Pagi ini Ronal sudah nampak rapi dengan balutan celana levis yang robek robek di bagian lutut, di padu padankan kaos hitam dan jaket denim yang sudah di pastikan harganya selangit itu.
Penampilan Ronal kali ini benar benar sangat jauh dari kebiasaannya yang selalu tampil rapi resmi mengenakan jas, jadi jika seperti ini mungkin banyak orang yang tidak begitu mengenal Ronal malah akan terkejut melihatnya, terlebih para karyawan yang memang tidak mengenal Ronal sama sekali, dan hanya tau status bos di kantor saja.
Padahal menurut Ronal penampilan seperti ini malah masih sangat wajar di bandingkan dengan penampilannya yang dulu, sebab dulu dia lebih parah, pakaian yang selalu macam anak nakal dan juga tindiknya yang ada di mana mana, sungguh mungkin jika para karyawan melihat bosnya dulu, mereka akan shock berat, macam preman ganteng bund.
Akan tetapi untuk sekarang ini, lubang tindiknya sudah tertutup rapat karena sudah bertahun tahun tidak dia pasangi aksesoris. Dan Ronal juga sudah tidak berminat untuk melubanginya lagi.
Sebetulnya bukan itu saja sih hasil kenakalan Ronal, sebab dia juga masih memiliki sesuatu yang tersisa dari kenakalannya dulu, tapi dia tak pernah membahasnya. Yakni dia masih memiliki tato di punggung bagian kanan dan di di bawah dadanya bagian kiri _atau lebih tepatnya di sepanjang tulang rusuk_. Tato di punggung bergambar sebuah kepala singa yang di lilit ular, sedangkan di bagian rusuk kiri berbentuk tulisan memanjang ke bawah menggunakan huruf huruf China kuno.
Sudahlah ...
Ronal mengaca untuk melihat pantulan dirinya yang terakhir kali, sebelum pergi.
Sungguh penampilan Ronal yang seperti itu malah makin membuat Ronal seperti anak muda lagi, sebab akhir-akhir ini dia memang jarang menggunakan celana berlubang macam itu.
Ronal pun keluar walk in closet nya itu dengan langkah santai, dia sudah rapi, jadi waktunya dia berangkat. Tak lupa dia meraih kunci mobil sport andalannya sebelum keluar kamar.
Ronal menuruni anak tangga rumahnya yang nampak sepi seperti biasanya, dia tak bisa membayangkan jika rumah itu akan ramai suatu saat nanti.
Huh?
Seperti biasa dia keluar turu menggunakan lift, yang mana menuju basement tempat mobilnya terparkir.
By the way, pipi Ronal sekarang sudah sepenuhnya sembuh, maksudnya sama sekali tidak meninggalkan bekas apa apa baik kemerahan atau yang lainnya. Agak memalukan pasti jika dia harus menghadiri pertemuan bersama teman teman dengan pipi yang merah merona macam wanita macam itu.
Untung saja, huft ...
Ronal akan berangkat sendiri, mengingat Beni memang pagi pagi sekali sudah memutuskan untuk pulang kerumahnya, katanya sih Beni harus berganti pakaian nan bersiap siap, sekaligus alasan yang terpentingnya, yakni dia ingin mengecek keadaan unit apartment nya saat ini, apakah masih aman sentosa atau sudah hancur tak berbentuk.
Ting ...
Tidak lama lift tersebut terbuka, Ronal tiba di basement, lalu tanpa pikir panjang dia langsung melangkahkan kaki menuju mobilnya yang tetap di posisi seperti terakhir dia memarkirkannya.
Ronal juga segera masuk ke dalam mobil ketika sudah sampai di sana.
Cklekk ...
Dia duduk nyaman jog mobil sport dengan harga selangit itu, yang saat itu Ronal harus mengeluarkan kocek lebih dari 50 milyar rupiah untuk mendapatkan nya. Mobil merek Bugatti Chiron warna hitam dengan strip kuning bagian tengah yang baru Ronal beli beberapa bulan lalu itu memang menjadi kendaraan andalan Ronal, meski jalanan macet sering tidak cocok untuknya, tapi dia tidak bisa untuk tidak menaiki mobil ini. Dari beberapa mobil sport mahal yang dia punya, mobil ini lah yang menjadi favoritnya.
Ronal sudah siap untuk berangkat, hanya saja ketika dirinya hendak menyalakan mobil dia malah teringat dengan temannya yang mungkin sudah berangkat menuju basecamp atau belum _Kazeo. Memang harusnya sih tidak perlu bertanya macam cewek menye-menye, tapi entah kenapa Ronal malah melakukannya.
Tidak tidak, bukan kah jika ingin mengetahui persiapan Kazeo, Ronal harusnya mengubungi pria itu.
Tapi ketika Ronal merogoh saku dan mengambil ponsel di sana, dia malah melanjutkan kegiatan menelefon menuju nomor seorang wanita yang tak lain tak bukan adalah Sia istri Kazeo. Bukannya aneh ya, Kazeo juga memiliki nomor ponsel loh, kok ya repot sekali jika menghubungi lewat sang istri dahulu.
Em ... Sejujurnya, Ronal juga ingin mengetahui keadaan Sia, makanya dia lebih memilih mengubungi wanita itu. Mengingat yang dia tau kandungan Sia memang sedang lemah, Kazeo saja sampai over protective, hingga membuat pria itu jarang sekali bisa mengunjungi basecamp, makanya kali ini Ronal juga agak terkejut ketika semalam Kazeo memberitahu akan melakukan kegiatan berkumpul, dan rela meninggalkan sang istri di rumah sendiri. Apalagi mungkin mereka akan berada di basecamp hingga sore atau malah malam.
Klik ...
Terhubung ...
Tut tut ...
Ronal menunggu panggilannya yang dia tujukan pada Sia itu, di mana sudah beberapa detik masih belum juga di jawab oleh sang empu.
Tapi setelah beberapa saat akhirnya Sia yang berada di sebrang sana berhasil mengangkatnya.
"Halo," Suara Sia langsung saja terdengar menyapa pendengaran Ronal itu.
Ronal yang hendak menanggapi pun memang tidak berniat langsung menanyakan keadaan wanita itu, tapi dia akan menanyakan keberadaan Kazeo dahulu agar tidak begitu mencolok di sana.
"Kazeo mana?" tanya nya tanpa berasa basi.
"Udah berangkat tadi, dia langsung pergi setelah nganter gue." Sia juga menjawabnya segera, sebenarnya Ronal agak sedikit penasaran dengan posisi Sia saat ini, karena sejak awal Ronal dapat mendengar selain suara Sia ada juga suara bisik bisik orang yang menyertai, makanya Ronal hampir saja bertanya, tapi wanita itu malah lebih dulu memberi tahu tentang 'mengantar' yang mana berarti Sia tak sedang berada di rumah. Akan tetapi di antar ke mana?
"Hm?" Ronal berdehem menandakan kalau dia sedikit bingung. Tapi karena Sia _yang untung sudah faham maksud Ronal_, wanita itu buru buru menjelaskan.
"Iya ini gue lagi ada di rumah temen,"
"Ah okay," Ronal mengerti, karena awalnya Ronal pikir Sia tengah ada di rumah sendiri seperti biasanya, tapi jika ternyata wanita itu happy dan sedang berada di luar, Ronal pun tak perlu menghawatirkan apapun lagi.
"Ya udah kalau gitu," lanjut Ronal ingin menyudahi, sebab tak mau mengganggu waktu Sia yang tengah berkumpul dengan teman temannya itu.
"Okay, Bye." Sia menjawab, setelahnya terdengar grusak-grusuk yang sepertinya wanita itu meletakkan ponselnya hingga membentur ke lantai? mungkin.
Ronal memutuskan hendak mematikan sambungan telefon saja, bahkan tangannya sudah terangkat dan tinggal menggeser tombol warna merah yang berarti mengakhiri tersebut.
Hanya saja Ronal malah mengurungkan niatannya ketika dia mendengar sebuah jeritan dari seberang telefon sana.
"Dhini g****k! Lepehin nggak, lepehin!"
Dahi Ronal berkerut dalam, sepertinya dia mengenal betul suara yang amat familiar tersebut. Ronal tidak mungkin salah mengenali, karena pemilik suara jeritan tadi adalah orang yang sama dengan yang sudah menamparnya semalam.
"Astagfiullah, Dhini." Ganti Sia yang mengeluarkan suara keras di sana.
Entah kenapa meski sudah tau jika perbuatannya saat ini lebih mirip seorang penguping, tapi Ronal tetap melakukannya.
"Haha sorry sorry, gara gara temen lo tuh pelit," Yang kali ini bersuara Ronal juga tau kalau dia adalah Dhini karyawannya.
"Pelit gimana woy, ini jatah gue." Reya si wanita yang tempo hari terus bermasalah dengan Ronal yang lagi lagi menjerit kencang.
Ronal yang mendengarnya malah mendengus, dia tidak habis fikir dengan wanita yang beberapa kali dia lihat cara makannya yang amat lahap itu, dan kali ini Ronal duga jika perdebatan juga bersumber dari makanan.
"Jatah lo enam jatah gue dua, itupun yang satu separohnya juga lo makan." balas Dhini dari yang Ronal dengar.
Ronal tidak tau makanan apa yang tengah mereka perdebatkan di sana, tapi 6 banding 2 sungguh amat tidak seimbang, sungguh menakjubkan ya rupanya wanita itu kalau sudah berurusan dengan makanan.
"Tapi kan lo tadi ikhlas gue ambil," Reya masih mengegas meski sudah tidak sekeras tadi, atau malah jauh lebih memelan.
Ronal menggeleng gelengkan kepalanya pelan. Masih belum juga berniat memutus sambungan telefon.
"Siapa bilang weh, lo langsung nyomot gitu aja." Dhini mencibir tidak terima sepertinya.
"Astaga udah udah," Kalau dari nada suaranya yang Ronal dengar sih, Sia saat ini tengah jengah di sana. Wanita itu mungkin kesal dengan perdebatan yang terus memekakan kuping.
Hening dua detik, karena ternyata setelahnya Ronal malah mendengar suara parau berlanjut tangisan dari di wanita bar bar uang sudah menamparnya.
"Sia ... Hiks"
Eh ...
"Lah nangis ..." Dhini mungkin juga terkejut di sana. Kedengarannya seperti itu.
"Lo sih ..." seru Sia, entah pada siapa.
"Gue kan cuma bercanda,"
"Udah tau tu anak lagi bad mood, pengen nangis dari tadi. Nangis beneran kan."
Hm ... Bad mood?
"Sorry Re, Sorry, udah udah nanti gue beliin lagi lima lagi." Dhini mungkin tengah membujuk Reya agar tidak menangis lagi. Karena isakkan tangis di sambungan telefon terdengar makin keras saja.
"Sekarang!"
Sungguh, Ronal kita wanita bad mood yang tengah menangis tidak akan bisa menanggapi bujuk rayuan, tapi ternyata Ronal salah besar, wanita itu malah mengiyakan, dengan tidak ada ganggu gugat jika itu tawaran makanan. Menakjubkan gilanya.
"Kampret, niat banget meres guenya, Buk,"
"Hiks," Tangis Reya makin keras.
"YA YA INI LANGSUNG C O!" Ngegas, sangat ngegas ketika teman Sia yang juga berstatus karyawan Ronal tersebut menjawab.
Ronal tanpa sadar menikmati drama rebutan makanan antar sahabat itu, hanya saja setelahnya dia malah mendengar pekikan terkejut dari Sia tentu saja.
"Astaga, belom matiin telefon."
Wanita itu haru sadar kalau sambungan telefon masih terhubung dengan Ronal.
Ronal yang sedari tadi tak mengubah ekspresi datarnya tersebut pun, bersiap menanggapi Sia yang terdengar panik itu
"Kok nggak lo tutup sih!" Suara panik nan kesal Sia menyapa sepenuhnya pendengaran Ronal, karena ponselnya sudah pasti telah di dekatkan ke arah bibir.
"Hm," Ronal tak menjawab apa-apa, dia tak bisa menjelaskan. Makanya dia hanya berdehem pelan.
"Ck, okay. Gue tutup dulu."
Dan tanpa menunggu waktu lama, sambungan telefon tersebut pun terputus sepihak dengan Sia yang melakukannya. Bahkan wanita itu sama sekali tak menunggu Ronal untuk memberi balasan dahulu.
Tut ...
Karena sudah benar benar terputus, Ronal mulai menjauhkan ponselnya yang sedari tadi menempel di telinga kanannya itu.
Lalu dengan gerakan santai seolah tak terjadi apa apa _dan dia tak sedang menikmati drama_ itu, Ronal meletakkan ponsel kembali ke dalam saku jaket denim yang dia pakai.
Sebenarnya jika tidak jeli, baru saja sekilas Ronal terlihat mengangkat sudut bibirnya, pria itu tersenyum miring? Benar benar hanya sekilas sebelum akhirnya tangannya bergerak menyalakan mobil dan mulai menjalankan mobil mahal itu keluar dari area basement.