Bella melihat Feby masuk ke tempat di mana ia berada sebelumnya. Tapi, selang lima menit kemudian terlihat Dokter Siska keluar, lalu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan —seolah sedang mencari sesuatu. Lalu, Bella melihat sang dokter menghampiri meja resepsionis dan bicara pada petugas.
Saat Bella masih mengawasi, tiba-tiba dokter baik itu berjalan mendekatinya. "Saya pikir Mba Bella pulang. Habis enggak kelihatan," katanya tersenyum.
"Tidak, Dok. Saya duduk di sini biar bisa lihat pemandangan di luar."
"Oh, iya," sahutnya tersenyum. "Begini, Mba Bella, barusan klien kita menghubungi, katanya beliau batal datang ke klinik karena ada satu alasan yang tidak disebutkan. Jadi, Mba Bella diminta untuk datang menemui. Beliau mau bertemu Mba Bella di kantornya."
"Eh, saya nemuin beliau di kantornya, Dok?"
"Iya." Dokter Siska mengangguk.
Bella tampak ragu. Apakah tidak masalah kalau ia datang menemui laki-laki itu di tempatnya? Apakah ia akan aman? Tapi,
"Tenang saja, enggak usah banyak mikir. Klien kita pasti sudah memikirkan masalah ini. Mba Bella tidak perlu tegang dan galau begitu," ujar sang dokter yang membuat Bella lega.
"Baik, Dok. Saya akan ke sana sekarang. Lalu, alamatnya?"
**
Bella tiba di kantor calon kliennya, yakni sebuah gedung pencakar langit di pusat kota. Bella merasa sedikit gugup, namun berusaha tenang dan percaya diri.
Setelah masuk lift, Bella lalu menekan tombol. Lantai dua puluh adalah tujuannya di mana kantor sang klien berada.
Ternyata lift yang ia naiki langsung tertuju ke kantor sang klien. Sebab saat pintu lift terbuka, Bella langsung melihat sosok seorang pria yang berdiri di depan meja kerjanya dengan mata tajam ke arahnya. Pria tersebut mengenakan setelan jas hitam yang rapi sambil tersenyum tipis.
"Bellanisa Kailani?" katanya seraya melangkah mendekat.
Bella mengangguk dan masih berdiri di depan pintu lift. Tubuhnya seketika membeku demi melihat pria paling tampan di sepanjang hidupnya.
"Austin Nugraha. Calon klien Anda." Pria itu memperkenalkan diri.
"I-iya, saya Bella," ucap Bella menyambut uluran tangan si pria. Lalu, jabatan tangan keduanya terlepas seolah dikomando. "Jadi, Anda adalah calon klien yang menunjuk saya, Pak Nugraha?"
"Austin. Anda boleh memanggil nama saya."
Bella mengangguk, mengerti. Kemudian Austin mempersilakan dirinya duduk, dan mencoba memulai percakapan.
"Terima kasih, Pak Austin."
"Sepertinya kita tidak perlu bersikap terlalu resmi. Kamu bisa panggil saya Austin dan saya akan panggil kamu Bella, bagaimana?"
"Baiknya menurut Anda saja." Bella tersenyum menanggapi. Perasaannya masih sedikit gugup sebab sikap dingin Austin di balik wajah tampannya.
"Baiklah, karena waktu saya tidak banyak, kita langsung pada intinya saja," ucap Austin memulai.
"Bella, saya memilih kamu untuk menjadi mitra karena merasa cocok dengan kriteria dan kebutuhan yang saya cari."
Bella merasa sedikit lega, tapi tetap bersikap waspada.
"Terima kasih, Austin. Saya juga merasa tertarik dengan program ini."
"Baguslah kalau begitu. Jadi, kita bisa langsung ke proses selanjutnya saja. Saya akan meminta pengacara pribadi saya menyiapkan surat kontrak kerjasamanya."
"Eh, kontrak kerja sama? Tapi, bukankah saya harus melewati pemeriksaan kesehatan terlebih dahulu sebelum menandatangani kontrak?" Kembali Bella merasa sangat gugup.
Austin tersenyum tampak tak peduli. "Saya percaya dengan CV yang kamu tulis. Tapi, untuk meyakinkan dirimu sendiri karena khawatir membuat saya kecewa nantinya, kamu bisa kembali ke klinik setelah ini untuk menemui Dokter Siska dan menjalani rangkaian pemeriksaan kesehatan."
"Baiklah kalau begitu. Saya ikut saja."
Setelah sama-sama setuju, Austin kemudian meminta pengacara pribadinya untuk memberikan surat kontrak yang diminta.
"Oke, ini kontrak kerjasamanya. Kamu bisa baca dulu sebelum tanda tangan," ucap Austin sembari menyodorkan lembaran kertas yang cukup tebal. "Bacalah dengan teliti," lanjutnya. "Bila ada yang tidak kamu mengerti, bisa langsung ditanyakan."
"Ini lumayan banyak dan berat," kata Bella tersenyum kaku, dan Austin hanya balas dengan sikap yang masih sama.
Bella membaca barisan huruf yang tertulis, yaitu poin-poin syarat dan keuntungan. Sedangkan pasal-pasal hukum yang tidak ia mengerti dan dianggap hanya formalitas, ia lewati sebagian.
Setelah membaca dengan teliti, Bella kemudian bicara pada Austin untuk menyampaikan beberapa hal yang memberatkan.
"Kehamilan harus dijaga dengan baik dan tidak boleh ada komplikasi. Lalu, saya tidak boleh memiliki hubungan dengan pria lain selama masa kehamilan. Dan satu lagi, bayi harus langsung diserahkan setelah dilahirkan dengan tidak diperbolehkannya saya melihat." Bella menyebutkan beberapa poin persyaratan.
"Apakah kamu belum paham?" Austin balik bertanya.
"Maaf, Austin, tapi saya tidak yakin dengan syarat ini."
"Yang mana yang tidak jelas dan tidak kamu mengerti?"
"Saya khawatir dengan kesehatan dan keselamatan saya. Bagaimana kalau saya sakit, mengalami kecelakaan atau musibah misalnya. Kita tidak pernah tahu tentang hal itu."
Austin sepertinya sudah memperhitungkan semuanya, terlihat dari sikapnya yang tenang.
"Tenang saja, saya akan menjamin kesehatan dan keselamatan kamu," kata Austin dengan yakin, "Saya pasti akan memberikan perawatan dan perlindungan terbaik demi calon anak saya nanti."
Bella terdiam memikirkan perkataan Austin barusan.
"Untuk poin nomor dua, saya hanya meminta kehidupanmu selama sembilan bulan saja. Saya yakin kamu mengerti alasannya karena itu untuk dirimu juga. Coba pikir, apakah kamu masih mau berhubungan dengan pria lain dengan kondisi perutmu yang besar?"
Bella tersadar, ternyata Austin bukan mau menyanderanya untuk kepentingan pribadi, tapi hal tersebut memang bagian dari program yang dijalani.
"Untuk poin terakhir mungkin saya bisa sedikit longgar, asalkan kamu sudah cukup kuat menahan mental dan emosi. Karena setelah itu tidak ada pertemuan atau akses apapun juga antara kamu dengan bayi yang dilahirkan nanti." Austin menambahkan.
Gadis itu mempertimbangkan syarat-syarat yang sudah calon kliennya jelaskan. Uang kompensasi yang ditawarkan membuatnya mengangguk kemudian.
"Saya terima tawaran kerja sama ini."
Senyum Austin terlihat lebih mengembang dari sebelumnya. Ia lalu menyerahkan pena kepada Bella.
"Kalau begitu, silakan tanda tangani," ucap Austin yang melihat Bella masih terdiam.
"Maaf sebelumnya, Austin. Sebelum saya menandatangani kontrak kerja sama ini, bolehkah saya mengajukan satu syarat?" Tiba-tiba Bella teringat sesuatu.
"Dalam ketentuan program, tidak ada syarat yang mitra bisa ajukan," kata Austin datar.
"Ya, saya tahu itu. Kalau Anda setuju, saya akan lanjutkan. Tapi kalau tidak, mungkin saya akan batalkan."
Austin kembali ke mode awal, dingin dan tajam tatapannya. Sejenak kemudian ia bicara. "Apa syaratnya?"
Dengan perasaan berdebar dan ragu, Bella mengajukan syarat yang diminta. "Saya minta setengah dari uang kompensasi yang dijanjikan di awal."
Austin menatap tak percaya Bella. Pria itu masih diam tak merespon. Sikap tersebut membuat Bella merutuki kebodohannya.
'Andai pria ini menolak, sudah bisa dipastikan ibu akan kehilangan kesempatan untuk dioperasi,' batinnya menyesal.
***