Saat ini tubuh Ayah sedang terbujur kaku di hadapanku, Entah mengapa aku merasa sudah ikhlas walaupun hatiku sangatlah sakit melihat tubuhnya yang kini sudah rapi memakai jas dan wajah yang sudah terhias. Kakek Ramon adalah teman Ayah, ia sudah seperti kakek ku sendiri. Ia tinggal di suatu tempat yang lumayam jauh dari tempatku tinggal, saat itu aku meminta Morin untuk memberitahunya dan Kakek Ramon datang untuk menjadi perias ayah.
“Ina,” panggil Kakek Ramon dengan pelan sembari menarik tanganku, ia menggenggam tanganku lalu menangis dihadapanku.
“Ikutlah dengan Kakek dan bawa Adik mu,” ucapnya, pandangan ku tetap lurus ke arah tubuh ayahku yang kini sudah tertidur tenang di dalam sebuah peti.
“Kamu disana bisa berladang menemani kakek,” ucapnya kembali.
Aku menoleh dan menatap wajahnya, aku melihat kerutan di dahinya seakan ia sudah sangat lelah untuk mencari nafkan demi bertahan hidup untuk dirinya sendiri. Tetapi, aku tidak bisa ikut dengannya. Banyak sekali hutang yang harus ku bayar, bukan bekas ayah ku melainkan sisa uang yang pernah di pakai oleh ibuku.
Nama ayah sudah masuk daftar blacklist sebuah Bank, walaupun sebenarnya ayah tidak mengetahui dimana uang itu dihabiskan olehnya. Karena yang kami tahu, ibu tidak pernah memberikan uang kepada kami walaupun kami menahan lapar karena menunggu Ayah pulang.
“Ina, pikirkan saja dulu. Jika kamu mau, nanti Kakek jemput kamu lagi.”
“Iya kakek,” jawab ku singkat.
Semua pelayat sudah selesai melayat jenazah ayahku, kini waktunya kami mengantarkan ayah ke tempat peristirahatan terakhirnya. Begitu terkejut diriku sendiri atas kehadiran Xavier, ia datang dengan rangkaian bunga berukuran super besar. Lalu ia menghampiri Morin dan Kakek Ramon, ia menjabat tangan kakek Ramon dan bersikap ramah kepadanya.
Adik ku seakan mengenali sosok Xavier, ia menilik wajah lelaki berusia empat puluh enam tahun itu. Ia menatap ku, “Lelaki itu tadi siang datang, ia beralasan ingin mencari rumah seperti rumah kita.” ucapnya dengan pelan seakan berbisik di telingaku, aku mencoba tak memahaminya. Aku fokus dengan orang-orang yang bersiap untuk mengantarkan Ayah ke tempat istirahat terakhirnya, namun sosok Xavier tak melepaskan pandangannya dan aku merasa tidak nyaman saat mengetahui hal itu.
Aku menghampiri Morin, lalu menarik tangan Morin dan mengajaknya menuju dapur, “Papi, kenapa memberitahu dia?” Aku mendecih kesal saat mengatakan hal itu, namun Morin mengerutkan dahinya dan menggelengkan kepalanya dengan pelan.
“Aku tidak memberitahu nya Ina,” jawab Morin seraya meyakinkan ku.
“Lantas mengapa dia datang kembali?” tanya ku kembali.
“Entahlah, aku pun tak tahu mengapa dia tahu rumah mu.” ujar Morin.
Aku menumpukkan kedua lenganku di atas d**a, aku merasa kesal karena dia terus menerus mengejarku.
“Papi, tolong aku. Aku tidak menyukai dia,” keluh ku kembali.
Morin memegang kedua bahu ku, “Tapi kehidupan mu akan berubah jika kau mau menikah dengan nya,” ucap Morin sembari menatap mataku dengan lekat.
Helaan napasku terasa berat, “Tidak, aku ingin menikah atas dasar cinta dan suka sama suka. Bukan karena harta dan kedudukkan, aku rela menderita Papi, asalkan tidak bersama dengan lelaki tua itu.” tutur ku kembali.
“Zalina, izinkan aku menjadi pengganti ayahmu dan aku sangat yakin dia sangat mencintai mu.” ucapnya kembali.
“Tidak.” balasku dengan tegas saat itu juga, “Apa kau sedang mencoba membujuk ku? Apa semua ini permintaan lelaki tua itu?” tanya ku kembali, aku menatap nya dengan tatapan yang sangat tegas. Aku harap dia tidak sedang berusaha membuatku menjadi istri dari lelaki tua itu, Morin menundukkan kepalanya.
“Aku hanya ingin mengubah kehidupan mu Ina,” jawab Morin, wajahnya sendu dan menahan kesedihan. Aku tahu dia sedang tidak berbohong, bahkan kali ini aku melihat bahwa Morin adalah sosok lelaki yang aku kenal 4 tahun lalu.
Ehemmm
Suara deheman itu membuat ku terkejut, aku menoleh kearah suara itu dan benar, sosok Xavier sudah ada di hadapan kami.
“Ada apa kau kemari?” tanya ku sembari menatap nya dengan tatapan sinis, ia berjalan menuju tempat kami berdiri lalu ia menatap ku dengan tatapan yang sangat lekat dan tak lupa memberiku sebuah senyuman.
“Aku kesini untuk calon ayah mertua ku, bukankah menantu yang baik datang untuk memberikan penghormatan terakhir?”
“Dengan percaya dirinya anda mengatakan hal itu? Dengar tuan, sampai kapanpun aku tidak akan mau menjadi istri dari lelaki tua seperti anda.”
“Zalina,” ucap Morin yang mencoba menyadarkan ku, namun tangan Xavier menghentikan ucapan Morin.
“Biarkan saja Tuan Morin, sudah biasa bukan jika wanita awal bertemu seperti ini?” tanya nya kembali dengan percaya diri, aku tetap tak melepaskan pandangan mataku terhadap matanya. Aku benar-benar kesal saat melihat wajahnya, rasanya ingin aku cabik-cabik mulutnya yang sedang berbicara dengan ku.
“Kakak,” panggil Aline dari luar sana, “Kakak Ina,” panggilnya kembali.
“Iya Aline, kakak disini.” sahut ku, tak lama kemudian Aline datang menghampiri ku. Ia terkejut dengan kehadiran Xavier dan Morin yang berdiri dihadapanku, ia menatap ke arah wajah mereka.
“Mmm-mmmm” matanya seakan terlihat sedang memikirkan sesuatu, “Mmm, semua sudah siap.” ucap adik ku, aku mengangguk dan menarik tangannya lalu berjalan meninggalkan mereka yang masih berdiri mematung di dalam dapur.
Di dalam dapur, Xavier masih saja menatap wajah Morin. Morin mengangkat kedua bahunya, “Zalina adalah sosok gadis yang keras dan kuat, ia tak akan bisa di kalahkan dan aku sangat tahu akan hal itu Tuan.” ucap Morin.
Xavier melangkahkan kakinya satu langkah kedepan, “Aku tidak peduli.” Morin tak mampu menatap wajah nya, ia menundukkan kepalanya saat Xavier mengatakan hal itu. Xavier menyelipkan tangannya kedalam kedua sakunya, lalu berjalan meninggalkan sosok Morin dalam suasana ketegangan.
Semua sudah bersiap untuk mengantarkan Ayah, aku menggenggam tangan Aline dan merangkulnya dengan satu tangan lainnya. Aline cukup berduka dengan kepergiaan ayah dan jika bertanya bagaimana dengan aku, aku pastikan aku pun merasa berduka. Namun di sisi lain, aku merasa jika hatinya merasa lega. Aku tahu sendiri bagaimana penderitaan ayahku, aku tahu bagaimana ayah berjuang menyembuhkan luka dihatinya bahkan fisiknya.
Dan saat ini aku yakin ayah sudah bahagia, aku berjanji akan menjaga Raline ayah, aku berjanji akan tetao menjaga diriku sendiri. Aku berjanji akan menjadi anak yang sangat berbakti kepadamu, walaupun kau sudah tiada.
Langkah kakiku semakin berat saat kakiku sampai di tempat pemakaman ayah, rasanya ingin sekali menjerit dan meronta karena beberapa saat lagi mereka akan benar-benar memasukkan peti ayah.
“Ayaaaaaahhhhh,” Aline terdengar berteriak saat mereka mulai memasukkan peti jenazah milik ayah.
“Aline, sabarlah.” ucapku sembari memeluk adik ku satu-satunya, “Ayah pasti bahagia Aline, ayah akan lebih bahagia di saat anak-anaknya mengikhlaskan kepergiaannya.”
Tangisan Aline terdengar terisak menahan rasa sedih nya, “Aku belum mampu membahagiakan ayah Kakak,” ia bergumam lirih, ia pun memeluk ku dengan erat.
Mereka membacakan sebuah doa-doa untuk langkah ayah agar langkahnya ringan seringan kapas, Kakek Ramon juga memberikan ucapan terimakasih nya sebagai perwakilan dari keluarga.
Setelah acara pemakaman selesai, beberapa pelayat yang mengantarkan ayahku pun mulai berpamitan untuk pulang. aku duduk di samping pusara ayah. Aku dan Aline, saling menguatkan satu sama lain.
Morin menepuk bahu ku, “Aku tunggu di mobil bersama Kakek Ramon,” ucap Morin, aku mengangguk mengiyakan ucapan Morin lalu kembali menatap pusara ayahku.
“Kakak,” panggil Aline.
“Iya Aline, kenapa?”
“Kenapa Kakak tidak bersedih dan menangis seperti ku?” tanya nya.
“Alasannya, karena aku tahu ini semua yang terbaik untuk ayah dan aku yakin ayah sudah bahagia disana.” jawab ku, “Walaupun sebenarnya aku sedang menutupi rasa sakitku, hatiku sakit Aline. Aku pun berpikir sama dengan mu,” tambah ku.
“Aku belum bisa memberikan kebahagiaan kepada ayah, tetapi aku yakin dengan kepergian ayah saat ini, membuatnya sedikit mengurangi beban di hatinya.” ucap ku kembali.
“Aline dengarlah, kita pasti merasakan bahagia dan sedih yang datang silih berganti. Bahkan ada kalanya di waktu yang sama, tetapi yakinlah semua atas izin dari Tuhan.” Aku mengusap lembut ujung kepalanya, lalu aku mengecup tangannya.
“Tolong bantu kakak ya,” Aline mengangguk, “Bantu kakak dengan menjadi Aline yang baik dan penurut,” ucapku kembali. Aline tersenyum dan kami memutuskan untuk segera pulang karena sepertinya hujan akan segera turun.
Namun saat kami berjalan bersama, sosok Xavier terlihat berjalan menghampiri langkah kaki kami. Ia tersenyum dengan sangat manis, “Aline, bolehkah kakak berbicara dengan kakak mu?” tanya nya dengan wajah yang sangat ramah.
Aline mengangguk namun sepertinya Aline merasa aneh dengan sosok Xavier ini, dia mengatakan kakak dengan usiannya yang terlihat seperti sosok ayah ku.
“Kakak, aku menunggu di mobil Papi Morin.” ucap Aline.
“Tidak Aline, kau tetap disini saja.” ucapku dengan tegas, aku memegang lengan atas tangan adik ku. Aku mencoba menghentikan langkah Aline, setelah itu aku menatap wajah Xavier.
“Ada apa?”
“Aku ingin berbicara mengenai niat baik ku,”
“Niat baik?”
“Ya,”
“Niat baik apa?”
“Untuk menikah dengan mu!”
Aku mengerutkan dahi ku, “Bisa-bisa nya anda mengambil kesempatan di saat suasana kami sedang berduka!” Aku menggelengkan kepalaku dengan pelan, “maaf Tuan Xavier, usia ku masih muda dan aku masih ingin bekerja.”
“Kau boleh bekerja dengan ku,”
“Tidak dan terimakasih atas tawaran mu.”
“Maaf Zalina, apa kau akan selamanya bekerja di Bar itu?” tanya nya sembari menatap wajah adik ku, “Mmm-mmm bukankah..”
“Maaf Tuan, apa salah nya jika kakak ku bekerja bernyanyi seperti itu? Bukankah dirimu yang ingin mengotori kakak ku? Dan kakak ku mencoba mempertahankan kehormatannya, bukankah seperti itu?” ucap Aline dengan memberikan tatapan yang sangat sarkas.
Aku cukup terkejut dengan kalimat yang ditanyakan olehnya, setahuku Aline tidak tahu akan hal itu dan aku pun belum sempat menjelaskannya. Namun sepertinya Aline mendengar percakapanku dengan Joana saat Joana menginap dikamarku, aku menundukkan kepalaku dan menahan air mata yang ingin jatuh menetes membasahi pipi ku.
“Aline, ayo kita pulang.”
“Sebentar kakak, sepertinya aku harus memberi pelajaran yang sangat berharga untuk Bapak tua ini.”
“Maksud mu?” tanya Xavier, “Jaga gaya berbicaramu nona muda, kau tidak tahu jika..”
“Jika apa? Siapa dirimu tuan? Aku tidak peduli siapa dirimu, aku hanya meminta agar kau berhenti mengganggu kakak ku.”
“Aline, sudahlah. Ayo kita pulang,”
“Sebentar!” Pinta Aline, “Seseorang yang berwawasan tinggi akan sadar siapa dirinya, bagaimana perlakuannya dan seberapa pintar dirinya.” ucap Aline.
“Bukankah anda seseorang yang pintar menilai kakak ku? Lantas mengapa kau ingin menikahinya,” ucap Aline kembali.
Akupun menarik lengan Aline, jujur saja aku cukup takut dengan tatapan yang di berikan Xavier. Bagiku, tatapan itu sangatlah mematikan.