
Ronal tidak suka basa basi, dia menjelaskan dengan cepat bahkan tanpa sedikit penjelasan rinci, yang tentu saja hal itu pasti membuat sang lawan bicara sedikit bingung. Tapi beda lagi kalau sang lawan bicara telah mengenal luar dalam sifat Ronal.
"Siap bos ..." Orang itu memang meng iyakan, hanya saja kebingungannya harus tetap perlu di jelaskan, "Tapi kali ini apa?" lanjutnya bertanya.
Ronal menghentikan langkah kakinya tersebut sejenak, lalu menoleh ke belakang menatap restaurant tadi, "Cek cctv di lokasi itu, nanti juga tahu," ucap Ronal dengan wajah super datar yang dia miliki.
"Okay siap laksanakan bos,"
Balasan penuh keyakinan yang di berikan tersebut langsung mendapat anggukan dari Ronal.
"Hm,"
Ronal pun kembali membalik badan menjadi menghadap depan seperti sebelumnya, "Ku tunggu hasil berikutnya,"
"Iya bos," Seseorang di seberang sana itu sama sekali tak mengurangi nada suara tegas nan yakin dalam menjawab Ronal.
"Hm,"
Dan setelah itu, tanpa memberi aba aba, atau setidaknya sekedar berpamitan sedikit, Ronal langsung saja memutus sambungan telefon tersebut sepihak.
Tut ...
Tenang saja walaupun Ronal bertindak seperti itu pun, tidak akan ada yang berkomentar lebih ataupun tersinggung. Memang hal seperti ini sudah biasa bagi Ronal.
Ronal kembali menyimpan ponselnya kedalam saku, namun kali ini berpindah menjadi di saku celana bagian kanan yang dia miliki.
Desisan pelan terdengar, jelas hal itu berasal dari bibir Ronal tersebut. Mungkin kalian penasaran apa yang tengah Ronal lakukan, akan tetapi tidak akan ada yang mengetahuinya jika Ronal tidak mau berbicara, sebab ini adalah rahasia.
Hanya saja Ronal merasa jengah, mengapa hal merepotkan selalu saja terjadi di hidupnya.
Tidak mau berlama-lama di sana, dia kembali melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda menuju mobil sport yang dia parkir di depan sana.
Namun lagi lagi dia harus menghentikan langkah ketika ia terdistrak oleh suatu hal, Ronal mendengar percakapan dua pemuda yang berjalan berpapasan dengannya.
"Iya loh, ada dua cewek teriak teriak di pinggir jalan sana tadi. Kayaknya baru di putusin pacarnya." Satu orang berambut klimis dan memakai kaos hitam di balug kemeja flanel yang berbicara. "Tapi kuat banget gitu. Nggak nangis, meski matanya udah berkaca kaca." lanjutnya.
"Cewek emang gitu nggak sih," ganti pemuda dengan rambut cepak lah dan gigi di pagar behel lah yang membalas.
"Enggak, banyak cewek yang lebih lemah, buktinya pacar gue nangisan mulu, cape deh." Si rambut klimis kembali berucap.
Dan sampai situ saja Ronal mendengarnya. Dia tidak mau mendengarkan lebih lanjut, entah kenapa niat Ronal menjadi pindah haluan, yang mulanya hendak menuju mobilnya di parkiran, dia malah langsung melangkah menuju gerbang luar yang mana menuju jalan raya.
Dan benar saja baru juga tiba di pinggir jalan rada nan menoleh ke arah kanan, dia langsung menemukan sosok yang ia duga menjadi topik pembahasan dua pemuda tadi.
Tak jauh di sana berdiri dua orang wanita, yang satu adalah karyawannya, dan yang satunya lagi adalah sosok wanita yang telah menamparnya keras keras tadi _Reya_.
Tapi selanjutnya kedua wanita itu malah berjalan memasuki area minimarket, Ronal tahu dari plakat yang menempel tinggi tinggi di pinggir jalan tersebut.
Dan entah kenapa kaki Ronal seolah bergerak sendiri _maju ke depan_, hanya saja sudah jelas ke mana arah tujuan Ronal saat ini.
Yups, Ronal langsung saja berhenti di pinggir jalan di depan area mini market tersebut, dan dari sana matanya dapat melihat jelas dua sosok wanita yang saat ini duduk di bangku depan mini market.
Kedua wanita itu terlihat frustasi, tapi lebih parah wanita yang menamparnya yang frustasi. Terlihat dari raut wajahnya yang terus merenung, belum lagi rambutnya yang sudah tidak serapi ketika menamparnya di dalam restoran tadi.
Tingkah Reya yang sepertinya tertekan sekali itu membuat Ronal mendengus tanpa sadar.
Apalagi perubahan perubahan ekspresi Reya yang mulanya sedih, marah, dan balik sedih lagi membuat Ronal tak tahan untuk tidak melakukan hal demikian.
Tiba tiba Ronal tersenyum miring, dia sudah di permalukan 2 kali loh oleh wanita itu. Tapi wanita itu yang malah tertekan macam itu, apa tidak salah kaprah? Siapa yang korban siapa yang pelaku di sini?
Ah, apa sepertinya untuk yang kedua ini Ronal memang tak ada pilihan lain selain membalas. Dia tidak bisa bukan, tetap diam terus.
Huh ...
Ronal pun memutuskan untuk berbalik dan pergi dari sana begitu saja, setelah wanita di depan sana, lahap menyantap banyak makanan seperti tempo hari. Ronal memang sedikit gila telah bersikap macam penguntit ini, yang bahkan rela berdiri untuk sekedar memperhatikan dari jauh hingga hampir 10 menit lamanya. Gila bukan.
Ronal berjalan cepat menuju area parkiran depan restoran steak tadi. Lalu segera memasuki mobil setalah sampai di sana. Berlanjut duduk di kursi jog mobil.
Bukannya langsung menyalakan mesin mobil dan melaju pergi dari sana, Ronal malah terdiam, dan tangannya secara tiba tiba merogoh saku celana untuk mengambil sesuatu dari sana. Tidak salah lagi, dia memang hendak mengambil ponsel.
Dan setelah itu dia menyalakan ponsel di mana segera menggeser layar ponsel mencari susuatu.
Benar saja, Ronal memang tengah menuju room chat-nya dengan nomor wanita yang telah mengguyurnya juga menamparnya itu, Reya.
Rupanya pesan singkatnya masih tetap tidak ada balasan dan juga tidak di baca. Haruskan dia mengirim pesan lagi? Yang tidak cringe seperti itu. Karena sebenarnya Ronal juga tidak suka berbasa basi.
Tapi ... Apa yang hendak Ronal sampaikan, tidak ada yang bisa dia tulis.
Aishh ...
Ronal pun meletakkan ponsel kamera boba tersebut di jog sampingnya seperti ketika berangkat tadi, hanya saja kali ini dia tidak membantingnya.
Ronal juga berfikir keras, mecari alasan wanita itu menamparnya. Wanita yang katanya telah memiliki pacar itu menampar pria tanpa alasan yang jelas.
Tidak mau makin memikirkan yang tidak jelas sepertu itu, kali ini Ronal benar benar menyalakan mesin mobil dan berlanjut menancap gas pergi dari sana.
Dia menjalankan mobil dengan kecepatan yang masih sama seperti ketika berangkat tadi, lambat, atau malah makin parah, karena ya memang di jam jam seperti ini kemacetan malah makin mendalam saja.
Dengan kesabaran yang amat sangat, Ronal pun akhirnya tiba di area gedung penthouse nya, dan mulai mengendarai mobil menuju basement lantai tiga dari atas bawah tanah.
Hanya saja ketika dia menghentikan mobil di posisi tempat biasanya, dia malah di buat mengerutkan dahi melihat adanya mobil seseorang terparkir di depan mobilnya. Harusnya Ronal tak salah mengenali, karena mobil itu adalah milik Beni, temannya. Dari warna mobil dan nomor plat yang tertera jelas betul itu milik Beni.
Baru juga Ronal membatin hal seperti itu, di malah langsung mendapat panggilan masuk dari ponselnya. Dan ketika Ronal menoleh untuk melihat ponsel yang berada di kursi penumpang samping, dia langsung dapat melihat nomor siapa yang telah menghubunginya.
Yakni Beni ... Siapa lagi kalau bukan dia.
Drttt ... Drttt ...
Suara getaran terdengar terus menerus, oleh karena itu Ronal segera mengulurkan tangan untuk mengambil ponselnya, dan mulai menggeser tombol hijau di sana.
Belum juga Ronal mengeluarkan suara menyapa Beni di seberang sana. Temannya tersebut sudah lebih dulu bertanya dengan nada ngegas bukan main, sampai membuat Ronal harus sedikit menjauhkan ponsel dari samping telinga, karena ya suara Beni lebih mirip seperti teriakan.
"Lo di mana?"
Mendengar pertanyaan tersebut, Ronal hanya dapat memaklumi jika beni memang seperti itu, suka ngegas. dan dia kembali mendekatkan ponsel ke samping telinga sebelum akhirnya menjawab, "Apa?"
"Mau mampir di rumah lo," Beni dari yang mulanya ngegas itu, langsung berubah seratus delapan puluh derajat menjadi kalem bukan main, atau malah cenderung di manis manis kan tai. Memang benar benar ya Beni itu.
"Hm," Ronal hanya bergumam sebagai balasan, padahal Beni sudah menungggu jawaban yang betulan.
"Lo di mana sat," Nah nah lihat, alhasil Beni menjadi ngegas emosi lagi karena Ronal yang malah bermain main.
Main main apanya, Ronal memang tidak berselera membuka suara kok. Banyak kejadian yang sudah menimpanya membuatnya malas membuka mulut lagi.
"Di mobil," balas Ronal dengan sangat terpaksa.
Di mobil mana, pikir Beni, makanya dia kembali emosi di buatnya, "Yang jelas dong,"
Helaan nafas terdengar berat di sana, dan itu Ronal lah yang melakukannya. Lagi lagi dia akan membuka suara untuk menjawab, "Di mobil belakang mobil elo,"
Suara grusak-grusuk pun terdengar,
Dan detik berikutnya Ronal mendengar suara pintu mobil yang terbuka dari arah spiker ponsel, selanjutnya Ronal dapat melihat jelas jika Beni melongok kan kepala dari pintu mobil itu yang sudah terbuka.
"Woy ..."
Ronal mendesis mendengar Beni yang berteriak sudah macam di hutan saja itu.
Tutt ...
Panggilan pun terputus sepihak begitu saja, dengan Beni yang memutuskan. Maka dari itu Ronal langsung kembali menyimpan ponsel ke dalam sakunya, sebelum akhirnya ikut membuka pintu seperti yang Beni lakukan dan berlanjut turun dari sana.
Beni yang beriniatif menghampiri Ronal _baru turun dari mobil_. Dan dia langsung saja mengeluarkan suara, "Kok lo nggak bilang."
Ronal menoleh sekilas pada Beni, "Hm," lalu menjawabnya lagi lagi dengan gumaman dan mulai berjalan meninggalkan Beni begitu saja, menuju lift yang tak jauh dari sana, lift khusus menuju unit penthouse miliknya.
Mau tak mau Beni pun mengikuti Ronal dan berusaha menyamakan langkah Ronal itu.
"Lo dari mana ... Eh ..."
Dan tepat ketika Beni menoleh ke arah Ronal dia malah di buat salah fokus dengan pipi Ronal yang memerah. Jujur saja Beni baru menyadarinya, sebab di samping mobil tadi pencahayaan tidak seterang ini, sekarang memang mereka tengah berdiri di bawah lampu yang menyala.
"Njir ... pipi lo kenapa?" tanya Beni sedikit panik. Dan dengan gerakan spontan, tangan Beni menyentuh pipi kanan Ronal _sedikit kasar_, yang mana hal itu sontak membuat sang empu mengaduh kesakitan.
"Awsshh ... Anjing sakit," Tidak hanya mengaduh Ronal juga menambahkan umpatan saking kesalnya, apalagi karena perbuatan Beni dia harus menghentikan langkah.
Tentu saja Beni merasa bersalah, dan segera mengucap maaf, "Sorry sorry ... Emang itu kenapa? Di sengat lebah tuh, mana dua pipi lagi." lanjut Beni masih tidak habis fikir dengan kedua pipi putih Ronal yang saat ini berubah merah, jangan lupakan wajah kesal Ronal yang makin membuat pipi merah itu begitu mengundang mata.
Karena tak ada jawaban Beni pun memberenggut, dan mulai mendekat ke arah Ronal dan menyentuh pipi Ronal lagi hendak memastikan apakah warna merah itu aseli bukan hanya tambahan pewarna semata. "Jawab dong, pipi lo kenapa?"
Hng ...
Ronal sedikit tersentak akibat Beni yang berada cukup dekat dengannya, namun sebelum dia berhasil melakukan hal tersebut, mereka malah lebih dulu di kejutkan suara klakson yang berbunyi keras keras.
Tinnn ...
Mereka berdua menoleh serempak ke samping kiri yang rupanya mereka tidak sadar kalau terdapat sebuah mobil warna hitam di sana, atau si pelaku klakson tadi. Ronal dan Beni memang tengah menghadang jalan, keduanya berdiri tepat di tengah jalan utama untuk mobil mobil lain lewat.
Seorang pria paruh baya nampak melongok kan kepala dari kaca jendela, lalu di berteriak, "Minggir, jangan pacaran di tengah jalan,"
Sialan!
Mendengar hal itu, dengan cepat Ronal mendorong Beni kuat kuat, membuat sang empu sampai harus mendur beberapa langkah ke belakang, untung tidak sampai jatuh.
Tanpa mengucap apapun, Ronal berbalik dan melangkah pergi dari sana, yang tentu saja dengan iringan umpatan tanpa henti di dalam hati.
Beni yang tertinggal di belakang juga masih terkejut akan teriakkan yang di keluarkan pria paruh baya tersebut, namun karena sadar akan kesalahannya, dia pun mengucap maaf pada pria paruh baya. Dan berlanjut mengambil langkah menuju Ronal yang hampir sampai di depan lift.
Sungguh Beni tidak sadar akan situasi yang sudah dia lakukan dengan Ronal, yang mana memang mereka berposisi seperti layaknya pasang maho biasanya, dengan jarak yang begitu dekat juga Beni yang menangkup kedua pipi merah Ronal. Sungguh pasti hal itu akan langsung mengundang mata orang untuk berfikir bahwa kedua pria itu adalah pasangan kekasih.
Di sisi lain Ronal sendiri sudah mencapai lift, dan sudah masuk ke dalamnya, yang bahkan dia hendak menutup pintu lift.
"Nal,"
Panggilan Beni yang berlari dari kejauhan sama sekali tak Ronal gubris, terlebih Ronal tidak juga mengurungkan niat menekan tombol menuju lantai unit penthouse nya tersebut.
"Ronal!" Beni benar benar berteriak keras di sana, dan seolah Ronal sama sekali tak mendengar hal tersebut.
Pintu lift hanya sisa beberapa senti meter sebelum tertutup rapat, tapi ternyata Beni berhasil sampai di sana, yang mana segera menahan pintu agar yang mulanya hendak tertutup menjadi terbuka lagi,
"BUDEG YA LO!" Pekik Beni langsung dengan keras keras, akibat kesal pada temannya tersebut. Nafas Beni pun masih memburu setelah di buat lari maraton dari tengah sana menuju lift.
Ronal tak menanggapi, dia setia bersikap cuek bebek sambil kembali menekan tombol lift yang tidak jadi tertutup tadi.
Lift mulai tertutup lagi, dan berlanjut naik.
"Sial! Temen laknat lo." Beni mendengus kesal ta dapat tertutup tutupi, Beni tau Ronal kesal akibat dirinya yang tadi terlalu dekat sampai di kira pasangan homo oleh orang, tapi iya seperti ini juga lah, Beni tidak mau di tinggalkan. Mengingat kalau sampai tertinggal Beni tidak bisa menuju unit penthouse Ronal jika tidak di izinkan pria itu dari dalam, atau membawa akses lain.
Lift ini memang menggunakan beberapa sensor ribet yang hanya di miliki sang pemilik rumah juga orang yang sudah di daftarkan seperti mama Ronal contohnya. Selain itu tidak ada yang bisa masuk. Itu pun mama Ronal sangat memaksa anaknya ketika meminta di daftarkan, dengan alasan 'menengok anak sendiri kok di buat repot'.
"Nal,"
Ronal diam saja tak menjawab,
"Bisu lo?" Sindir Beni yang lumayan kasar, tapi tetap saja, Ronal sama sekali tak terdistrak, yang malah pria itu seolah tak menganggap sosok Beni ada di sana.
Beni mengeram kesal, tidak ada cara lain, lagi lagi dirinya lah yang harus mengalah, kalau tidak mau nanti di usir Ronal dari penthouse nya tengah malam. "Okay fine ... Sorry buat yang tadi. Gue nggak bermaksud Nal," Beni menunggu Rona membuka suara dengan harap harap cemas.
Tapi setelahnya ...
Ting ...
Pintu lift malah terbuka, yang mana membuat Ronal langsung saja melangkah keluar dan kembali meninggalkan Beni, yang melongo di tempat.
"Tunggu Nal,"
Ronal terus acuh, selama dia membuka sepatunya dia mengabaikan Beni.
Dan berlanjut Ronal yang melangkah menuju tangga, hendak menuju ke lantai 2 di mana kamarnya berada, tapi lagi lagi Beni masih mengikuti Ronal, layaknya anak ayam yang takut di tinggal induknya.
"Sial," Ronal mengumpat tiba tiba, yang mana hal itu menjadikan Beni tersentak di tempat. Ya bagaimana tidak, umpatan Ronal cukup keras.
"Jangan ikutin gue!" Ronal berucap dengan nada penuh penekanan di setiap katanya. Seraya tanpa perlu membalik badan lebih dahulu.
"Tap __"
"Lupain yang tadi," lanjut Ronal memotong Beni yang hendak berbicara itu.
"Eh ... Beneran," Wajah Beni sontak saja berubah penuh binar terang di sana.
Ronal memejamkan mata sejenak, "Serius mau gue jawab,"
Beni yang masih berada di belakang Ronal itu langsung cengengesan sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal itu, "Hehe enggak deh enggak,"
"Hm,"
Dan setelah itu Ronal kembali melanjutkan langkah, sebelum akhirnya aktifitasnya tersebut harus terhenti lagi yang padahal dia baru berhasil mengambil tiga langkah ke depan. Itu semua juga karena Beni yang tiba tiba memanggilnya.
"Nal,"
Ronal berdehem penuh kegeraman, "Hm,"
"Gue laper nih ..." keluh Beni di sana.
Astaga ... Oleh karena itu Ronal buru buru menjawab, agar temannya itu dapat segera menutup mulut bau itu rapat. "Liat aja di kulkas, nyonya besar ngisi apa di sana."
Sorak sorai pun terdengar, dan jelas suara itu berasal dari Beni yang kesenangan bukan main.
"Yes ... Sip sip pak bos."
"Hm" balas Ronal dengan gumaman.
Dan setelah itu, Ronal mendengar langkah cepat Beni yang menjauhinya, sepertinya pria itu benar benar langsung menuju area dapur. Oleh karena masalah Beni telah teratasi, Ronal pun kembali melakukan kegiatannya yang terus tertunda beberapa kali tersebut. Yakni melangkah menuju kamarnya. Dia hendak mengganti baju menjadi pakaian santai rumahan saja.
Tidak membutuhkan waktu lama, Ronal pun akhirnya sampai di dalam kamarnya.
Namun tiba tiba, Ronal merasakan ponselnya yang berada di dalam saku bergetar, menandakan adalah panggilan masuk di sana.
Ronal merogoh saku celananya, dan mengambil ponsel tersebut yang mana di layarnya menampakkan panggilan dengan nomor kontak 'R1'. Orang yang Ronal hubungi di depan restoran tadi.
Tangannya menggeser tombol hijau menjawab,
"Hm?" Ronal bergumam sebagai bentuk mengizinkan orang di seberang saja bersuara.
"Clear, bos," ucap orang tersebut penuh keyakinan.
Dan mendengar hal tersebut, bibir Ronal sontak saja terangkat sebelah.
"Hm, Okay."