Bab 9: Oscar Murka

1556 Words
*** “Duduk.” Suara Morgan terdengar dalam dan mantap, disertai gerakan tangannya yang masih menggenggam pistol. Ia mengisyaratkan sang cucu untuk kembali ke tempatnya. “Kita belum selesai bicara. Duduklah.” Tegasnya sekali lagi. Namun Oscar tetap bergeming. Tidak bergerak. Tidak juga menurunkan pandangannya. Yang hanya menurut adalah Lucas—ia bergeser perlahan, lalu kembali duduk di kursinya semula, meski matanya tetap awas mengamati putranya. Sedangkan kursi milik Oscar … sudah tidak lagi berada di tempat. Benda itu telah ditendang jauh oleh pemuda itu, menghantam meja hingga beberapa benda jatuh berserakan. “Aku tidak akan menikahi wanita itu.” Oscar mendesis, nadanya tajam, nyaris seperti geraman. Tatapannya menusuk lurus ke arah kakeknya—dingin dan mematikan. “Dan kau tidak bisa menolak,” jawab Morgan tenang, namun dingin. Rahang Oscar mengeras, tangannya mengepal semakin kuat. “Kau tidak berhak memaksaku seperti ini, Grandpa!” suaranya meninggi, penuh amarah yang nyaris tak terkendali. “Tidak semua kehendakmu harus aku turuti. Kau pikir aku ini boneka, hah? Kau pikir aku tidak punya perasaan? Tidak punya hak untuk menentukan hidupku sendiri?” Nada suaranya menggelegar, memantul di setiap sudut ruang. Lucas terdiam, menghembuskan napas berat. Kepalanya mulai berdenyut, sementara dengungan di telinganya kian menjadi akibat suara putranya yang menggelegar. “Tidak cukupkah aku berdiri di sini sebagai pemimpin. Sebagai penerusmu. Apakah aku juga harus membiarkan kehidupan pribadiku kau acak-acak sesuka hatimu!” Suasana menegang kembali—lebih dari sebelumnya. Suara Oscar menggema, memekakkan telinga siapapun yang mendengar. Lucas tak berkata apa pun. Bukan karena takut, tapi karena ia tahu—putranya itu kini sedang berada di puncak kemarahan. Jika sudah begini, maka siapapun tidak akan bisa menghentikan lelaki itu. Morgan masih diam. Tatapannya tak bergeming, tak sekalipun memotong atau menyela. Seolah sengaja—memberi ruang bagi sang cucu menumpahkan semua yang selama ini dipendam. Oscar berdiri tegak. d**a bidangnya naik turun oleh napas berat, rahangnya mengeras. “Aku diam selama ini.” Suaranya bergetar—bukan karena takut, tapi karena amarah yang sudah terlalu lama tertahan. “Sejak aku masih remaja, kau sudah mengatur segalanya. Bahkan langkah kakiku pun tak pernah lepas dari kendalimu. Aku diam, aku mengalah.” Ia menatap lurus ke mata kakeknya, sorotnya tajam. “Tapi bukan berarti aku akan membiarkanmu selamanya seperti ini, Grandpa!” “Kau semakin keterlaluan! Semakin tua kau semakin menyebalkan! Semakin kau di beri panjang umur Tuhan semakin kau memuakkan!” “OSCAR!” hardik Lucas dengan membentak keras putranya. Pria paruh baya itu mengangkat kepala—dia mendongakkan wajah ke putranya. Menatap tajam lelaki itu. Namun, yang di tatap seolah tak peduli. “Biarkan, Son. Biarkan cucu jagoanku bicara,” ujar Morgan sembari melirik ke putranya sekilas sebelum kembali memusatkan pandangan ke cucunya. Mendengar itu, bukannya meredakan amarah Oscar—justru makin menyulutnya. Tatapannya tajam memicing ke arah sang ayah. “Kau lihat? Lihat betapa menyebalkannya ayahmu itu, Dad?” ujarnya dengan nada menyindir. “Sekarang, jawab aku jujur … apa kau benar-benar tidak pernah stres menghadapinya, huh?” Desisnya pelan, tapi penuh racun. Lucas tetap diam. Hanya sorot matanya yang berbicara—tajam, penuh beban, dan untuk pertama kalinya, seolah mengiyakan kata-kata putranya. Sang ayah memang menyebalkan. Sementara itu, Oscar kembali fokus menatap tajam ke arah sang kakek. “Kau bahkan ikut campur dalam hidup pribadiku. Kau menyiapkan seorang wanita. Menyiapkan istri untukku—seolah yang akan menjalani hidup ini bukan aku, tapi kau!” Suasana ruangan makin memanas. Tapi Morgan tetap diam. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah napas berat Oscar dan dentingan pelan dari jam tua di sudut ruangan. Lucas menunduk sebentar, menarik napas panjang. Ia sendiri tak yakin—haruskah ikut campur, atau tetap diam? “Aku tidak suka dikendalikan seperti ini! AKU TIDAK SUKA! APAKAH KAU DENGAR, MORGAN GREY KINGSTON?!” teriak Oscar dengan suara menggelegar. “Aku mengendalikanmu demi kebaikan,” suara Morgan akhirnya terdengar, tenang namun penuh tekanan. “Demi kebaikanmu dan kebaikan kita semua. Aku tidak bermaksud egois, Son.” Oscar mendecih. Nada jijik menyertai ekspresi sinisnya. “Kalau kau benar-benar melakukannya demi kebaikanku, aku dan Cassie tidak akan berpisah.” Morgan tertawa pendek. Tawa tanpa suara, yang membuat suasana semakin menyesakkan. Ia menoleh sejenak, menyapu ruangan itu dengan tatapan kosong. Lalu, dengan suara rendah, ia bergumam, “Cassie, lagi…” Anggukannya pelan namun penuh makna. Seolah dia muak sekali karena sang cucu terus membahas hal itu—gadis itu. “Oscar … kandasnya hubunganmu dengan Cassie tidak ada kaitannya denganku. Aku tidak pernah melakukan apapun terhadap gadis itu. Juga tidak pernah mengatur jalan ceritamu dengan dia. Dan semua orang tahu itu.” Tatapan Morgan kini mengunci pandangan cucunya. “Kalian berdua yang memilih untuk berpisah. Itu keputusan kalian. Kau tidak bisa melemparkan semuanya kepadaku hanya karena kau gagal mempertahankannya.” Suaranya menekan. Lalu, kalimat berikutnya menghantam telinga Oscar seperti palu godam. “Dan gadis malang itu, yang sampai hari ini duduk di kursi roda … itu karena kau, Oscar.” “DIAM!” Bentakan Oscar meledak di ruangan itu. Serak, nyaring, penuh emosi yang tak lagi bisa ditahan. Wajahnya memerah, matanya memerah, dan napasnya memburu seperti hendak menerjang siapa pun yang bicara lagi. “Itu kenyataan yang harus kau terima, Son,” ujar Morgan tanpa goyah. “Dad, hentikan,” Kali ini Lucas bersuara, suara beratnya terdengar lebih seperti peringatan. “Cukup, jangan lanjutkan.” Namun Morgan hanya menatap sekilas. Tidak ada tanda bahwa pria tua itu akan berhenti. Justru ia menatap sang cucu dengan sorot tegas, seperti menyampaikan bahwa semua ini memang harus dihadapi—dalam bentuk paling menyakitkan sekalipun. Sementara itu, tubuh Oscar tegang, rahangnya mengeras, dan napasnya mulai memburu. Seolah satu kata tambahan saja bisa memicu ledakan yang akan menghancurkan seluruh isi ruangan. Morgan pun melanjutkan, dengan suara rendah namun menghujam dalam. “Aku sudah mengingatkanmu. Sejak awal, sejak kau mulai menyimpan perasaan terhadap Cassie. Aku bilang—kuburlah itu dalam-dalam. Jangan lanjutkan karena semuanya sia-sia. Tapi kau keras kepala. Kau tidak mendengarkanku.” “Jika pernikahan ayahmu berhasil dipertahankan dengan Brianna Alexander’s, itu karena ayahmu tidak seperti dirimu. Kau—kau terlampau gila, dan Cassie … ah, gadis itu adalah Michael Alexander’s versi wanita. Bukan versi Jihan. Itulah yang membuat kalian tidak bisa bertahan dan … hanya bisa saling menyakiti saja.” Oscar menggertakkan gigi. Jemarinya terkepal di sisi tubuh. Belum selesai rupanya—pria tua itu kembali melanjutkan. “Waktu itu, aku bahkan sempat berpikir untuk menyerah dan membiarkanmu bersamanya—kemudian nanti akan lahir penerus yang lebih gila dari Oscar Grey Kingston.” Morgan menghela napas pelan. “Sampai akhirnya … kecelakaan itu terjadi. Dan ya, itu karena kalian berdua. Bukan aku. Bukan siapa pun. Hubungan kalian memang tidak sehat sejak awal.” “Kau dan Cassie—sama-sama keras kepala, sama-sama emosional, tidak bisa saling mengimbangi. Dan lihat apa hasilnya sekarang. Lihat apa yang terjadi padanya. Kau berdiri di sini dengan tubuh yang segar dan bugar—sedangkan Cassie yang malang hanya bisa duduk di kursi rodanya.” Oscar menggeleng pelan, tubuhnya mulai bergetar. Namun Morgan tetap bicara, lebih pelan, lebih berat. “Aku pun tidak ingin Cassie berakhir seperti ini. Dia ibarat cucuku sendiri. Aku menyayanginya sama seperti aku menyayangimu. Tapi kau sendiri yang merusak semuanya, Son. Kau yang membuat cucu kesayangan Alexander’s tidak berdaya dan kehilangan masa depan.” “DIAM!” Teriakan Oscar meledak. Lalu disusul suara nyaring… Braakkk! Satu vas mahal di atas lemari jatuh dan pecah setelah ditendang Oscar dengan sepenuh tenaga. “KAU YANG MERUSAKNYA, MORGAN!” Dia berteriak lagi, lalu menyambar bingkai foto dari atas meja dan menghantamkannya ke lantai hingga pecah berkeping-keping. Lucas masih duduk, matanya terpejam. Rahangnya mengeras. Tangannya mengepal erat di pangkuan, tapi ia tetap diam. Ia tahu, ini bukan saatnya bicara. Ini saatnya bertahan. Oscar kini bagai singa buas yang dilepas dari kandangnya. Ia menyambar patung kecil dari rak dan melemparkannya ke dinding. Lalu meninju meja, sekali, dua kali. “KALIAN SEMUA MENGATUR HIDUPKU!” Tinjuan berikutnya menghantam bagian kayu kursi. Tangan kanannya mulai berdarah, tapi ia tak peduli. “AKU TIDAK PUNYA KENDALI ATAS HIDUPKU SENDIRI! SEMUANYA GARA-GARA KAU, MORGAN! GARA-GARA KAU SIALAN!” “Baik. Terima kasih,” gumam Morgan pelan, matanya tak berkedip memandangi Oscar. Oscar semakin brutal. Menendang tumpukan berkas di lantai, menyapu meja, menjatuhkan segala benda di sekelilingnya. Napasnya memburu cepat. Keringat mengucur deras dari pelipis. Matanya merah, urat di lehernya tegang, dadanya naik-turun tak beraturan. Tangan kanannya berdarah—perih, tapi seperti tak dirasakannya. Hancur. Ruang itu kini berantakan, layaknya badai amarah baru saja melanda. Oscar berdiri di tengah kekacauan itu. Dada telanjang dari balik kemeja yang robek sebagian, tangan berdarah, tapi sorot matanya tetap menyala—penuh murka dan luka. Kemudian, tangan Oscar yang berlumur darah terangkat lagi, menunjuk lurus ke arah sang kakek yang masih duduk tenang di kursinya, seolah tidak ada kekacauan yang baru saja terjadi di ruangan itu. “Dengarkan aku baik-baik…” desisnya, suara itu dalam dan rendah, namun berhasil membuat sang ayah bergidik dalam diam. “Aku tidak akan pernah menikahi wanita itu. Tidak akan pernah, Morgan Grey Kingston.” Namun Morgan tidak bergeming. Ia menatap cucunya tanpa gentar, lalu menjawab dengan nada datar tapi sarat tekanan. “Kau harus menikahinya.” Sederhana. Keras kepala. Tak ada ruang untuk tawar-menawar dalam nada bicaranya. Bahkan, Morgan tak sedikit pun menunjukkan tanda ingin mundur atau memberi waktu kepada sang cucu untuk berpikir. Oscar menurunkan tangannya perlahan, namun sorot matanya justru semakin menusuk. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD