Bab 10: Mengulang Kisah Lama

2249 Words
*** Morgan menyandarkan punggung ke kursinya. Suara beratnya kembali terdengar. “Beverlyn akan menjadi istrimu. Sebentar lagi. Secepatnya. Kalian harus menikah. Ini bukan tawaran, Oscar. Ini perintah mutlak. Dan kau selaku satu-satunya penerus Kingston harus menuruti perintah itu.” Oscar mengeram tajam, napasnya memburu. Tapi ia tahu … dalam hati kecilnya, ia sadar—ia tak punya banyak pilihan. Morgan mencondongkan tubuh ke depan, sorot matanya menusuk seperti belati. Kali ini, nadanya berubah lebih dingin. “Grandpa tahu … bisa saja kau kabur. Pergi. Sama seperti kakak sepupumu, Rich yang bahkan sampai sekarang tidak pernah kembali.” Oscar hanya diam. Tak sedikitpun ekspresi itu melunak. Justru sebaliknya—semakin keras. Semakin mengerikan. Setelah jeda singkat, Morgan kembali melanjutkan. “Kau bisa melakukannya, Nak. Lari dari tanggung jawabmu. Tapi sebelum kau ambil keputusan itu, kau harus tahu satu hal…” Morgan berhenti sejenak, lalu melanjutkan. “Tanpa perlindunganmu, tanpa ikatan yang mengikat Beverlyn pada kita, maka cepat atau lambat musuh akan datang. Mereka akan merebutnya. Membawanya pergi.” “Dan saat chip itu jatuh ke tangan mereka, kekacauan akan dimulai. Kendali dunia ini bukan lagi di tangan Black Tiger, tapi di tangan para b******n itu.” Suara Morgan terdengar dalam. Kata-katanya tajam dan menghantam langsung ke ulu hati Oscar. “Jangan kau pikir hanya Black Tiger yang akan musnah. Tidak. Kita semua akan mati. Aku. Ayahmu. Kau. Grandmamu. Bahkan ibumu. Tak ada yang akan tersisa, Oscar. Kita semua akan mati. Mati dengan cara yang mengenaskan di tangan musuh yang tak mengenal belas kasihan.” Kata-kata itu seperti racun yang mematikan sekaligus mantra yang membekukan. Oscar menegang—menelan ludah dengan kasar. Seluruh otot tubuhnya mengencang. Napasnya masih tersengal, tapi bibirnya rapat. Tak sepatah kata pun keluar. Tangannya mengepal erat di sisi tubuh. d**a bidangnya naik-turun cepat. Tapi ia tetap diam. Hanya matanya—mata tajam itu—yang berbicara lantang. Morgan menatap cucunya lekat, seolah baru saja meletakkan bom waktu di pangkuannya. Dan bom itu … tinggal menunggu detik untuk meledak. “Kalau kau menginginkan semua itu terjadi, maka … pergilah. Tidak usah menikahi Beverlyn,” tambah Morgan—kian menebar racun ke dalam pikiran sang pemimpin Black Tiger lewat kalimat-kalimat penuh provokasi. ** Beberapa saat kemudian… Malam telah benar-benar menelan seluruh sudut kota. Jarum jam nyaris menyentuh angka dua lewat tiga puluh dini hari ketika sebuah mobil hitam memasuki gerbang utama Mansion Kingston. Lampu-lampu taman menyala temaram, memantulkan cahaya hangat di antara kabut tipis yang mulai turun. Morgan turun lebih dulu. Wajahnya terlihat letih, tapi tetap tenang. Langkahnya mantap menyusuri lorong menuju kamarnya, tanpa banyak bicara dengan siapa pun. Di belakangnya, Lucas ikut masuk, masih dibayangi kekacauan yang tadi terjadi di ruang sang ayah di markas. Tidak ada yang berbicara. Hanya langkah sepatu yang terdengar menyusuri marmer dingin di koridor Mansion. Morgan membuka pintu kamarnya, lalu masuk dan menutupnya perlahan. Di dalam, suasana senyap langsung menyambutnya. Ia menarik napas panjang, melangkah perlahan menuju ranjang. Pandangan matanya jatuh pada sosok wanita yang tertidur nyenyak di bawah selimut hangat. Celine. Istrinya. Wanita yang sangat amat dia cintai—wanita yang menemaninya selama puluhan tahun, dalam suka dan duka, dalam luka dan bahagia. Ia membungkukkan tubuhnya, lalu mengecup lembut pelipis wanita itu. Satu tangannya mengusap rambut Celine yang telah memutih, dengan gerakan pelan dan penuh cinta. Setelah beberapa detik, Morgan menegakkan tubuhnya kembali. Lalu bergeser, berjalan ke arah kursi di dekat jendela, dan duduk diam di sana. Menatap ke luar jendela. Halaman Mansion sudah mulai diselimuti embun. Hening. Gelap. Dingin. Jam antik di sudut ruangan berdenting pelan. Belum lama ia duduk termenung, tubuh Celine menggeliat pelan. Matanya membuka perlahan, walau belum sepenuhnya sadar. Tapi indra penciumannya bekerja lebih dulu. Aroma tubuh khas Morgan—aroma suaminya itu—langsung tercium samar di udara. Dia mengernyit pelan, lalu menegakkan tubuhnya, memindai seluruh ruangan dengan pandangan yang masih setengah kabur. Sampai akhirnya, tatapannya terpaku pada kursi di dekat jendela. Dia melihatnya Morgan duduk diam dalam remang cahaya lampu tidur. “Sayang?” Suaranya terdengar serak, berat khas bangun tidur. Selimut ia singkap perlahan. Kedua kakinya menjejak lantai dingin, lalu ia berdiri, melangkah pelan mendekati kursi. Morgan menatapnya. Pria itu tersenyum kecil. Tanpa banyak kata, Celine duduk tepat di samping suaminya, menggenggam tangan besar yang keriput itu dengan lembut. “Kamu baru pulang?” tanyanya lembut. Morgan mengangguk sebelum menjawab. Ia mengecup kening Celine, lalu turun ke bibirnya. Kecupan yang lembut dan rutin. Satu ritual yang tak pernah lepas dari dirinya. Tak peduli sesibuk apapun, selelah apapun, Morgan Grey Kingston akan selalu mencium istrinya seperti ini. “Terus kenapa kamu duduk di sini? Kenapa nggak langsung tidur?” tanyanya lagi, masih dengan nada pelan. “Aku belum ngantuk,” jawab Morgan, singkat. Celine terdiam. Menatapnya dalam. Dia tahu … suaminya sedang menyimpan sesuatu—mungkin sebuah masalah yang cukup berat. Matanya bisa membaca beban itu. “Tapi ini hampir pagi, sayang,” ujarnya lirih. “Kamu harus tidur, walau hanya sebentar…” Tangan halusnya menggenggam erat tangan Morgan yang dingin. “Apakah ada masalah yang serius?” tanya Celine hati-hati. Suaranya lembut, tapi penuh rasa ingin tahu. Morgan yang sejak tadi kembali menatap ke arah taman, akhirnya menoleh perlahan ke istrinya. Ia tidak langsung menjawab. Hanya menarik napas pendek. Satu tangannya yang bebas bergerak, menyelip ke saku celana. Ia mengeluarkan ponsel, lalu mengaktifkan layar. Celine memperhatikannya, matanya mengikuti setiap gerakan Morgan dengan saksama. “Kamu lihat sendiri saja,” ucap Morgan pelan. Ia mengarahkan layar ponselnya ke hadapan Celine. Sebuah video mulai berputar—tanpa suara. Tapi visualnya sudah cukup menjelaskan semuanya. Celine menatap tanpa berkedip. Begitu menyadari apa yang ia lihat, wanita itu sontak membelalak. Refleks, satu tangan terangkat menutup mulutnya. Ruangan dalam video itu. Ruangan yang ia kenal dengan sangat baik—ruang pribadi Morgan di markas Black Tiger—berantakan tak karuan. Kursi terjungkal. Barang pecah belah berserakan. Rak buku porak-poranda. Seolah badai baru saja lewat di sana. “Sayang … apa yang terjadi?” tanyanya nyaris berbisik. Matanya masih terpaku pada layar yang memutar ulang video pendek itu. “Kenapa ruanganmu bisa sekacau ini? Apakah terjadi sesuatu di markas?” Morgan tertawa pendek. Tawa tanpa suara. Ia menggeleng pelan. Senyumnya tidak benar-benar bahagia. Lebih menyerupai kepasrahan. “Markas baik-baiknya saja,” jawab Morgan akhirnya, pelan namun terdengar jelas di telinga sang istri. “Dan kekacauan ini … adalah hasil karya cucumu sendiri, Oscar.” Celine terdiam. Wajahnya kian tegang. Tatapannya tak lepas dari wajah pria yang telah menemaninya selama puluhan tahun itu. Morgan menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan, seperti mencoba mengenyahkan sesak di dadanya. “Tadi dia marah-marah … lalu menghancurkan barang-barang di ruang pribadiku. Semua barang antik kesayanganku—hancur lebur dibuatnya.” Suaranya nyaris seperti keluhan. Letih. Bukan karena fisik, tapi karena batin. Celine masih diam, menatap suaminya dengan sorot prihatin. “Tapi kenapa Oscar sampai seperti itu, Sayang? Pasti ada alasannya, kan?” katanya kemudian, lembut dan penuh empati. Ia mengenal Oscar. Cucu mereka memang keras kepala dan sedikit tempramental—yang diwarisi dari Alexander’s—gen ibunya. Tapi, Celine yakin lelaki itu tidak akan bersikap demikian—kecuali dipancing. Dan satu-satunya orang yang paling sering memancing emosi Oscar … adalah Morgan sendiri. Morgan tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Celine cukup lama, seolah ingin memastikan bahwa wanita itu siap mendengar semuanya. Dan setelah beberapa saat, ia mulai bercerita tentang Beverlyn. Tentang siapa gadis itu sebenarnya—cucu dari sahabat lamanya, Thomas Vale. Tentang chip berbahaya yang selama ini disembunyikan dan diwariskan secara rahasia, dan kini berada di tangan gadis itu. Ia menceritakan semuanya, dari awal hingga akhir. Tentang bagaimana Beverlyn diselamatkan oleh Oscar di tengah pengejaran musuh, hingga rencananya—rencana besar yang telah ia susun diam-diam selama bertahun-tahun. Tentang pernikahan yang akan ia umumkan esok hari. Tentang keputusan sepihaknya menjadikan Beverlyn sebagai istri Oscar. Dan tentu saja … tentang amarah Oscar yang tak terbendung saat mendengar semuanya. Celine mendengarkan dengan tenang. Tidak menyela. Tidak membantah. Hanya memandang lekat wajah sang suami selama pria itu bercerita. Menit berlalu begitu saja, bersama dengan cerita panjang dari Morgan. Celine akhirnya menghela napas berat. Wajahnya tampak tegang. “Sayang…” ucapnya lirih, “aku sangat takut. Bagaimana kalau Oscar pergi seperti Rich? Lalu menghilang, tanpa kabar, dan yang lebih buruk dia tidak akan kembali lagi selamanya? Kepergian Rich masih meninggalkan bekas yang begitu dalam dihatiku sampai hari ini, Morgan,” Suaranya nyaris bergetar. “Bagaimana kalau Oscar melakukan hal yang sama?” Morgan menatap istrinya sejenak, lalu menjawab dengan tenang, “Tenanglah … Oscar tidak akan mungkin pergi.” “Kita juga pernah berpikir begitu tentang Rich, Morgan. Tapi nyatanya, anak itu tetap pergi, bukan?” “Tapi Oscar berbeda dengan Rich, baby,” balas Morgan mantap. “Oscar tahu konsekuensinya kalau dia pergi. Sedangkan Rich … dia pergi tanpa beban. Dia marah pada ibunya, pada ayahnya, pada semuanya—termasuk kita. Tapi dia tidak memikul beban. Dia pergi tidak akan membuat dunia ini hancur. Tapi kalau Oscar pergi … maka semuanya akan berakibat fatal. Dia tahu itu. Dia bukan anak bodoh. Dia tidak akan meninggalkan keluarganya begitu saja, membiarkan kita semua mati mengenaskan. Aku yakin … cucuku tidak sekejam itu.” Celine memandang Morgan penuh keraguan. “Kau yakin?” “Ya,” angguk Morgan serius. “Aku sangat yakin.” Ia menarik tangan istrinya dan menggenggamnya erat. Tatapannya dalam, penuh harap. “Kita lihat besok. Tapi sebelum itu … aku mohon bantu aku. Aku butuh bantuanmu, baby. Tolong, sering-seringlah bicara dengan Oscar. Ingatkan dia, tenangkan dia. Aku tahu masalah ini lebih rumit daripada masalah yang pernah dihadapi Nicolas dulu. Dalam kasus ini … ada Cassie yang belum benar-benar hilang dari hati Oscar.” Morgan berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan suara pelan, “Kalau Nico, dia bisa menerima istrinya dengan mudah karena tidak ada orang lain di hatinya. Tapi Oscar … dia belum selesai dengan masa lalu. Oleh karena itu, aku mohon padamu dan Anna … sering-seringlah bicara dengannya. Oscar sangat menghormatimu. Dia sangat menghormati ibunya. Dan aku percaya … kalau kalian yang bicara, dia akan mendengarkan. Aku percaya, kamu dan Anna tahu bagaimana cara meluluhkan hatinya.” Morgan kembali menarik napas. Sorot matanya melembut, nyaris sedih. “Beverlyn dalam bahaya, baby. Selama ini dia hidup sendirian, sebatang kara. Aku menyembunyikannya di sebuah kota kecil, menjauhkannya dari para musuh yang terus memburunya. Dan sekarang … dia berada di tengah-tengah kita. Aku tidak sanggup jika setelah menikah nanti, dia justru menderita. “Beverlyn … aku melihat seorang Celine pada dirinya. Dan … aku melihat Grandpa Mark pada diriku.” Seketika Celine tertegun. Matanya langsung memanas. “Segala cara Grandpa lakukan demi melindungimu. Kisah kita … terulang kembali, baby.” Disaat yang sama, air mata Celine menetes di pipi. Morgan menunduk sejenak sebelum menambahkan dengan lirih, “Aku tidak bisa menasihati Oscar agar tidak berbuat kasar terhadap Beverlyn. Tapi kamu bisa. Anna juga bisa. Tolong … bantu aku kali ini. Ini demi kita semua.” Celine menatap suaminya dengan pilu. Hening sejenak, lalu dia akhirnya mengangguk kecil. “Baiklah. Akan kucoba. Kita lihat nanti. Tapi aku juga ingin minta satu hal darimu.” Morgan menoleh. “Apa itu?” “Jangan terlalu sering menekannya dan membuatnya marah. Sayang, semua orang punya batas kesabaran. Aku juga tidak setuju kamu terlalu menekan Oscar. Kasihan cucuku itu.” Morgan terdiam, memikirkan kalimat itu. “Masalah ini serius, Cel,” ujarnya datar. “Aku tahu,” jawab Celine lembut. “Tapi aku ingin kamu sedikit lebih lembut saat bicara dengannya…” Morgan tak langsung menjawab. Dia menarik pandangan dari wajah istrinya, menatap ke luar jendela yang mulai tertutup kabut tipis. “Aku tidak bisa seperti itu. Aku bukan kamu. Aku bukan kalian. Aku, kan paling menyebalkan kata kalian semua.” Celine hanya mampu menghela napas pelan. Tak ada lagi yang bisa ia katakan malam itu. ** Sementara itu… Di luar sana, jauh dari hiruk-pikuk mansion Kingston yang mulai diselimuti keheningan dini hari, sebuah mobil hitam terparkir di tepi jalan yang sepi dan gelap. Lampu jalan tampak redup, hanya menyinari sebagian kap mesin yang basah oleh embun malam. Tidak ada kendaraan lain melintas. Tidak ada suara apa pun selain desau angin lembut yang berhembus pelan dari arah utara. Di dalam kabin mobil, Oscar duduk membisu. Tubuhnya bersandar ke kursi kemudi, mata terpejam, seolah berusaha menenangkan gelombang amarah yang belum sepenuhnya reda. “Silakan pergi kalau kau mau melihat semua keluargamu mati mengenaskan. Aku. Ayahmu—Grandma dan ibumu. Kami semua akan mati.” Suara sang kakek tak berhenti berputar liar dalam benak Oscar. Napasnya masih berat, namun teratur. Tangan kanannya—yang penuh luka dan darah kering—tergeletak di atas pahanya, tak ia pedulikan. Rasa sakitnya tak seberapa dibandingkan dengan gejolak dalam dadanya. Beban yang ia pikul kini sangat berat. Takdir seolah tak memberinya pilihan selain harus menikahi Beverlyn. Sunyi. Hanya suara detak jam di dasbor yang nyaris tak terdengar. Dan lalu— Kting! Ponselnya berbunyi pelan, memecah keheningan itu. Oscar membuka mata. Perlahan bola matanya yang tajam langsung menatap layar ponsel yang menyala redup di pahanya. Ia mengangkatnya tanpa tergesa, lalu mengusap layar dengan ujung ibu jari. Satu pesan masuk dari seseorang. Hanya satu baris teks pendek: [“Datanglah. Ini alamatnya.”] Lalu sebuah titik koordinat yang menyusul di bawahnya. Sebuah alamat. Oscar menatap layar itu dalam diam. Ia tidak membalas. Hanya menekan tombol samping, mematikan layar. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Ia menyimpan ponsel ke dalam saku, dan dalam hitungan detik—mobil itu melaju, membelah gelapnya jalanan kota. Tak ada yang tahu ke mana ia pergi. Dan tak seorang pun tahu, siapa yang baru saja menghubunginya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD