Chapter 1 - The End?

2767 Words
Bismillahirrahmanirrahim ✿_____✿_____✿ Inikah arti dari kalimat, 'Kita yang merencanakan, tapi Tuhan yang menentukan?' ✿_______________✿_______________✿ Sepasang kaki berbalut sepatu menyusuri lorong rumah sakit dengan langkah cepat dan jantung berdebar. Sesampainya di tempat tujuan---depan pintu ruang operasi, dia menatap pintu dengan berurai air mata. Sebagai tanda bahwa seseorang yang ada di dalam sana adalah orang yang berharga dalam hidupnya. Dia tidak mau kehilangan dan berharap pasien yang kini tengah ditangani dokter bedah bisa selamat. Di kursi tunggu ada sepasang suami-istri yang menunggu dengan harap-harap cemas. Aina yang sudah mengenal mereka sejak kecil menghampirinya. "Om, Tante? Kenapa bisa begini? Apa yang terjadi sama Aska sebenarnya?" "Kepalanya cedera parah. Menurut saksi ponsel yang dipakai Aska saat telfonan sama atasannya direbut secara paksa dan kepala bagian belakangnya dihantam besi." Yang menjawab adalah ayah dari Aska---Haris. Mata Aina memejam membayangkannya. Dia duduk di sebelah ibu Aska. Saat mendengar bahwa Aska mengalami kecelakaan parah hingga mengharuskannya operasi, membuat Aina ketakutan setengah mati jadi ia langsung datang ke sini. "Apa itu murni pencopetan, Om? Apa nggak ada tanda-tanda pembunuhan yang disengaja?" tanya Aina penasaran. "Pihak polisi masih selidiki pelaku, Ai. Motifnya apa, dan segalanya." Masih terdengar isak tangis Maya semenjak melihat Aska dimasukan ke ruang operasi. Aina mengusap baju Maya untuk memberinya kekuatan. Ia kembali menatap pintu operasi, dengan penuh pengharapan. Aina yakin Aska bisa melewati semuanya. Operasi ini akan berhasil dan ia akan sehat seperti semula. Air mata Aina turun kala ia merasa ketakutan yang sangat dahsyat, terutama menyangkut orang yang sangat ia sayangi di dunia ini "Bagus banget baju pengantinnya. Pokoknya nanti aku mau bikin yang gini, juga pakai yang kayak gini juga. Pokoknya harus sama kayak gini, Ma!" Aina kecil memegang baju pengantin yang terpasang di sebuah manekin dengan desain terbaru buatan mamanya yang berprofesi sebagai desainer baju pengantin. "Pakai baju ini nggak sekedar pakek aja, Ai. Pakai baju indah ini itu artinya kamu bakal menikah dan banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi." Ibunya berjongkok di depan Aina yang baru berusia enam tahun. "Menikah?" "Iya. Namanya kan baju pengantin atau baju pernikahan, itu artinya dipakainya harus sama pengantin juga. Menikah itu artinya, kamu mengikat janji sama seorang laki-laki dan hidup bersama sampai maut memisahkan. Sama kayak Mama dan papa." "Kalau begitu, Aina nikahnya mau sama Aska," ucap Aina malu-malu. Menyatukan dua ujung telunjuk kemudian memarkan senyum. "Ya ampun, masih kecil ya kamu, main nunjuk calon suami aja." "Kan Aina sukanya sama Aska. Main sama dia seru. Dia temen terbaik, Aina nggak mau jauh dari Aska. Jadi nanti kalau udah besar, Aina mau sama Aska terus. Biar sama kayak Mama dan Papa." "Iya, semoga Aska-nya mau, ya?" Sang mama mengusap kepala Aina yang rambutnya dihiasi jepit. "Pasti mau!" Mamanya tersenyum manis menatap putri sulungnya yang sangat cantik dan manis. Beberapa tahun kemudian. "Menjauh dari aku, aku nggak mau temenan sama kamu lagi. Aku udah dewasa, udah nggak mau main sama cewek lagi." "Lho, kenapa? Kita, kan sahabatan dari kecil." "Aku bilang kita harus menjauh!" Aska berlalu sambil membawa sepedanya, meninggalkan Aina sendirian di depan gerbang sekolah baru mereka. Aina menatap kepergian Aska dengan mata berkaca-kaca. Sahabat lelakinya sudah tidak menginginkan kehadirannya lagi. Hari pertama MPLS di sekolah menengah akhir harus menjadi hari yang menyedihkan bagi Aina. Pintu ruang operasi terbuka, keluar seorang dokter dengan pakaian operasi warna hijau. Tiga orang yang menunggu segera mendekati sang dokter dengan wajah penasaran bercampur khawatir. "Gimana operasinya, Dok?" tanya Haris. "Alhamdulillah berjalan lancar. Pasien akan dipindahkan ke ruang ICU untuk perawatan intensif pasca operasi. Saya selalu dokter yang membedahnya akan terus memantau perkembangan pasien." "Alhamdulillah ...." Sekarang Aina bisa tenang meski harus menunggu Aska pulih. Yang penting operasinya berjalan lancar. ✿_______________✿_______________✿ Jempol seorang lelaki terus saja menekan-nekan ujung pulpen. Karena ini tempat yang lumayan ramai dengan adanya alunan musik, suara yang berasal dari pulpen yang ia mainkan tidak terdengar. Pandangan dia terus tertuju ke pintu masuk. Berulang kali dilalui pengunjung yang datang dan pergi, tapi ia tidak kunjung menemukan sosok yang dicarinya. Sampai pada satu titik, akhirnya dia melihat kehadiran wanita yang ia tunggu. Mata mereka sempat berserobok, tapi wanita itu memilih untuk mengabaikannya. "Aina!" Yang dipanggil tidak menunjukkan respons. Dia terus berjalan seolah manusia yang berusaha mengejarnya gaib. "Tunggu atau aku terpaksa pegang tangan kamu. Dengerin aku, atau kita berdua sama-sama berdosa?" Aina pun terpaksa berhenti. "Kenapa akhir-akhir ini kamu selalu ngehindarin aku? Ditelepon nggak diangkat. Di chat nggak dibales. Why? Apa gara-gara aku ...." "Iya ...." Akhirnya Aina berbalik, menatap lelaki yang sebenarnya sangat ia rindukan dan selalu ingin ia temui. Ia rindu menceritakan kegiatan sehari-harinya, juga masalah yang datang kepada Alden. Selain sebagai lelaki yang ia cintai, Alden juga bisa menjadi tempatnya curhat sebagai seorang teman. "Aku nggak terima sama pembelaan kamu terhadap Delia. Kalau kamu tahu kenapa kamu masih tanya?" "Maaf, kayaknya kita harus akhiri hubungan kita," lanjut Aina sambil menunduk. "Aku salah denger, ya?" Aina menggeleng sambil menahan napas. Lagu Soledad dari Westlife mengalun di coffe shop yang tengah mereka pijaki. Ini adalah coffe shop milik Aina yang memilki jiwa pengusaha. Dan memang kedai ini khas dengan lagu barat jadul karena sering memutarnya. Aina menyukainya, pun dengan lelaki yang kini ia ajak untuk mengakhiri semuanya. Kadang satu frekuensi bisa membuat nyaman. Mungkin itu salah satu dari sekian banyak hal favorit yang sama yang menjadikan keduanya memutuskan untuk menikah. Tapi sepertinya niat itu akan dibatalkan tepat di hari ini. "Cuma karena aku bela Delia, kamu kayak gini? Kamu harus paham, Na. Delia itu dinyatakan nggak bersalah. Apa aku harus biarin dia dipenjara sedangkan dia nggak terbukti bersalah?" "Kalau dia nggak bersalah, terus siapa yang udah bunuh adik aku? Cuma dia satu-satunya tersangka. Cuma dia satu-satunya orang yang diliat saksi ada di lokasi kejadian saat adik aku meninggal. Tetangga aku liat sendiri waktu Alisa jatuh." "Tapi itu semua nggak bisa buktiin kalau Delia bersalah. Tanpa bukti yang benar-benar nunjukin Delia dorong Alisa dari atas balkon paling atas rumah kamu kita nggak menghukum dia. Kalau cuma pakek insting sebagai bukti, itu sia-sia." "Kamu kayak gini karena kamu selalu liat dari sudut pandang pelaku daripada korban. Kamu kayak gini karena kamu seorang pengacara, Al. Bisa aja kamu pengin menangin kasus ini tanpa peduli klien kamu benar atau salah." Mulut Alden terbuka, ternganga mendengar kalimat Aina yang terdengar seperti menuduhnya dengan cara menyembunyikan kebenaran. "Aku paham sifat kamu yang selalu terobsesi untuk menangin sebuah kasus di persidangan." "Karena itu memang pekerjaan aku sebagai penasihat hukum. Udah jadi tugas aku untuk melindungi klien aku. Dan untuk kali ini, aku berani jamin Delia nggak bersalah." "Berani jamin? Gimana kalau ternyata kamu lolosin seorang pembunuh dan biarin dia hidup enak di atas penderitaan aku sama ayah?" "Tapi nggak ...." "Maka dari itu, kita akhiri ini. Kita berdua nggak cocok, Al." "Fitting baju pengantin, undangan yang udah tersebar, kamu ...." "Pernikahannya bukan hanya kita tunda, tapi kita batalin juga. Kita udah nggak bisa bersama lagi. " Aina menggelengkan kepala. "Delia bebas bukan berarti pelakunya nggak bisa kita cari, kan? Kasus adik kamu masih harus terus diselidiki." "Kalau Delia dinyatakan nggak bersalah, maka dugaan terakhirnya adalah bunuh diri. Bukannya kamu yang simpulin itu? Kamu tahu betapa hancurnya hati papa aku saat denger itu? Nggak ada alasan satu pun yang bikin Alisa bunuh diri. Kamu sendiri tahu kan gimana dia selama ini? Kasian adik aku. Papa aku juga. Dia sedih dan marah atas hasil kerja kamu yang bilang kalau Alisa bunuh diri." "Hari ini, saudari Delia Rahma dibebaskan oleh pihak kejaksaan atas kasus pembunuhan karena kurangnya bukti. Diduga almarhumah Alisa sengaja terjun dari balkon untuk bunuh diri ...." Prang! Layar televisi pecah setelah dihantam gelas berisi kopi. Pria paruh baya menghela napas menahan gejolak emosi. "Pa, ada apa?" tanya Aina menghampiri sang papa setelah mendengar pecahan kaca televisi yang menggema. "Papa masih nggak terima kalau anak itu bebas. Alisa nggak mungkin bunuh diri, kan, Ai?" Aina langsung memeluk papanya. Ia mengerti sang papa bisa sefrustrasi ini. Beliau pernah kehilangan istrinya dan almarhumah memberikan pesan kepada Ardi untuk menjaga Aina dan Alisa. Kini sang papa merasa gagal menjadi seorang ayah. Apalagi hukum gagal menghukum orang yang menyebabkan kematian Alisa. Padahal banyak bukti yang mengarah kalau teman satu kampusnya yang telah melayangkan nyawa Alisa. Pihak Jaksa memiliki bukti berupa saksi mata, pun dengan saksi yang menjadi teman dekat Alisa. Banyak yang bilang bahwa tersangka sering terlibat pertengkaran bersama Alisa. Tapi pengacara mematahkan semua bukti karena tidak ada sesuatu yang menunjukkan Delia benar-benar membunuh Alisa. Di persidangan pertama, Jaksa gagal mendakwa tersangka bernama Delia. "Kita bisa sama-sama ...." "Udah, ya, aku mau kerja. Selamat tinggal." Aina berdiri kemudian pergi ke untuk membantu karyawan lagi menyiapkan pesanan kopi. Sesampainya di belakang meja bartender dia memakai celemek sama dengan pegawai lain. Walaupun dia pemilik coffe shop ini, tapi Aina juga suka membantu dan ikut meracik kopi karena hobinya. Ia mencintai pekerjaannya. Tidak ada yang lebih mengasyikan saat menggeluti hobi yang menghasilkan. Area indoor Coffe Shop berupa material ekspos yaitu dinding bata bercat putih dan juga kerangka atap. Lantainya didesain marmer warna putih dan abu. Meja dan kursi ditata dengan tampilan vintage sehingga bisa menghasilkan foto unik jika ada pengunjung yang ingin mengambil foto. Aina juga mengharuskan karyawan perempuan untuk memakai kerudung. Tidak masalah jika kerudung panjang sekali pun. Ia sengaja menciptakan lapangan kerja untuk perempuan yang kesulitan mendapatkan pekerjaan karena terhalang pakaian meski dirinya sendiri belum setertutup itu. Ada satu pegawai laki-laki tukang mengantar pesanan ke meja pembeli. Aina meminta bantuan sepupunya yang lebih ahli dalam mengatur tata letak kedai kopi yang dibangunnya satu tahun ke belakang. Tentunya modal awal diberikan dari sang ayah yang tidak mau terlalu ikut campur soal mimpi Aina. Alhamdulillah usaha yang dijalankannya berkembang cukup baik dan Aina bisa sedikit-sedikit membayar utang kepada sang ayah. Meskipun Ardi menolak uang yang dikembalikan Aina, Aina terus memaksa karena tidak enak. Dulu Aina memiliki cita-cita menjadi reporter tapi urung karena ternyata banyak hal tidak mengenakan jika ia masuk ke dalam dunia tersebut. Sekarang berita banyak menayangkan kebohongan. Aina tidak mau membohongi masyarakat dengan membawa berita yang tidak sesuai dengan fakta. Dunia ini sudah kehilangan orang baik dan jujur. Kekuasaan dipegang oleh yang tidak amanah dan serakah. Mereka bisa melakukan apa pun demi kepentingan pribadi termasuk menyuap para reporter. Apalagi saat pemilihan presiden beberapa tahun lalu. Betapa kotornya dunia politik saat itu. Belum ingin mengakhiri hubungan, Alden menghampiri Aina tapi gadis itu tidak menggubrisnya. "Cappucino cup ukuran ori. Pesan dua?" Sang pembeli mengiakan. "Totalnya 47.000 rupiah." Aina mengembangkan senyum. "Aina ...." Aina fokus menyiapkan kopi pesanan pembeli. "Okay .... Okay kalau kamu nggak mau ngomong. No problem. Setiap orang berhak untuk nggak bicara, kan?" Alden akhirnya mengalah sambil mengangkat dua tangan. Dia pun berbalik, tapi kembali lagi dan memanggil Aina. Berharap perempuan itu tidak serius dengan ucapannya tadi. What? Berakhir? The end? Hanya karena dirinya seorang pengacara? Apa profesi yang disandangnya seburuk itu? Tinggal satu hari lagi mereka akan melangsungkan pernikahan, dan akhirnya seperti ini? Apakah niat Aina selama ini hanya lelucon semata? "You seriouse, Na?" tanya Alden lagi. Pelanggan yang ada di sana melirik Alden aneh karena berteriak. Sedangkan yang diteriaki setia tutup telinga. Tidak mau mendebat lebih panjang. Mendengarkan Alden sama saja menggoyahkan keputusannya. "Begini ya, rasanya di PHP-in perempuan? Apa ini yang dinamakan karma?" Alden ingat dirinya dulu yang hobi mempermainkan banyak wanita karena katanya seru. Alden jadikan mereka bak game di ponsel. Meski keluarganya berasal dari keluarga agamis, tapi Alden berbeda karena dulu ia sekolah hukum di luar negeri. Dia gampang terbawa arus. Sebelum ke luar negeri pun, Alden masih sering membuat ibunya menangis karena ketahuan merokok dan hal nakal lainnya. Alden tidak pandai menjaga pergaulannya. Apalagi semenjak bertemu teman yang menjadi ketua sebuah komunitas anti pacaran, tapi ternyata dia malah pacaran, dengan perempuan bercadar pula. Ada apa dengan orang-orang ini? Alden selau berpikir begitu. Padahal dulu ayahnya juga sama, tinggal di luar negeri dan sekolah di sana. Tapi kan setiap manusia berbeda jalan dan iman. Orang tua taat agama, belum tentu anaknya juga meski sudah berusaha untuk mendidiknya sebaik mungkin. "Okay!" Alden mengangkat tangan lagi layaknya pencopet yang sudah kehilangan cara untuk bisa kabur dari kejaran polisi. Begitu Alden pergi meninggalkan coffe shop, Aina lemas. Lelaki itu pikir ia mudah memutuskan ini? Aina menyerahkan pekerjaannya kepada karyawan-karyawannya dan ia pergi ke belakang untuk bersiap pulang. Keinginan Alden di hari pernikahan nanti adalah menyayikan lagu Westlife yang berjudul Beautiful in White untuk Aina di depan para tamu undangan. Agar mereka sama-sama bahagia dan menikmati indahnya lagu dengan penuh makna. Tentang gaun pernikahan. Alden akan melihat betapa cantiknya Aina memakai gaun pengantin warna putih. Dan hari ini Aina berhasil mematahkan mimpi Alden. Mereka tidak akan menikah. Aina keluar dari kafe, kemudian berjalan menuju halte bus untuk pulang. Ternyata datang ke coffe shop bukan tindakan yang bagus. Lebih baik ia pulang. Berusaha untuk tidak menangis dan memasang mimik biasa saja. Tapi ia tidak bisa. Kita yang merencanakan, tapi Tuhan yang menentukan. Mungkin memang dia dan Alden tidak berjodoh. "Kenapa nggak pakek mobil? Orang tua kamu kan kaya? Dan aku yakin, untuk beli mobil nggak sulit, kan?" "Aku nggak berani bawa mobil sendiri. Kamu tahu nggak? Dulu aku pernah belajar naik mobil, terus nggak sengaja nabrak orang. Untungnya cuma kecelakaan kecil dan aku beruntung, orang itu nggak nuntut aku, cuma kasih nasihat kalau mau belajar jangan di tempat rame. Dan semenjak itu aku nggak berani lagi." "Oooh begitu. Jadi semacam trauma gitu?" "Iyaa... Aku takut kejadian itu terulang lagi dan bisa jadi lebih parah. Jadi aku pilih jalur aman. Naik kendaraan umum. Lagi pula aku lebih nyaman naik kereta atau bus." "Lebih nyaman lagi kalau diantar jemput suami." "Eh, apa?" "Enggak!" Alden mengibaskan tangan di depannya. "Yaa suaminya belum ada." "Kalau ada?" "Ya seperti apa kata kamu. Lebih enak." "Aku boleh daftar?" "Emangnya bersedia jadi sopir antar-jemput, Pak Pengacara gaul?" "Bersedia kalau untuk perempuan cantik kayak kamu." "Ini ciri-ciri playboy." "Ada saatnya playboy juga tobat setelah ketemu perempuan yang bikin dia pengin berhenti untuk jadi playboy." "Maksudnya?" "Kalau aku pengin menjalin hubungan sama kamu, kamu nggak bakal aku ajak pacaran, tapi akan aku ajak menikah." Itu pertama kali Alden menunjukkan ketertarikannya. "Berani berjuang, nggak?" "Apa?" "Aku suka tantangan. Kamu berani naik kora-kora dan wahana esktrim lainnya dalam jarak waktu yang dekat?" "Kecil." Kini Aina sudah berada dalam bus. Melewati gedung-gedung pencakar langit. Membawa perasaan hancur berantakan. Tidak mudah baginya untuk melupakan semuanya. Perkenalannya dengan Alden terbilang singkat, tapi dengan semudah itu dia jatuh cinta kepada Alden. Dia memiliki daya tarik tersendiri yang membuat Aina terpikat. Enak diajak bercanda dan kadang satu pemikiran. Sama-sama suka tantangan dan hidup bebas. Tidak peduli seburuk apa pun masa lalunya. Nakalnya Alden masih ada dalam batasan wajar. Katanya lelaki yang pernah nakal habis-habisan di waktu muda akan menjadi lelaki yang setia untuk istrinya kelak. Karena wanita yang menjadi istrinya dijadikan dia tempat tujuan terakhir untuk membangun kisah cinta dalam rumah tangga. Ini untuk kedua kalinya Aina jatuh cinta. Jika pada cinta pertama ia tidak mendapat balasan, tapi yang ke dua ia mendapat tumbal balik. Alden sudah bisa membuatnya berpaling dari lelaki yang selama ini ia cintai secara diam-diam setelah mendapat penolakan dari Aska di masa SMA. Namun semesta tidak mengizinkan Aina bahagia menikmati cinta. Ketika sudah mencintai dan dicintai, ada restu orang tua yang tidak bisa diabaikan. "Papa nggak bakal biarin kamu menikah sama orang yang suka belain para penjahat." "Tapi nggak semua pengacara bela orang jahat, Pa. Ada situasi di mana mereka membela orang yang nggak bersalah. Ada saat di mana mereka menolong orang yang kena fitnah, nyelametin mereka dari hukuman mati atau penjara selama bertahun-tahun." "Tapi di persidangan, bukan tentang siapa yang salah dan benar. Tapi persidangan adalah tempat bertarungnya antara jaksa sama pengacara. Tentang siapa yang paling pintar, tentang siapa yang paling banyak menemukan bukti. Bukannya Alden termasuk pengacara yang pintar dan penuh obsesi untuk menang? Dia berkali-kali menangin beberapa kasus besar dan hal itu membuat dia semakin dikenal, sampai akhirnya dia buka firma hukum sendiri. Dan kita nggak pernah tahu, klien mana yang pernah dia selamatkan padahal klien itu bersalah." "Kalau Alden benar ...." "Jadi maksud kamu Delia nggak bersalah dan Alden benar?" "Bukan ...." "Batalkan niat kamu untuk menikah dengan Alden!" "Papa ...." "Papa udah cukup menderita kehilangan Alisa. Jadi kamu jangan nambah beban Ayah.... Putuskan hubungan yang bersangkutan dengan kasus Alisa." Tidak ada pilihan lain selain ini. Aina tidak mau memiliki konflik dengan papanya. Jika lelaki itu sudah memutuskan Aina tidak pernah berani untuk melawan. Sejak kecil dia didoktrin untuk patuh pada segala perintah orang tua. Apalagi almarhumah sang mama di saat terakhir hidupnya pernah memberi amanah agar Aina dan Alisa bisa menghormati papanya, dan selalu mengikuti permintaannya apa pun itu tanpa melawan apalagi melanggar. ✿_______________✿_______________✿
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD