Sesampainya di rumah, Aku mencoba menenangkan Aline. Aline cukup terlihat emosi hingga tak dapat mengatur napasnya dengan baik, ia menatap ku lalu memeluk ku dengan erat.
“Kakak, kenapa dengan mu? Kenapa kau selalu menutupi masalah mu dariku?” tanya nya sembari tenggelam di dalam pelukanku.
Aku menangis dan memeluk erat tubuh Aline, “Aline, kau adik ku. Kau hanya harus memfokuskan dirimu bersekolah, kau tidak perlu menjadi orang yang menanggung segala beban permasalahanku.” ucapku sembari memegang wajahnya menggunakan kedua tangan ku.
“Aline, kakak hanya ingin kau menuruti apapun keinginan kakak. Kakak hanya ingin kau menjadi Aline yang sukses dan kelak akan membantu kakak, kakak mohon Aline.” ucapku kembali.
Aline benar-benar dalam keadaan sedih, ia memeluk ku kembali dengan erat lalu tertidur di dalam pelukanku. Rasa sedih yang di rasakan olehnya membuatnya semakin lelah hingga terkulai dengan lemas, aku merebahkan tubuh Aline di atas sofa. Ku ambilkan bantal untuknya lalu aku simpan kepalanya di atas bantal dan aku menyelimutinya dengan kain selimut yang tipis, aku pun segera membereskan rumah.
Kakek Ramo datang menghampiriku, “Dimana adik mu Nak?” tanya Kakek Ramon.
“Aline tertidur, mungkin lelah kakek.” sahutku dengan pelan, “apa kakek lapar? Biar aku buatkan semangkuk soup.” ucapku kepadanya.
Kakek Ramon menggelengkan kepalanya, lalu memegang lembut ujung kepalaku.
“Zalina, kakek harus pulang segera. Jika ada sesuatu hal darimu dan adik mu, kau tak perlu sungkan meminta bantuan ku.”
“Kenapa tidak menginap Kakek? Hari sudah sangat larut dan mengapa tidak besok saja kakek pulang?” tanyaku.
“Tidak nak, kakek ada urusan besok pagi dan jika kakek menuju rumah besok pagi, sepertinya akan terlambat.”
“Baiklah kalau seperti itu, hati-hati di jalan ya Kek.” ucapku menyahuti ucapan kakek Ramon.
Aku mengantarkan kakek Ramon menuju halaman rumahku, cukup kuat kakek membawa mobil miliknya dengan jarak yang cukup jauh dan aku tau akan hal itu. Kakek Ramon pun kembali mengusap ujung kepalaku, “baik-baik ya nak disini, ingat jaga adik mu baik-baik dan jangan lupa kabari kakek.” ucapnya kembali, aku mengangguk pelan sembari menyelipkan sebuah senyuma untuknya.
Ia berjalan menuju mobil miliknya, tak lama kemudian ia kembali menoleh kearah ku. Sungguh senyuman yang sangat indah untuk ku darinya, entah mengapa, melihat senyumannya seakan aku melihat wajah manis ayahku.
Kakek Ramon memang bukan kakek biologisku, namun ia lah yang selalu menjadi orang pertama untuk kami, ia juga selalu mengorbankan apapun untuk kebahagiaan kami. Aku beruntung ayah memiliki sahabat, teman dan ayah angkat sepertinya.
“Kakek,” panggil ku.
Kakek Ramon menatap ku kembali, “Terimakasih,” ucapku.
“Ya, salamkan salam ku pada Aline.” ucapnya kembali.
Mobil miliknya pun mulai melaju dengan kecepatan rendah, aku melihatnya hingga mobil tersebut hilang dari pandangan ku. Dan saat aku berjalan masuk kedalam rumah, aku mendengar decitan sebuah ban mobil yang di rem dengan sangat kilat.
Aku menoleh kearah mobil tersebut, ternyata sosok Xavier lah yang keluar dari dalam mobil. Ia cukup tangguh mendekati aku, tanpa rasa malu ia berjalan menghampiriku.
“Zalina,”
“Untuk apa lagi kau kemari?” tanya ku kembali, aku menunjukkan raut wajah yang sinis kepadanya dan Xavier tetap memberi ku senyuman yang cukup nakal.
“Aku kesini untuk menghibur mu dari duka mu,”
Aku cukup mendengus kesal saat mendengar kalimat yang di ucapkan oleh nya, “menghibur?” tanya ku sembari mendelikkan mataku.
“Ya, dimana adik mu?”
“Kau tak perlu tahu, sekarang pergilah dari rumah ku. Beberapa kali pun kau mendekati ku, aku akan tetap menolak dirimu Tuan Xavier,”
“Sombong sekali dirimu nona manis,” dia menarik dagu ku, “Beberapa kali pun kau menolak ku, aku akan tetap datang untuk membujuk mu.” ujar Xavier, aku mencoba melepaskan tangannya yang bermain di wajahku. Dia cukup lihai dalam hal menggoda, maklum pengalaman dirinya mungkin lebih banyak dari lelaki seusia ku.
Saat ini ia semakin mendekatkan tubuhnya, aku berjalan mundur hingga tubuhku terhenti di hadapan tembok rumah ku. Aku pun cukup takut saat melihat tatapannya saat ini, jantungku berdegup dengan sangat kencang saat ia mulai menatap mendekatkan wajahnya dengan wajahku.
“Kau mau apa?” jari-jari nya mulai menyusuri lengan bawahku hingga menuju lengan atas, sentuhan penuh kelembutan pun diberikan oleh nya untuk ku.
Aku mencoba menepis sentuhannya namun dia semakin binal saat aku mencoba melepaskan tangannya, “lepaskan aku,” tangannya mengunci tangan ku, dia memberikan sentuhan di bagian wajah ku, Lalu membelai lembut bibirku dengan mengunakan satu jarinya.
“Lepaskan aku Tuan Xavier,”
“Aku tidak akan melepaskan mu begitu saja, sudah aku katakan Zalina, aku akan selalu memiliki berbagai cara untuk membuat mu mencintaiku dan mau menikah dengan ku.” ucap Xavier.
“Dasar tidak tahu diri,” pekik ku saat mendengar kalimat yang di ucapkan ya kembali.
“Aku tidak peduli seberapa lama kau memberikan hinaan padaku, wajah mu selalu terbayang di dalam benak ku Zalina.”
“Xavier, ku mohon lepaskan.” ucapku dengan pelan, “Jangan sampai tetangga ku melihat apa yang kau lakukan pada ku Xavier,” ucapku kembali.
“Aku tidak peduli,” ucapnya sembari menatap nakal mataku.
Ia kembali mendekatkan wajahnya dengan wajahku, “Bercintalah dengan ku Zalina,” Bisiknya pelan di telinga ku, aku menggelengkan kepala ku. Aku pun berusaha menolak keinginannya saat ini, namun...
Cup,
“Xavier,” aku berteriak saat ia mengecup bibirku dengan pelan,
“Hentikan Xavier, tolong hargai aku sebagai perempuan.”
“Hargai? Aku harus menghargai p*****r seperti mu?”
“A-ku Bu-kan p*****r seperti yang kau ucapkan!” ucapku dengan tegas.
“Kau bukan p*****r jika kau mau menikah dengan ku, kau bisa bekerja untuk ku.” ujar Xavier.
“Tidak, tidak mau.”
“Tidak mau? Kau sudah menolak rezeki yang akan aku berikan.”
“Aku tidak mau uang mu Xavier, cukup dengan kau pergi dari hadapanku dan cukup dengan kau tak mengganggu diriku. Aku sudah sangat bahagia Xavier,” ucap ku kembali.
Ia memegang dagu ku lalu menaikkannya menggunakan satu jari miliknya, “Dengar Zalina, kau akan tahu akibatnya karena telah menolak diriku. Kau akan hidup penuh kesengsaraan, kau akan hidup menderita.” ancaman Xavier untuk ku mungkin bukan main-main, Xavier benar-benar terlihat sarkas saat mengancam ku.
Saat tangan Xavier masih mencengkram dagu ku, sosok adik ku terbangun dan dia sangat marah saat melihat apa yang dilakukan oleh Xavier.
“Lepaskan kakak ku,” teriak Aline sembari mencoba melepaskan tangan Xavier dari dagu ku, Aline pun tanpa sengaja mendorong tubuh Xavier hingga tubuhnya jatuh dan terdampar di sebuah tangga.
“Aline tenanglah,”
“Tidak kakak,” tolak Aline, “dia sudah sangat lancang dalam memperlakukan kakak, siapa dia? Berani- beraninya melakukan hal itu terhadap kakak.” tukas Aline penuh dengan amarah.
“Aline, tolong tenanglah sayang,”
Aline menggelengkan kepalanya dengan pelan, ia menatap kearah Xavier. Seorang assisten pribadi Xavier pun membantu Xavier untuk berdiri kembali, “Pergilah, kalau tidak aku akan berteriak dan memberitahu semuanya.” ucap Aline dengan lancang.
“Mereka semua akan menghajarmu Tuan,” ancam Aline kembali.
“Pergilah Tuan Xavier, Aku mohon.” ucapku sembari meneteskan air mata, jujur saja, aku tidak mau terjadi keributan disini. Apalagi kami baru saja mengantarkan ayah ketempat istirahat terakhirnya, Xavier melihat sekeliling rumah kami, ia pun kembali menatap lekat wajah Aline dan beralih menatap wajahku.
Lalu setelah itu, Xavier memilih pergi meninggalkan kami. Aline memeluk ku dengan erat, Aline benar-benar merasa risau karena merasa khawatir dengan apa yang di lakukan oleh Xavier.
“kakak Kita pindah saja, kita bisa tinggal dengan Kakek Ramon. Ku mohon,” ujar Aline, air mata ku menetes memikirkan nasib yang di alami oleh ku dan juga Aline. Lagi dan lagi aku memikirkan kejahatan ibuku, jika saja ibu tidak meninggalkan kami, mungkin saja hidup kamu tidak akan menderita seperti ini.
“Nanti akan kakak pikirkan lagi Aline, ayo kita masuk saja.” ajak ku kepada Aline, aku berjalan masuk kedalam rumah sembari merangkul tubuh Aline.