Zalina - Part 14

1516 Words
Malam hari setelah Morin menghubungi ku, Morin memberitahuku untuk tidak masuk kerja malam ini. Ia mengatakan jika Xavier meminta nya untuk bertemu dengan ku, namun Morin terlanjur beralasan jika aku sedang merasa tidak enak badan. Aku pun mengatakan apapun yang morin ucapkan kepada ku pada Vittore, Vittore hanya menggelengkan kepalanya. Ia merasa kesal dengan apa yang selalu di lakukan ayahnya, ia benar-benar tak habis pikir jika ayahnya selalu mencari wanita pengganti istri-istrinya terdahulu. Vittore menatap ku, ia menatapku dengan tatapan yang sangat lekat. Kami memang sedang berbincang di atas meja makan, kebetulan kami baru saja selesai melakukan makan malam. Vittore pun menghela napasnya, ia menatap kami kembali, adik ku Aline terlihat tak melepaskan pandangannya terhadap Vittore. “Kak Vittore kenapa berbeda dengan ayahnya kak?” tanya nya padaku, Aku cukup bingung kala menjawab pertanyaan Aline. “Entahlah, mengapa kau bertanya padaku. Vittore ada dihadapan mu, kau bisa tanyakan hal itu langsung.” pekik Ku pada Aline, wajah Aline menahan rasa malu dan aku tahu akan hal itu. Ya, Aline menyukai sosok Vittore. Ia selalu menatap wajah Vittore dengan tatapan penuh kekaguman. Aku mengusap wajah Aline, lalu menatap jam yang menempel di dinding. “Kamu sudah belajar belum?” Tanya ku pada Aline. “Sudah kak, tadi pekerjaan rumah ku selesai sedari sore. Kak Vittore yang membantuku,” ujar Aline. “Aaaahhh, terimakasih Vittore kau selalu meringankan pekerjaan ku.” ucap ku pada Vittore, “Maklum aku tidak bersekolah, dan terkadang aku kesulitan di saat Aline merasa bingung dengan pekerjaan rumah yang diberikan gurunya.” keluh ku pada Vittore. “Aline akan aku ajarkan apapun, tenang saja, Aku pun sekarang menjadi kakak nya Aline kan?” ujar Vittore, Aku melihat raut wajah kecewa yang Aline tunjukan saat mendengar ucapan Vittore. Aline pun beranjak dari duduknya, “Kau mau kemana Aline?” tanya ku pada Aline. “Mau masuk ke kamar, kepalaku mendadak pusing.” ujar nya sembari berjalan lebih cepat, aku menatap wajah Vittore lalu Vittore menaikkan kedua bahu nya. Aku pun menggelengkan kepala ku dengan pelan, lalu melirikkan mataku kekiri seraya menahan rasa bingung ku terhadap sikap yang Aline tunjukkan barusan. “Zalina, kita pindah ke ruangan depan ya.” ajak Vittore, “Banyak hal yang ingin aku bicarakan dengan mu.” ucapnya kembali, ia mengambil langkah terlebih dahulu. Aku pun memilih untuk membereskan piring yang baru saja kami pakai untuk makan, Vittore cukup tidak sabar menungguku, ia kembali menghampiriku yang masih sibuk di dalam dapur. “Zalina, kau bisa melanjutkan pekerjaan mu besok pagi.” Seru nya meminta ku untuk berhenti melakukan pekerjaan rumah, “Kau memiliki daya baterai berapa sih? Sepertinya semua pekerjaan di lahap habis oleh mu.” pekik nya sembari menatap ke arahku. “Ini sudah menjadi kebiasaan ku, maklum lah. Aku sudah melakukan pekerjaan ini sedari kecil, apalagi tidak ada sosok ibu di rumah ini.” terang ku padanya. “Zalina, Oh May God. Kau memang calon istri idaman untuk pria,” pujinya terhadap ku, aku cukup merasa senang dengan pujian yang di berikan olehnya saat ini. Ponselnya berbunyi, ia segera merogoh isi sakunya. Lalu menatap layar ponsel miliknya itu, ia pun kembali menatap ku dan menyimpan kembali ponsel miliknya itu. “Siapa?” Tanya ku, “Mengapa kau tidak menerimanya?” tanya ku kembali padanya, wajah kikuknya terlihat sedang menyembunyikan sesuatu. Namun aku tak ingin memaksanya untuk jujur padaku, aku pun kembali memfokuskan diriku untuk membersihkan kembali isi dapur yang telah ku pakai. “Dia Emely, dia mantan kekasihku.” ucapnya sembari menumpukkan kedua tangannya di hadapan dadanya, ia pun kembali menatap wajah ku. Aku tersenyum menanggapi pembicaraan ini, “Kenapa kau tersenyum?” tanya nya padaku. “Kirain gak punya mantan,” pekik ku padanya. “Sudah lama kami tidak berhubungan, namun kemarin dia tiba-tiba menghubungi ku.” ucapnya dengan wajah yang terlihat serius, aku masih tetap melakukan pekerjaan ku. Ia menarik lengan ku, menatap wajah ku dengan tatapan yang sangat harmonis. “Maukah kau membantu ku?” tanya Vittore. “Membantu mu? Jelas aku pasti akan membantu mu,” balas ku, “Namun aku harus tahu terlebih dahulu apa yang harus aku lakukan untuk membantu mu,” tambah ku. Ia menghela napasnya, “Aku ingin kau berpura-pura menjadi kekasih ku di hadapan Emely, dia memintaku bertemu dengan nya esok malam.” ucap Vittore, “Aku mohon,” ucapnya kembali sembari mengatupkan kedua tangan nya di hadapan ku. “Mmm, Vittore. Aku, Aku.” ucap ku terbata-bata, entah mengapa aku takut saat Vittore mengatakan hal itu. Aku takut benar-benar merasa jatuh cinta padanya, aku takut jika Vittore malah menyakiti perasaan ku. “Kenapa?” tanya Vittore. “Tidak,” Jawab ku singkat. “Kau hanya harus bersikap layaknya kekasihku di hadapan nya,” ucap nya kembali, “bagiku tidak akan merasa sulit,” susulnya kembali. “Baiklah, hanya untuk esok?” tanya ku padanya. Vittore menganggukkan kepalanya, ia pun mengusap pelan wajahku. Lalu ia mendekatkan wajahnya dengan wajahku, aku memejamkan mataku sejenak. Saat Vittore akan menciumku, suara Aline membuat kami terkejut. “Kak Vittore, Kak Zalina.” panggilnya menyadarkan kami, “Ada teman Kak Vittore di depan, ia sedang menunggu mu.” ucap Aline kembali. “Ahhhh, Iya Aline. Aku akan menghampirinya,” ucap nya sembari melangkahkan kakinya, Aku menarik napasku, Aku melihat wajah Aline yang semakin tak biasa saat melihat ku. “Aline,” Panggilku saat Aline membalikkan badan dan pergi dari hadapan ku, Aku mengejarnya namun Aline segera masuk kedalam kamarnya. Saat aku memegang gagang pintu miliknya, Aline menguncinya dari dalam. Aku cukup merasa bersalah terhadapnya, namun aku tak mungkin mengatakan apa yang menjadi rencanaku bersama Vittore setelah Aline melihat ku dan Vittore akan berciuman. “Kenapa?” tanya Vittore. “Tidak Vittore, siapa teman mu yang datang?” Tanya ku padanya. “Jose, aku memintanya datang untuk membawakan ku sebuah gitar.” balasnya saat aku bertanya, ia pun duduk di atas sofa. Ia memainkan gitar yang di berikan oleh temannya tadi, “Duduklah,” pinta nya sembari menepuk sofa kosong di sampingnya, Aku tersenyum dan segera duduk di sampingnya. “Lalu kemana teman mu saat ini? Mengapa kau tak mengajak nya masuk?” tanya ku padanya. “Aku sudah mengajaknya, namun sepertinya dia masih ada pekerjaan.” ucap Vittore, ia pun memainkan gitar tersebut. Petikan senar gitar yang dipetik olehnya cukup membuatku takjub, “bernyanyilah, aku akan iringi dengar gitar ini.” ujar Vittore. “Mmm, aku malu.” “Malu?” tanya Vittore, “Mengapa harus malu bernyanyi dengan ku?” tanya Vittore, Wajah ku mungkin saat ini sudah memerah. “Mmm, Mmmm.” aku menggaruk-garuk kecil ujung kepalaku, Vittore pun menarik tanganku dan membuat ku duduk di sampingnya. “Ayolah bernyanyi denganku,” ucapnya kembali, Aku tersenyum lalu menganggukkan kepala ku. Ia mulai memainkan gitar miliknya, aku cukup mengetahui lagu yang sedang ia minta aku nyanyikan saat ini. Lagu yang berjudul “Love Story” itu pun aku nyanyikan untuk nya. saat aku bernyanyi untuknya, ia seakan tak ingin melepaskan pandangannya Padaku. Aku pun menatapnya dengan lekat, ia terlihat bahagia saat aku bernyanyi untuknya dan bagiku, permainan gitar nya pun terdengar sangat merdu di telingaku. Aku merasa jika dia memiliki bakat dalam memainkan alat musik, kami pun menghabiskan waktu bersama dalam setiap musik dan nyanyian yang kami mainkan bersama. “Aaaaahhhh Tuhan, hari ini aku benar-benar merasa sangat bahagia.” ucapku dalam hati, “mungkinkah aku jatuh cinta padanya, namun kata Tidak mungkin selalu hadir dalam benak ku.” ucapku kembali dalam hati. Selesai melantunkan beberapa lagu, aku mendengar suara mobil yang terhenti di halaman rumah ku. Aku pun segera beranjak dari tempat duduk ku, lalu menatap kearah luar rumahku melalui jendela rumahku. Aku melihat Xavier keluar dari dalam mobil nya, dan seketika itu aku memberitahu Vittore. Vittore segera masuk kedalam kamar ku, beruntunglah aku dan Vittore sudah terlebih dahulu memarkirkan mobil milik Vittore di tempat yang lumayan jauh dari rumahku. Tok. Tok. Tok. Suara pintu yang di ketuk pelan itu pun tak segera aku buka, aku cukup takut saat membukanya. Aku takut jika Hal buruk terjadi padaku, aku pun merasa takut jika Xavier menemukan keberadaan anaknya. Tok. Tok. Tok. Ia kembali mengetuk pintu rumahku, kali ini ia memanggil nama ku. “Zalina,” “Bukalah pintunya,” susulnya berucap. “Ya Tuhan bagaimana ini?” tanya ku dalam hati, tak ada pilihan lagi. Aku memang harus membuka pintu tersebut, aku pun segera melangkahkan kakiku dan membuka pintu rumah milik ku. Wajah Xavier yang terlihat lebih manis itu terlihat oleh ku, Dia menatap ku di iringi senyuman indahnya. “Apa benar kau sedang merasa sakit?” tanya nya padaku, “Aku datang untuk menjenguk mu,” ucapnya kembali. “Ya, maaf aku sedang tidak ingin bertemu siapapun. Terimakasih karena sudah menjenguk ku,” ujar ku sembari menutup pintu rumah ku kembali, mungkin memang ini terkesan tidak sopan. Namun aku tidak ingin berlama-lama berbincang dengan lelaki yang selalu membuatku kesal, ia menahan pintu rumah ku. “Siapa lelaki muda yang kemarin memberikan saweran kepadamu? Apa dia menjadi kekasih mu saat ini?” tanya nya kembali, “Jawab aku, atau aku cari sendiri siapa lelaki itu.” susulnya berucap. “Ya dia kekasih ku, Apa yang ingin kau cari? Aku sudah katakan jika aku tidak bisa menerima mu menjad suamiku,” jawab ku membalas pertanyaan nya. Sorot mata Xavier berubah saat aku mengatakan hal itu, Xavier pun mendorong tubuh ku kedalam rumah. Membuat ku terhempas keatas Sofa, aku sedikit berteriak karena merasa takut dengan sorot mata yang di berikan oleh nya. “Apa yang akan kau lakukan Xavier?” tanya ku padanya, Xavier memegang dagu runcing milik ku. Ia terlihat ingin menindihkan tubuhnya di atas tubuh ku, aku merasa takut dengan apa yang akan di lakukan olehnya. Namun aku tak menyangka, Vittore yang saat ini sedang menyembunyikan dirinya, seketika itu keluar dan berteriak. “Lepaskan kekasih ku Daddy,” Teriaknya dengan sorot mata yang penuh amarah. “Kau?” tanya Xavier. “Ya, Ini aku. Anak mu, akulah lelaki muda yang menjadi kekasih Zalina, aku mencintai nya dan sangat mencintainya.” ucap nya dengan nada yang sangat lantang, Xavier menarik tubuhnya lalu berdiri di hadapan Vittore, tatapan matanya benar-benar tajam, namun Vittore tetap membalas tatapan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD