Zalina ~ Part 4

1710 Words
Keesokan harinya, temanku yang semalam ikut menginap dirumahku berpamitan untuk pulang. Ia cukup pagi pulang, alasan nya karena dia akan menjemput kekasihnya yang baru saja datang dari luar kota. Dan Pagi itu Ayahku terbangung dan sepertinya ayahku mencariku, suara kecilnya membuat ku tak mampu mendengar. sudah 4 tahun ayah sakit, seluruh badannya tak mampu ia gerakan dan itu berawal dari kepergiaan ibuku dengan kekasihnya, Ibu pergi tak hanya meninggalkan luka di hati ayah. Tetapi, ibu juga meninggalkan kami dan segudang cerita tanpa harta milik ayah. Ibu menguras habis, ibu pun menghina ayah dan juga kami. Entah mengapa ibu bersikap seperti itu kepada ayahku, yang aku tahu ia sangat baik dulu. Saat mengandung Aline pun, ibu terlihat sangat antusias. Aku berlari saat mendengar suara gelas jatuh dari kamar ayah, “Ayah sayang kenapa?” tanya ku pada ayah. “Za-li-na,” ucap Ayah seraya terbata-bata, suaranya sangat pelan. Sebenarnya aku sudha memberikan Bel untuk ayah gunakan saat memanggilku dan Aline, namun mungkin ayah lupa. Karena memang begitu adanya, aku menatap wajah nya dengan lekat lalu, aku kecup keningnya. Aku pun bertanya balik padanya, “Kenapa ayah?” “A-yah in-ngin kau menikah segera.” ucapan ayah cukup mengejutkan ku sebagai wanita yang tidak memiliki kekasih apalagi calon suami. “Mmm, Iya Ayah. Nanti Ina cari dulu calon suami ya,” ucap ku dengan wajah yang masih terlihat terkejut, napas ku merasa tersengal karena mendengar permintaan ayah. Ayah ku mengedipkan matanya, “Nanti jam 2 siang, Ina temani terapi ya. Dokternya baik dan cantik, dia selalu menyemangati Ina supaya mau membujuk ayah melakukan terapi.” Ayah ingin menjawab, namun mungkin rasa lelah itu hinggap hingga gelengan kepala yang pelan menjadi jawabannya. Ayah ku yang tampan nan gagah kini terbaring lemah, terkadang aku merasa lemah di saat melihat keadaannya. Sakit hatiku, ya jelas. Aku merasakan rasa sakit itu. Sakit karena melihat ayahku yang masih mengingat betapa sakitnya pengkhianatan dari ibuku dan selama empat tahun ini, ibu tidak pernah menjenguk ku. “Ayah, Ina memasak dulu ya. Sebentar lagi Aline pulang sekolah, kalau tidak ada makanan, nanti dia marah sama Ina.” Ayah mengedipkan kembali matanya, aku pun berjalan menuju pintu untuk keluar dan memasak. Ayah ku kembali memanggilku, “Za-li-na.” “Iya Ayah?” sahut ku sembari menoleh kearahnya. “Te-ri-ma ka-sih,” ucap nya sembari meneteskan air mata. Aku menahan air mataku, aku mengangguk dan tersenyum di hadapannya. aku segera pergi meninggalkan ayah ku, aku berjalan dengan tangisan yang terisak. “Ayah, maafkan Zalina ayah.” ucapku sembari menangis terisak. Rasanya sakit sekali melihat ayah selalu kesulitan di saat memanggilku, aku rindu dipeluk olehnya, aku rindu bercanda tawa bersama ayah dan juga Aline. Aku rindu itu semua, aku rindu. Air mata ku terus mengalir dari mataku, tak lama kemudian aku mendengar suara ketukan pintu dari luar rumah ku. Aku pun berjalan menuju pintu utama itu, aku kira adik ku Aline sudah pulang. Namun ternyata, sosok Xavier datang menghampiriku di rumah. Awalnya aku tak ingin membuka pintu rumah ku itu, namun aku tidak mau ada keributan di dalam rumah ku. “Ada apa kau datang menemui ku?” tanya ku padanya, “Dan darimana kau tahu rumahku?” tanya ku kembali. “Selamat siang Nona,” “Tidak perlu basi-basi,” ucapku tegas. “Belajarlah lebih sopan nona muda,” ucapnya. “Bukannya seharusnya aku yang mengatakan hal itu? Kau yang seharusnya belajar lebih sopan, kau seharusnya lebih bersikap manis Tuan.” jawab ku dengan lantang. “Bolehkah aku masuk Nona?” “Tidak, tidak boleh.” sahut ku. “Mengapa?” tanya nya. “Adik ku sebentar lagi pulang, dan ayah ku bisa terganggu dengan hadirnya dirimu. Jadi aku minta dengan sangat, tolong berhenti menemui ku. Karena mu lah aku kehilangan pekerjaan ku, kau sudah membuat aku memiliki masalah dengan Morin.” jelas ku pada nya, entah mengapa melihat wajah nya aku merasa kesal dan mengingat sikap nya padaku membuat hati ku mendongkal. “Aku kesini datang untuk memberi mu uang, semalam kau tak membawa uang dariku kan?” “Tidak, aku tidak sudi membawa uang dari tangan ku Tuan tua.” “Apa aku terlihat tua?” “Ya, apa kau tak menyadarinya.” “Baiklah, aku akan meninggalkan uang itu di sini.” Sebuah koper ia tinggalkan di hadapan ku, ia pergi dari hadapan ku. Assisten atau pengawalnya itu sudah menunggu di depan mobil, aku membawa koper itu lalu berlari ke hadapannya. “Tuan, bawa saja daripada aku buang ke tong sampah besar di samping jalan raya sana.” ucapku dengan lantang kembali, “aku tidak membutuhkan uang mu!” ucapku penuh amarah. “Baiklah, kalau begitu. Aku meminta mu untuk kembali bekerja di tempat Morin,” ucapnya. “Tidak mau, aku tidak mau di jual lagi. Dia sudah mencoba menjualku kepada mu,” “Kau salah paham, Morin memang mengijinkan ku untuk mengajakmu di sebuah room. Akan tetapi, dia tidak tahu jika aku mengajak ku bercinta.” “Tetapi saat itu kau mengucapkan bahwa dirimu membayarku mahal pada Morin,” “Aku memang membayar mu mahal,” “Mengapa?” tanya ku padanya, kerutan di dahi ku semakin terlihat. Aku tak mengerti dengan jawaban dari bibirnya itu. “Karena aku menyukai mu Zalina,” akunya pada ku, “aku tidak akan berhenti mengejarmu, kau berbeda dengan istriku. Kau sangat cantik dan terlihat segar Zalina,” “Dengar Tuan, kau sama sekali bukan tipikal ku. Jadi tolong berhenti mengejarku atau..” “Atau apa? Kau belum mengenal siapa Xavier Alessio, seorang lelaki kaya raya yang bisa saja melakukan apapun. Termasuk mendapatkan mu,” tuturnya dengan angkuh semakin membuatku tidak menyukai dirinya. Aku mendecih kesal mendengar semua perkataannya, aku mendelikkan mataku kearahnya dan beringsut pergi dari hadapannya. “Zalina,” panggilnya untuk ku, “Aku akan membuat mu menjadi istriku,” “Tidak tahu diri, usia mu dan usia ayahku sama. Tidak akan mungkin aku memiliki suami yang juga seperti usia ayahku, berhentilah bermimpi Tuan.” “Dan aku akan terus bermimpi hingga benar-benar mendapatkan dirimu Zalina,” ucapnya membalas kalimat yang aku berikan. “Dasar tidak tahu diri,” aku berjalan dengan sedikit mempercepat langkah ku untuk masuk kedalam rumah ku. saat aku masuk, suara Aline terdengar berada di luar. “Halo, apakah anda mencari seseorang di dalam rumah ini?” tanya Aline pada Xavier. “Mmm, tidak nona. Sepertinya aku sedang mencari rumah tua seperti ini untuk aku jadikan koleksi rumah ku,” jawaban Xavier terdengar berbohong kepada Aline. “Oh, tapi kami tidak berniat menjualnya. Maaf Tuan,” ucap Aline sembari tersenyum, ia pun masuk kedalam rumahku dan saat ia masuk, ia melihat ku sedang berdiri di hadapan kaca. “Kakak kenapa?” tanya nya, ingin sekali aku jujur kepada nya tentang siapa dia dan mengapa aku membencinya, tetapi nanti Aline malah mengolok-olok ku “Mmm- tidak Aline,” jawab ku sedikit terbata-bata, “Ya Tuhan, aku kan sedang memasak.” ucapku mengalihkan pembicaraan bersama Aline, aku segera berlari menuju dapur dan perlahan mengacak-acak dapur agar terlihat seakan aku sedang memasak. Sepertinya Aline memang tidak mencurigaiku, aku segera memasak untuk Aline makan, kasihan dia sepertinya dia tidak memakan apapun di sekolah. Karena tadi pagi dia tidak meminta uang kepada ku, bahkan sejak kemarin dia tidak merengek apapun kepada ku. “Kakak, Kakak,” panggilnya dari dalam kamar ayah, aku segera berlari untuk melihat keadaan ayahku. Betapa terkejutnya diriku saat melihat keadaan ayah yang terbujur kaku di dalam kamar, Aline menangis memeluk ku. “Ayah meninggalkan kita kak,” “Tidak Aline, ayah sedang tertidur.” ucap ku menukas ucapan Aline, aku mencoba mengecek keadaan ayah ku. Benar, ayah tidak bernapas sama sekali. Aku menangis dan segera memberitahu Morin, walaupun aku kesal kepadanya, tetapi Morin cukup kenal dengan adik dan ayahku. Bahkan saat ayah harus masuk kedalam rumah sakit, sosok Morin lah yang selalu membantu ku. Akupun sempat merasa bahwa dirinya selalu siaga menjadi pengganti ayah padaku, makadari itu aku merasa kesal dengan kejadian semalam. Sebelumnya ia menghubungi ku, namun aku tak menerima panggilan darinya dan saat ini aku mencoba menghubunginya. Memberitahu Morin keadaan Ayahku yang sudah tak bernyawa, satu tangaku memeluk Aline yang menangis dan tak menerima keadaan ini dan satu tanganku mencoba memegang ponsel untuk menghubungi Morin. Walaupun sebenarnya seluruh tubuhku bergetar karena tak kuasa menerima semua ini, aku benar-benar merasa tak menyangka bahwa ayah pergi meninggalkan kami secepat ini. Cukup lama dan mungkin sudah tiga kali aku mencoba menghubungi Morin, namun Morin tak menerima panggilan dari ku. Setelah empat kali aku mencoba menghubunginya, ia pun menerima panggilan dariku. “Halo,” “Halo, Zalina maafkan Papi.” “Papi, kemarilah. Sepertinya ayah sudah tidak bernapas,” “Maksud mu?” Tanya Morin. “Ayahku, Papi. Ayahku,” ucapku dengan isakan tangis yang terdengar sangat kuat. “Kau menangis? Ada apa dengan ayah mu?” tanya nya kembali. “Ayah di temukan sudah tidak bernapas, aku bingung harus berbuat apa Papi.” ucapku kembali. “Aku akan segera menemui mu Zalina, tenanglah. Tunggu Papi ya,” ucap Morin yang mencoba menenangkan ku, aku juga mencoba menghubungi dokter yang selama ini merawat ayah. Beliau segera mendatangi ku, setelah tiga puluh menit menunggu kedatangan mereka, akhirnya mereka datang dan segera melihat keadaan ayah. Dokter Sheila namanya, ia menatap wajahku dengan tatapan yang sangat pilu. “Ayah mu sudah meninggal satu jam yang lalu,” ucapnya, satu jam yang lalu, itu artinya sesaat setelah aku keluar dari dalam kamarnya. Tatapan lekat saat ia memanggilku sembari meneteskan air mata itu lah tatapan terakhir yang diberikannya untuk ku, ayah maafkan Zalina hanya itulah yang bisa aku ucapkan saat ini. Aku menangis begitu juga Aline, Morin dan Dokter Sheila bergantian menguatkan aku dan memberikan pelukan untuk ku. “Bagaimana kami menjalani hidup tanpa adanya ayah?” ucapku lirih, “Ayah maafkan Zalina,” ucapku kembali. “Kakak, ayah masih hidupkan? Ini cuma permainan ayah saja, sebenarnya ayah sudah bisa berjalan kan? Ini hanya sebuah kejutan dari ayah kan?” Racau adik ku Aline, aku memeluknya erat. Mengusap lembut punggung nya dan membuatnya merasa tenang, namun Aline jatuh pingsan dan membuatku semakin merasa khawatir terhadapnya. Morin menggendong Aline dan merebahkan tubuhnya di atas sofa yang berada di ruang tamu ku, sementara itu aku mencoba meminta bantuan Dokter Sheila untuk mengurus jenazah ayah dan Dokter Sheila segera menghubungi pihak rumah sakit untuk meminta petugas yang bertugas memandikan jenazah untuk mengurus jenazah ayah. Rasanya hancur, dunia seakan gelap untuk ku saat harus aku akui bahwa hari ini dan selamanya tak ada sosok ayah di dalam hidup kaki. Rasa nya benar-benar hancur saat aku akui bahwa kini aku harus benar-benar menjaga diriku dan juga adik ku seorang diri, walaupun sebenarnya empat tahun kebelakang aku sudah melakukan hal itu seorang diri. “Ayahhhh..” teriak ku dalam tangisan, entah mengapa rasanya sangat berat. Dokter Sheila kembali mencoba menenangkanku, ia memeluk ku. “Zalina, dengar. Kau tidak sendiri, ada aku. Anggap aku seperti ibu mu, anggap aku keluarga mu.” ucapnya sembari memeluk ku. “Ayah Dok, ayah baru saja meminta ku segera menijah dan ternyata itu sebuah pertanda bahwa ayah akan pergi meninggalkan aku.” ucapku dalam tangisan, entah sampai kapan aku menangis meratapi nasib ku dan adik ku. Aku merasa sangat sial saat ini, aku merasa kesialan hinggap di dalam hidupku. Terngiang dengan jelas, terngiang sekali panggilan-panggilan Ayah untuk kami. Terngiang dengan jelas apapun yang sudah kami lewati bertiga, bahkan terngiang jelas masa-masa indah bersama ibu ku saat mereka masih sama-sama baik. "Ayaaaah mengapa kau meninggalkan kami secepat ini, sungguh Zalina tidak akan mampu hidup tanpa Ayah." Lirihku dalam pelukan Dokter Sheila.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD