Zalina ~ Part 7

1382 Words
Satu bulan pun berlalu, Xavier sudah tak lagi mengganggu ku. Namun ia selalu mengirim uang dan makanan untuk kami berdua melalui Assistennya, namun aku sama sekali tak menerimanya. Walaupun uang sisa gaji yang aku miliki tidak lagi cukup untuk membiayai uang harian yang biasa di pakai untuk adik ku. Bahkan untuk makan pun kami harus mengutang kepada warung terdekat di rumah kami, Aline sempat meminta ku untuk menyudahi sekolahnya. Lalu aku menolak keinginan Aline itu, Aku pun bersusah payah untuk mencari pekerjaan kembali. Sebenarnya Morin meminta ku untuk bekerja kembali, namun Aline tidak menyetujui pekerjaan itu. Kata Aline, “untuk apa kau kembali, disana kau malah akan semakin terhina kakak. Ku mohon,” rengekannya membuat aku berpikir sejenak. Ya benar apa kata Aline, aku tidak boleh kembali bekerja di Bar itu. Karena bagaimanapun hanya hinaan lah yang aku dapatkan jika bekerja di tempat itu, aku pun kembali mencari beberapa pekerjaan yang mungkin bisa aku kerjakan. Namun sayang, tidak ada yang mau menerima orang yang sama sekali tidak memiliki pengetahuan apapun. Aku berjalan dan berjalan menyusuri setiap pertokoan, mereka sama sekali tak memberi ku pekerjaan, mereka hanyalah memandangku hina. Bahkan ada yang mengenali ku sebagai penyanyi di Bar itu, “Ayah, Zalina tidak kuat.” Keluh ku pada Ayah di dalam hati, ingin rasanya aku bertemu ayah dan memeluknya dengan erat. Namun aku tersadar, aku tidak akan pernah bisa lagi memeluk dirinya. Jalanan cukup sepi, aku melirik jalanan di sekitarku kembali. aku tetap duduk di barisan pertokoan yang mulai di tutup rapat pemiliknya, air mata ku kembali menetes, namun aku kembali untuk tetap kuat. “Nak, mengapa kau duduk disini?” tanya seorang ibu penjual bunga. “Aku akan pulang bu sebentar lagi,” “Dimana rumah mu? Apa kau mau aku antar?” tanya nya kembali, “kebetulan aku membawa motor,” ucap ibu tersebut seraya menawarkan diri. “Di Jalan Melati bu,” jawab ku singkat namun ku selipi sebuah senyuman. “Ayo aku antar,” ucapnya sembari tersenyum. “Apa kau sedang merasa bingung?” tanya nya kembali karena mungkin aku tak menjawab ajakan darinya, bahkan tatapan ku terlihat sangat pilu. “Tidak perlu bu, aku bisa pulang sendiri.” ucapku. “Tidak apa-apa nak,” jawabnya seraya memaksa ku, namun aku tetap menolak. Wanita itu terlihat lelah apalagi motor yang di kendarainya terlihat sudah sangat susah untuk dinyalakan, aku pun tetap menolak karena aku tahu jalan kami sama sekali tidak searah. Akhirnya ibu tua itu pun berpamitan dan segera pergi dari hadapanku, aku beranjak dari tempat duduk ku lalu berjalan menyusuri pertokoan yang satu persatu tertutup rapi. Saat aku sedang berjalan, sebuah mobil berhenti tepat di sampingku. Aku menoleh untuk melihat siapa orang yang memanggil ku, “kau,” Xavier lah yang menghentikan laju mobil nya, aku segera berlari untuk menghindari Xavier namun Xavier dan Assistennya terlihat ikut berlari seakan mengejarku. Bruuukkkkkkk Aku terjatuh di hadapannya, aku melihat tubuh Xavier terdiam di hadapan ku. “Kau mau apa?” tanya ku, “tidak kah bosan mengganggu ku?” tanya ku kembali. “Tidak,” jawab nya. Ia mengulurkan tangannya seolah memberikan sebuah bantuan kepadaku, “Zalina, ayolah Come on.” ucapnya sembari tetap mengulurkan tangannya. “Tidak,” “Baiklah,” sahutnya, ia pun memaksa ku untuk di gendong olehnya. Ia menggendongku dan memasukkan ku kedalam mobil miliknya, “kau diam, aku akan mengantarkan mu.” ujar Xavier. “Tidak,” tolak ku sembari menggelengkan kepalaku. “Zalina.” Teriakan Xavier membuat telingaku sedikit sakit, “kau akan menikah dengan ku!” ucap Xavier kembali. Kalimatnya sedikit membuat ku merasa takut, apalagi tatapannya terlihat sarkas dan lekat saat menatap wajahku. “Aku mohon berhentilah mengejarku Tuan,” ucapku. “Hill antarkan kami pulang,” Titah nya kepada Assisten nya itu, Aku terdiam dan mencoba menutupi rasa takut ku. Aku menatap jalanan di sampingku, namun jalanan itu bukanlah jalanan menuju rumahku. “Kau mau membawaku kemana?” tanya ku kepadanya, “Diam kau,” ia menempelkan sebuah kain tepat di dekat hidungku, hingga akhirnya aku menghirup bau yang tak enak dan membuat kepala ku terasa pusing dan berat. Aku pun terkulai lemas, aku meracau sebelum aku benar-benar kehilangan kesadaranku. Beberapa saat kemudian aku tersadar, aku melihat suatu ruangan luas. Aku pun menatap sekeliling ruangan tersebut menggunakan mata ku sendiri, ruangan itu begitu sangat megah dan sangat terlihat mewah. Sebuah lemari besar, sofa besar, televisi besar dan sebuah pintu berukuran tinggi itu terlihat nyata di dalam pandangan ku. “Dimana aku?” tanya ku kembali. “Aline,” aku ingat Aline, “dimana dia?” tanya ku kembali. “Aline pasti sendiri,” aku segera beranjak dari atas ranjang itu, namun rasanya kepala ku sangat berat. Badan ku pun lemas, aku melihat diriku sendiri sudah memakai pakaian seksi. Pakaian yang sangat tidak aku sukai, sebuah lingerlie berbahan satin dan menerawang itu membuatku merasa tak nyaman. Datanglah seorang wanita tua, ia masuk lalu menyapa ku. Ia terlihat sangat ramah, ia memberiku sebuah mantel kain untuk aku pakai. “Pakailah ini, sebentar lagi Tuan Xavier akan datang.” Aku terdiam dan hanya mengerutkan dahi karena menahan kesal, “s**t, tua bangka itu mengapa selalu keras sekali.” ucap ku dalam hati, aku enggan menjawab kalimat yang di lontarkan oleh Kepala Art disana. (sepertinya) “Nona, jika kau lapar. Kami sudah menyediakan beberapa makanan, jika kau ingin mandi, kami sudah menyiapkan handul dan pakaian ganti untuk anda.” “Dimana pakaian ganti ku?” Tanya ku dengan ketus. “Di sebelah sana Nona,” Aku pun mengangguk dan memintanya untuk segera pergi dari hadapan ku, “Dimana aku sekarang? Apa dia mencoba menyekapku? Bagaimana nasib Aline? Ya Tuhan,” sembari berjalan, bibir ku tak henti mengeluhkan keadaan yang telah aku rasakan saat ini. Aku segera berganti pakaian, aku tahu Xavier akan memaksa ku menikah dengan nya. Suara seorang wanita memanggil nama ku pun terdengar dari luar, aku tetap berdiri di dalam ruang pakaian itu. “Zalina,” “Zalina,” Berulang kali aku mendengarnya, lalu ia pun membuka ruangan pakaian untuk sekedar mencariku. “Hay,” “Ha-hay,” jawab ku. “Kenalin nama aku Liliana, aku istri pertama Xavier.” Jleb! Hatiku berdegup kencang, mengapa dia bisa mengenalkan diri sebagai istri pertama Xavier kepada ku. Apa yang di pikirkan oleh nya, apa dia memang menyetujui Xavier menikah lagi. “Aku Zalina,” jawab ku tanpa ekspresi apapun. “Zalina, apa kau mencintai suami ku?” tanya Liliana, seorang wanita yang nyaris sempurna. Cantik, putih, tinggi dan sangat wangi itu bertanya hal yang membuat jantungku kembali berdegup dengan kencang. “Ti-tidak Nyonya,” jawab ku. “Kau tidak perlu memanggilku nyonya, sebentar lagi kau akan menjadi seorang madu ku. Panggil saja aku kakak mu,” jelasnya kembali, “Oh iya berapa usia mu?” tanya nya kembali. Kepala ku tertunduk tegang, “23 Tahun Nyonya,” jawab ku kembali, ia menatap ku dan mengangkat daguku dengan menggunakan kedua tangannya. “Zalina, apa Xavier memaksa mu?” Aku mengangguk, “Aku ingin pulang, bagaimana nasib adik ku di rumah. Dia pasti mengkhawatirkan aku,” ucap ku dengan pelan. “Xavier pasti membawanya kesini, kau tenang saja.” “Tidak Nyonya, saya tidak ingin menikah dengan nya.” jawab ku kembali. “Apa alasannya?” “Karena aku tidak mencintainya, aku tidak suka pernikahan yang karena terpaksa. Masih banyak wanita di luar sana yang akan mampu mencintai suami mu, tidak dengan ku Nyonya. Aku harap kau mau membantu ku untuk kabur dari sini.” jelas ku kembali. “Bagaimana caranya? Jika Xavier sudah menyukai gadis, dia akan mencoba merebut hatinya. Dia akan memaksa mu sampai kau mau menjadi istrinya,” ucap Liliana. “Seperti itukah Nyonya?” tanya ku, “Lalu setelah ia bosan, ia akan meninggalkan ku? Atau menduakan cinta ku?” tanya ku kembali. “Tidak Nyonya, aku tidak mau.” tambahku kembali. Liliana cukup lama berpikir hingga ia mau membantu ku untuk kabur, Liliana pun memberitahu jalan untuk menuju luar rumah ini. ia menemaniku mencampai lorong itu, rumah yang cukup besar dan memiliki beberapa pelayan dengan seragam terbaiknya itu. Berulang kali aku menyembunyikan diri kala Liliana bertemu dengan seorang pelayan, setelah di rasa Lililana pelayan itu pergi, ia pun segera membantu ku kembali. “Belok kanan, lalu ada pintu kecil. Nanti kamu bisa keluar dari pintu itu menuju taman belakang,” ucap Liliana sembari tersenyum, “aku tidak bisa menemani mu Zalina, dia pasti mencurigai ku.” ucapnya kembali, aku mengangguk dan memeluknya sebentar sebagai rasa terimakasih ku. “Terimakasih Nyonya, terimakasih.” Aku berlari dan terus berlari, taman ini cukup luas hingga aku sampai di ujung taman. Pintu besi itu terkunci rapat, aku mencoba membukanya berulang. “Hey,” Teriak seseorang pria bertubuh kekar. Aku cukup melihatnya walaupun keadaan disini sangat gelap, “siapa kau?” tanya pria tersebut. Aku menempelkan diriku di hadapan pintu besi itu, “Ya Tuhan bagaimana dengan nasib ku?” tanya ku dalam hati, aku meminta pertolongan dari-Nya. “Ya Tuhan, bantu aku.” Ia semakin mendekat, ia berjalan dengan sangat pelan. Aku pun berpikir untuk memanjat pagar pembatas tersebut, namun seketika itu aku pun terjatuh dan lelaki itu mencoba menyelamatkan aku, lelaki berparas tampan dan terlihat sangat baik itu menatap ku dengan lekat. Aku terjatuh di dalam dekapannya, ia tersenyum kepadaku dan entah mengapa hatiku terasa sangat nyaman dengan nya. “Kau harusnya hati-hati,” ucap lelaki tersebut. “Mmm-mmm, Terimakasih Tuan.” ucapku kembali. “Ya,” dia menurunkan tubuhku, lalu kembali tersenyum kepadaku. Aku menundukkan kepalaku, aku merasa canggung saat dirinya menatap ku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD