1. Afraid

3481 Words
"Well, well. Sepertinya kalian sedang bersenang-senang tanpaku, ya?" Hanya suara itu yang terdengar di telinga Lucy setelah suara pistol. Lucy merasa aneh, karena sedikitpun ia tidak merasa sakit. Lucy membuka matanya yang tertutup sedari tadi dan menangkap bayangan seorang pria bersama Hans, karena tidak terlalu peduli pada orang itu Lucy hanya menatap pistol Hans yang arahnya menembak ke atas sebab pria yang di sampingnya. "Whoa, kalian bersenang-senang dengan gadis cantik nan manis ini? Kalian bodoh." ucap pria itu lagi, kini tatapannya bertemu dengan Lucy. "Ronald, kau akan menerima akibatnya." ucap Hans dingin. "Astaga Hans, aku hanya bercanda. Baiklah bunuh saja gadis itu jangan aku." ucap pria bernama Ronald mengangkat kedua tangannya di sisi telinganya. "Kalian membuang waktuku saja, kau gadis asia, berhati-hatilah." ucap Hans dingin, sudut bibirnya menunjukkan sedikit seringainya kemudian ia pergi. Lucy meremas bajunya, pertemuannya dengan pria itu membawa kesan buruk untuknya. Lucy mengangkat dagunya dan menatap Chelsea yang membisu serta Ronald juga hanya menatap Hans dalam diam seribu bahasa. Lucy yang bingung menatap teman barunya melambai-lambaikan tangannya di wajah Chelsea. "Chelsea? Oh Chelsea!" Panggil Lucy sedikit berteriak karena tidak ada respon dari Chelsea. "Ah, iya? M-maaf." jawabnya. "Kau kenapa?" Tanya Lucy bingung. "T-tidak apa-apa." "Astaga, apa itu artinya Hans menyukai gadis itu?!" Tanya Ronald tiba-tiba pada Chelsea. "Tidak mungkin Ronald, kakakku tidak akan menyukai seseorang." "Apa salahnya? Dia laki-laki' kan? Gadis itu cantik." jawab Ronald antusias. "Aku tidak tahu, tapi bukankah ini gila? Kakakku tidak akan melepaskan mangsanya, bukan?" Ucap Chelsea sambil berpikir keras. "Nah, karena itu kubilang kakakmu-" sebelum Ronald menyelesaikan perkataannya Lucy memotongnya. "Apa kalian gila? Orang itu menyukaiku yang hampir membunuhku!" Ucap Lucy tidak sependapat. Chelsea dan Ronald tertawa lepas kemudian Chelsea membuka percakapan lagi, "Astaga, kupikir kau pemalu akut tapi ternyata kau bisa teriak juga." "A-aku bukan pemalu!" Ucap Lucy mengelak. "Oh my, Lucy. Kau sangat imut. Oh ya, di mana rumahmu?" Tanya Chelsea tersenyum. "Tidak jauh dari sini, kalau begitu aku pulang, ya?" Pamit Lucy. "Tidak! Sebelum kau memberiku alamat email, id line, skype, instagram, facebook, dan nomor teleponmu." ucap Chelsea mengeluarkan ponselnya dan memberikannya pada Lucy. Lucy tersenyum dan memberikan semuanya setelah itu ia melangkah pergi, Chelsea yang menatap itu menaikkan alis kanannya dan Ronald yang bertanya. "Kau tidak punya mobil?" Lucy menoleh, "Aku tidak punya." Ronald menatap Chelsea dan memberi kode, Chelsea mengangguk dan Ronald membuka mulutnya lagi. "Mau kami antar?" "T-tidak apa-apa. Aku bisa sendiri." ucap Lucy merasa tidak enak. Chelsea mendekat pada Lucy dan tersenyum, "Ayolah, jangan malu-malu." "A-aku bisa sendiri, sungguh!" Ucap Lucy meyakinkan. Chelsea menarik tangan Lucy dan membawanya ke mobil Ronald. Lucy awalnya masih meyakinkan Chelsea tapi tidak didengarkan oleh Chelsea dan ia sadar itu tidak ada gunanya. Lebih baik ia diam dibanding ia harus membuang tenaga yang tidak menghasilkan apa-apa. Saat Lucy sudah duduk di belakang pengemudi akhirnya ia menunduk lemas dan membuka suara. "Apa tidak merepotkan kalian?" Chelsea yang duduk di samping pengemudi menoleh ke belakang, "Santai saja Lucy, ini sama sekali bukan apa-apa." "Aku merasa tidak enak." jawab Lucy lemas. "Oh iya, kau belum mengenalkan pria di sampingmu." Chelsea tersenyum dan menggenggam tangan Ronald, "Kenalkan ini Ronald Anthonio, pacarku. Dan Ronald ini Lucy." Ronald menatap Lucy lewat kaca spion, "Nama marga atau nama lengkapmu?" "Aku tidak punya nama marga, nama lengkapku Lucy Setya Febriana." jawab Lucy. Ronald mengangguk dan, Bug! "Aw!" Saat Chelsea menjitak kepala Ronald tiba-tiba Ronald mengaduh kesakitan. "Apa salahku?" "Apa maksudmu bilang dia cantik? Kau menyukainya?" Tanya Chelsea melipat kedua tangannya di depan dada. "E-eh?!" Lucy kaget bukan main. Ronald terkekeh, "Astaga sayang, secantik apapun wanita-wanita di dunia ini. Kau tetap ada di sini." Chelsea menautkan keningnya, geli saat Ronald menunjuk dadanya. "Sejak kapan kau pandai menggombal?" Ronald menyalakan mesin mobilnya dan terkekeh pelan, "Sejak bertemu denganmu, sayang." Chelsea mendorong kepala Ronald dan kemudian mereka tertawa bertiga. Lucy menunjukkan rumahnya belok demi belokan hingga sampai di rumah. Lucy terus gelisah, siapa kakak Chelsea yang bernama Hans itu? Mengapa ia bisa punya pistol? Apa ia punya izin? Lucy menepis pikiran negatifnya dan berusaha positif. Mungkin saja Hans adalah polisi, pikirnya. Tapi.... polisi membunuh? Sungguh aneh. ★ ★ ★ ★ ★ ★ "Kak!" Panggil Chelsea saat bertemu dengan Hans. "Hans, mengapa kau tidak membunuh gadis itu?" Tanya Ronald menyikut lengan kekar Hans. "Bukan urusanmu." jawab Hans dingin. "Hey, sebentar lagi meeting akan dimulai. Apa yang kalian lakukan di sini? Ayo cepat masuk!" Ucap pria berambut coklat terang. "Ayolah, Hans. Jujur saja kalau kau menyukai gadis itu." goda Ronald berusaha membuat Hans tersipu tapi nihil. "Aku tidak mau adikku membenciku, dasar kau bodoh." ucap Hans masih dengan tatapan datarnya, "Tapi aku akan membunuhnya saat tidak ada adikku." Hans melangkahkan kakinya menuju pintu coklat terang. Chelsea yang tadi sibuk dengan teman lelakinya kini menemui Ronald. Ronald tersenyum tidak, lebih tepatnya menyeringai. "Dasar mafia." gumam Ronald. Chelsea dan Ronald masuk ke pintu coklat terang itu dan meeting. Setelah selesai meeting, Hans pulang ke rumahnya. Kesan rumahnya minimalis tapi elegan, rumahnya cukup besar terdiri dari tiga lantai tapi luas. Entah itu rumah atau mansion, dilengkapi dengan kolam renang, taman, dan gazebo. Chelsea yang tinggal dengan Ronald dulunya tinggal bersama Hans tapi karena Ronald memaksanya untuk tinggal dengannya maka Chelsea setuju. Hans melepas jasnya yang hendak mandi terhenti karena seorang wanita memeluknya dari belakang. "Sayang, membutuhkanku?" Tanya wanita itu menggoda. "Kalau aku membutuhkanmu aku akan memanggilmu, Katie." jawab Hans dingin. "Singkirkan tanganmu dariku." Wanita bernama Katie itu mencium leher Hans membuat Hans menamparnya dengan keras. "Kau harusnya sadar diri, kau hanyalah budak sexs tidak lebih." ucap Hans menatap Katie, dingin. "Tapi aku sudah terlanjur mencintaimu, Hans." ucap Katie memegang pipinya yang ditampar dan menangis. "Kau dipecat." dua kata itu berhasil membuat Katie berlari dan menangis. Hans masuk ke dalam bathub-nya dan berendam cukup lama, setelah itu ia memakai bajunya, ia melihat jam menunjukkan pukul 3 pagi. Ia berusaha memejamkan matanya dan terlelap. ★ ★ ★ ★ ★ ★ Cahaya terang yang dipancarkan oleh matahari menusuk mata Lucy membuat Lucy menerjap-nerjapkan matanya. Lucy menguap dan merenggangkan tubuhnya lalu ia pergi mandi. Lucy memasak omelet dan memakannya dengan lahap. Karena ini liburan musim panas Lucy tidak tahu harus berbuat apa sudah sekitar tiga bulan yang lalu ia pindah ke New York tapi tak juga ia terbiasa dengan budaya di kota itu. Lucy akhirnya memutuskan untuk berkeliling dengan tank top dan hem putih yang dilepas kancingnya serta celana levis yang di atas lutut 10cm. Lucy mengikat rambutnya ke samping di atas telinga dan memakai eyeliner tipis, dan lipgloss. Tak lupa Lucy memakai earphone-nya. Lucy menikmati perjalanan perumahannya, kota ini benar-benar berbeda dengan Indonesia. Saat sudah lelah berkeliling Lucy mampir ke cafe yang sering ia kunjungi dan tempat favorite-nya adalah meja nomor 6, entah kenapa ia nyaman di sana. "Chapuccino ice." ucap Lucy pada waiters itu. Waiter itu mengangguk dan pergi setelah lama menunggu akhirnya pesanan Lucy datang, Lucy meneguk chapuccino-nya dan bermain ponselnya. Sesekali mengedarkan pandangannya pada sekitar, Lucy terdiam saat melihat seorang pria berjas dengan rambut sedikit blonde serta mata birunya. "Apa aku mengenal pria itu?" Gumam Lucy. Saat pria itu menoleh dan berbicara pada wanita di hadapannya Lucy langsung menutupi wajahnya dengan ponselnya, "Shit!" Lucy segera membayar pesanannya dan pergi menjauh sambil menutupi wajahnya terus-menerus. Hans melihat gadis aneh yang terus menutupi wajahnya, awalnya ia sama sekali tidak peduli tapi melihat kaki gadis itu yang sangat mulus membuatnya ingin ia jadikan budak sexs-nya. ★ ★ ★ ★ ★ ★ Setelah sampai di rumahnya, Lucy menghela napas lega. Kalau saja Hans melihatnya sudah pasti ia dibunuhnya, pikirnya. Lucy meraih ponselnya dan menelepon mom-nya untuk memberi kabar. "Hallo?" "..." "Aku baik-baik saja, bagaimana di rumah?" Tanya Lucy dengan bahasa Indonesia. "..." "Ya, tentu saja boleh! Kutunggu mom!" "..." "Tidak terlalu buruk" "..." "Seperti biasa" "..." "Dah!" Setelah menelepon singkat Lucy membuka ponselnya dan menulis sebuah cerita pada aplikasi wattpad. Inilah salah satu hobi Lucy, menulis cerita. Setelah imajinasinya buntu akhirnya ia membuka LINE melihat pesan siapa yang masuk. Lucy Setya Febriana Point of View. Aku membuka LINE dan mendapat sederetan pesan. Aku memutuskan untuk membalas pesan Chelsea lebih dulu entah kenapa aku memilihnya. Sorry, sup? Setelah itu membalas pesan lain dan setelah itu Chelsea membalas pesanku. Chelsea .S. I was in front your house since 11 o'clock! 11:29AM Aku segera keluar dan memeriksa ternyata benar, ia sudah di sini. Aku membuka pintu dan hendak mempersilahkan ia masuk tapi ia malah tidak mau masuk. "Kita ke rumahku saja, ok? Aku sudah lama tidak ke rumah." Aku terlonjak kaget, jika aku ke rumahnya kakaknya pasti akan membunuhkukan? "K-kenapa ke rumahmu?" "Sudah kubilang aku sudah lama tidak ke rumah." ucapnya mendorongku masuk ke mobil lalu ia juga masuk dan mengemudikan mobilnya. "Apa maksudmu?" Chelsea menatap jalan raya tapi membalas pertanyaanku, "Karena aku tidak lagi tinggal di sana." "Apa?! Tapi kenapa?" "Karena aku tinggal di rumah Ronald." Aku mengangguk-angguk dan kembali bertanya, "Lalu kenapa aku harus ikut ke rumahmu?" "Apa kau terpaksa ikut?" Tanyanya menunjukkan puppy eyes-nya. "T-tidak! Bukan begitu.... bagaimana kalau aku bertemu kakakmu?" Tanyaku sedikit ragu. "Tenanglah, ia tidak di rumah karena ia berkerja." Aku menatapnya tak yakin. Bisa saja kakaknya pulang tiba-tiba karena ada hal mendadak bukan? Aku hanya positif thinking kalau kakaknya Chelsea tidak berniat membunuhku. Aku terdiam kaku melihat bangunan yang sangat besar di hadapanku, apa benar ini rumah? Ini lebih mirip mansion atau gedung! Aku yang terdiam kaku ditarik oleh Chelsea agar segera masuk. Saat aku dan Chelsea masuk pelayan di rumah ini setiap melihat Chelsea selalu menunduk. Aku dan Chelsea terus berjalan menemukan kolam renang yang sangat luas dan tidak hanya satu, kolam renang itu dibagi dua Chelsea menjelaskan kalau yang di sebelah kiriku air hangat dan di sebelah kananku air biasa. "Rumahmu sungguh indah sekali!" Ucapku antusias. "Ingin berenang?" Tanya Chelsea. "Tidak, aku tidak membawa pakaian." "Kau boleh memakai pakaianku." Aku tetap menggeleng dan mendekat ke arah kolam sungguh luas sekali. Tanpa kusadari aku menyandung pembatas kolam renang dan membuatku tercebur ke dalam kolam. Chelsea yang melihatku langsung tertawa terpingkal-pingkal. Ok, ini tidak lucu. Aku menatapnya kesal dan ia membantuku untuk naik. "Ayo, kau harus ganti baju." ucap Chelsea meberiku baju handuk dan menuntunku jalan. Setelah sampai di sebuah kamar bernuansa biru Chelsea menyuruhku untuk mandi di kamar mandi tepat di dalam kamarnya. Ya, ini kamar Chelsea. Sebelum itu ia memberiku pakaian dalam yang tidak pernah ia pakai sejak ia beli ia bilang hampir semua bajunya di sini belum pernah ia pakai. Saat aku masuk ke kamar mandi Chelsea terdengar mengangkat sebuah telpon. End of Lucy Setya Febriana Point of View. "Hallo kak?" Ucap Chelsea memilih baju-bajunya yang akan ia pinjamkan pada Lucy. "..." "Apa? Kenapa aku lagi?" "..." "Tapi ia tahu kalau aku ini adikmu' kan?" "..." Chelsea tersenyum puas,"Baiklah, aku mengerti" "..." "Dah!" Chelsea memilah bajunya dan mendapatkan gaun minim berwarna biru dengan bagian dadanya terbelah dengan sangat dalam dan bagian rok di atas lutut 20 cm yang bagian kanannya terbelah. Saat Lucy keluar dari kamar mandi dan dilapisi baju handuk dan mengotak-atik ponselnya. "Untung saja ponselku tidak rusak." "Lucy, kau ingin makan siang di luar?" Lucy menaruh ponselnya di atas nakas, "Boleh, lagipula aku belum makan." "Bagus, cepat pakai ini." ucap Chelsea memberikan gaun minim itu. Mata Lucy membulat sempurna, "Apa kau sudah gila memberiku gaun seperti itu?" "Kalau yang ini?" Tanya Chelsea memberikan gaun putih polos di atas lutut 10cm dengan tali sebagai lengan. Lucy mengangguk pasrah, ia tidak mau dikira cerewet karena terus menolak. "Kau mau aku yang dandani?" "Aku bisa sendiri." "Please" bujuk Chelsea dengan wajah memelas. Lucy lagi-lagi mengangguk pasrah, segera mengambil gaun itu dan membawanya ke kamar mandi. "Kau mau ke mana?" Tanya Chelsea. "Ganti baju." Chelsea memutar kedua bola matanya dan terkekeh, "Di sini saja, aku ingin menilai tubuhmu." Wajah Lucy langsung memerah, "A-apa?!" "Ayolah, aku akan memberimu saran harus menambah tinggimu, diet, atau menambahnya." "T-tapi...." "Lucy." panggil Chelsea memelas. Lucy akhirnya membuang napasnya dan melepas baju handuknya pelan-pelan. "Astaga tubuhmu indah sekali." ucap Chelsea mendekat pada tubuh Lucy yang hanya ditutupi oleh pakaian dalam. "A-aku pikir tubuhku aneh." ucap Lucy memerah dan hendak memakai gaunnya. "Apa kau buta? Tubuhmu seperti gitar Spanyol kau tahu?! Ah.... kau membuatku iri." Lucy hanya menunduk malu dan segera memakai gaun. Setelah memakai gaun, Lucy didandani oleh Chelsea. Lucy terus memejamkan matanya menunggu riasan di wajahnya selesai. Setelah saat itu tiba ia tersenyum pada kaca yang menampilkan bayangannya. "Makeup-nya natural, aku suk-" sebelum Lucy menyelesaikan perkataannya Chelsea sudah memotong perkataannya. "Astagaaaa, kau cantik sekali sungguh! Kau seperti boneka barbie yang dicampur dengan wajah girlband Korea!" Puji Chelsea antusias. "Itu karenamu, terima kasih." "Tidak! Wajahmu memang dasarnya cantik, Lucy!" Drrrt.... Drrrt.... Drrrt.... Ponsel Chelsea berdering dan segera ia angkat. "Kau menggangguku yang sedang asik melihat gadis yang cantiknya luar biasa!" "..." "Ya, ya, ya. Kalau begitu, dah!" Ucap Chelsea ketus. Chelsea menatap Lucy dan menariknya menuju mobil. Chelsea mengemudikan mobilnya dengan sangat laju, membuat Lucy berteriak histeris. Chelsea hanya mengabaikan teriakan Lucy dan masih fokus dengan jalan raya. Setelah itu mereka sampai di Carlyle Cafe. Setelah itu mereka berjalan menuju meja nomor 4. Lucy menautkan keningnya, sepertinya ia mengenal pria yang duduk di meja nomor 4 itu dan benar saja. Dia adalah.... Hans Stone. Mata Lucy membulat sempurna saat ia berhasil mengenali pria itu. "Chelsea, d-di sana ada kakakmu. Lebih baik kita cari cafe lain saja" ucap Lucy menarik tangan Chelsea. "Aku bisa mengatasinya" "K-kau yakin?" "Tentu saja" Chelsea mengedipkan mata kanannya. Chelsea menatap kakaknya itu dan memotong obrolan kakaknya dengan seorang wanita. "Kakak, lihat tunanganmu. Ia cantik sekali kan? Aku yang mendandaninya jadi berterima kasihlah padaku." Mata Lucy dan Hans membulat sempurna saat Lucy mendengar pernyataan Chelsea dan Hans karena melihat Lucy. Apa itu gadis asia itu? Mengapa wajahnya sangat cantik? Pikir Hans. "Apa maksudmu?!" Tanya Lucy dengan berbisik pada Chelsea. "Tenanglah, kau harus berakting kalau kau adalah tunangan kakakku." "Chelsea, apa kau sudah gila?! Bisa saja ia membakarku hidup-hidup!" Bisikan mereka terhenti saat Hans berdiri dari kursinya dan menarik pinggang Lucy dengan lengan kekarnya. "Kau cantik sekali, sayang." ucap Hans membawa Lucy duduk. Lucy membulatkan matanya, "Ap-" ucapannya terhenti saat Hans mencium bibirnya tidak, bukan menciumnya tapi melumatnya. Apa dia sudah gila?! Oh tidak! Ciuman pertamaku! Jerit Lucy dalam hati. Lucy memukul-mukul dada bidang Hans membuat Hans melepaskan lumatannya. Sial! Aku kehilangan kendali, bagaimana bisa bibirnya begitu nikmat?! Hans dalam hati. "Kau tak perlu malu-malu, sayang." ucap Hans pada Lucy masih dengan wajah datarnya. Lucy kaget bukan main, karena kesal ia menatap Hans dengan tatapan membunuh tapi Hans tidak mempedulikannya, setelah Lucy menatap Hans pandangannya beralih pada Chelsea yang mematung dan ia memasang wajah, Apa yang terjadi? Chelsea kembali sadar dari lamunannya. "Ah, sepertinya aku harus pergi sekarang." pamit Chelsea dan berbisik pada Lucy, "Tenanglah, selama kau berpura-pura jadi tunangannya kau akan aman." Setelah itu Chelsea pergi dan Lucy menatapnya kesal. Hans masih dengan aktingnya, menggenggam tangan Lucy. "Jadi bagaimana? Kau percaya? Sudah kubilang aku punya tunangan karena itu kau tidak perlu lagi mengejarku" ucap Hans. Lucy menatap Hans dengan tatapan pandai sekali ia berbohong. Hans menatap Lucy dan memberi isyarat tapi Lucy sama sekali tidak mengerti hingga wanita di depan mereka mengeluarkan suara. "Hans, aku benar-benar mencintaimu! Apa kau tidak melihat kesungguhanku? Kita sudah kenal sejak kecil!" Ucap wanita itu menggenggam tangan Hans. Lucy yang melihat tingkah laku wanita di hadapannya dengan tatapan benar-benar menggelikan lalu menatap Hans lagi kini Hans membuka bibirnya, "Mad" ucap Hans tanpa mengeluarkan suara. Jadi Lucy harus berakting marah? Lucy tidak yakin karena di sini ramai tapi melihat Hans menatapnya tajam ia harus melakukannya. "Hey, bisakah kau sopan? Aku adalah tunangannya!" Ucap Lucy menepis tangan wanita itu. Ya, Lucy memang pandai berakting. Ia belajar dari SMP dan ia mengikuti ekskul teater saat SMA. Hans sedikit tersenyum. Rupanya, dia pintar juga berakting, pikir Hans. "Diam kau, jalang! Aku adalah temannya sejak kecil! Kau orang baru diam saja!" Apa?! Dia mengataiku jalang?! Bukankah dia yang jalang di sini?! Ucap Lucy dalam hati. "Hey! Apa aku harus memberimu kaca agar kau tahu diri! Yang jalang di sini adalah kau!" Hans nyaris tertawa karena pertengkaran di depannya tapi ia menahannya karena itu hanya akan membuat wanita itu curiga. Lagipula ia tidak pernah tertawa sekalipun sejak umurnya 15 tahun lalu. "Diam kau orang asia! Orang sepertimu seharusnya tahu diri di tempat yang bukan tempatmu berasal!" Ucap wanita itu mampu membungkam Lucy. Lucy menunduk dan meremas gaunnya, wanita itu benar. Ia harus tahu diri. Hans yang melihat keterbungkaman Lucy melipat kedua tangannya di depan dada dan tahu situasi. "Tiffany, jaga bicaramu, Aku bisa saja membunuhmu karena kau bicara sembarangan tentang tunanganku." Hans menatap wanita bernama Tiffany itu dingin. "Hans-" "Cukup, sebelum kesabaranku habis kau pergilah." ucap Hans masih menatapnya dingin. Tiffany menatap Lucy kesal dan segera pergi. Hans memesan dua chappuccino untuknya dan Lucy tanpa bertanya pada Lucy dulu. Lucy tidak menatap Hans sedikitpun sejak perkataan Tiffany tadi. Setelah pesanan datangpun Lucy sama sekali tidak meminum minumannya. "Tsk, berhentilah menangis. Kau bisa membuatku malu di depan banyak orang." ucap Hans melepas lipatan kedua tangannya di depan dada. "A-aku tidak menangis." ucap Lucy mendongak tapi tidak menatap Hans, "Aku hanya rindu pada keluargaku." Hans meminum chappuchino-nya, "Aku tahu benar kau menangis karena perkataan Tiffany " "Jangan sok tahu!" "Kalau benar begitu...." Hans menarik dagu Lucy agar menatapnya, "Sudah kubilang kau menangis." Lucy melepas tangan Hans dari dagunya dan mengalihkan wajahnya. Hans menaruh beberapa lembar uang di atas meja dan menarik Lucy menuju mobilnya. "Apa yang kau lakukan?! Lepas!" Jerit Lucy meronta. "Kau diam atau kubunuh." Cukup kalimat itu yang membuat Lucy membungkam bibirnya dan masuk ke dalam mobil dengan perasaan yang dongkol. Di perjalanan Lucy memperhatikan dengan benar bahwa jalan yang diambil Hans adalah jalan rumah milik Hans. Lucy memiliki perasaan tidak enak pikiran negatif mulai menyerangnya. "Untuk apa kau-" belum sempat Lucy menyelesaikan perkataannya sebuah pistol dari tangan kanan Hans sudah di pelipisnya. Lucy menangis menahan isakkannya yang tengah keluar. Karena tangisan Lucy, Hans mengongkang pistolnya. Lucy menutup mulutnya rapat-rapat dengan tangannya agar isakkan Hans tidak menarik pelatuknya. Setelah sampai Lucy ditarik Hans ke sebuah kamar minimalis dan elegan serta maskulin sudah jelas kamar itu milik Hans. Hans melempar Lucy ke atas King size-nya dan menindihnya. Lucy menangis saat Hans mencium lehernya. "J-jangan...." rintih Lucy takut. Hans menatapnya dingin, dibalik tatapan dingin itu ia bingung. Bukankah sexs sudah biasa? Hans kembali mencium leher Lucy. "K-kumohon.... jangan...." pinta Lucy dengan suara yang kecil karena takut. Lucy menutup matanya dan meneteskan airmata saat Hans menarik res di belakangnya. "B-b-bunuh saja a-aku tapi jangan perkosa aku...." pinta Lucy sekali lagi. Hans menyeringai untuk pertama kalinya di mata Lucy, "Kau yakin?" Tangan Hans mengambil pistol di atas nakas. Lucy menutup matanya merasakan cairan hangat lagi-lagi menetes di pipinya, ia rasakan pistol itu di samping matanya. Dor! Hans menatap Lucy dingin dan lagi-lagi menyeringai, "Kau bisa menepati kata-katamu juga rupanya." Lucy kaget ia masih dapat medengar suara Hans. Segera Lucy melihat ke arah pistol itu dan pistol itu mengarah ke arahnya, pistol itu kosong. "Daripada membunuhmu, membiarkanmu hidup lebih menyenangkan." ucap Hans menarik dress Lucy dan melemparnya ke segala arah. "K-kumohon jangan...." Hans menyeringai. "J-jangan...." ★ ★ ★ ★ ★ ★ "Wanita itu akan dijadikan apa, sir?" Tanya pria berkumis dengan hormat meski Hans lebih muda darinya. Hans meminum vodka-nya, "Dia budak sexs-ku sekarang, jangan biarkan ia keluar dari rumah. Dan satu lagi, jangan sampai Chelsea tahu hal ini." Pria berkumis itu menunduk memberi hormat dan pergi. Di King size-nya tertidur seorang wanita asia yang tengah tertidur. ★ ★ ★ ★ ★ ★ Lucy bangun dari tidurnya, di sampingnya tertidur Hans yang sangat tampan dengan mata tertutup. Lucy menangis menatapi tubuhnya yang kini hanya ditutupi oleh selimut. Lucy harus memberitahukan hal ini pada Chelsea. Lucy mengambil ponselnya di atas nakas dengan pelan, jika sampai Hans tahu ia akan mati. "C-Chelsea!" sapa Lucy bergetar dan ia tidak kuat menahan tangisnya. "..." "A-aku-" belum sempat Lucy selesai dengan perkataannya, ponselnya sudah dibanting oleh Hans. "Mengadu?" Tanya Hans dingin. Lucy mengepalkan tangannya, ia tidak lagi peduli akan hidupnya yang pasti ia harus terbebas dari iblis di hadapannya ini. "Bunuh aku! Ayo cepat bunuh aku! Aku benar-benar membencimu! Dasar bajingan!" Teriak Lucy frustasi. "Jaga bicaramu." ucap Hans dingin. "Kau pikir aku peduli?! Aku bahkan rela mati dibanding melayanimu! Dasar bangsat!" Lucy memecahkan gelas yang ada di atas nakas dan mengambil belingnya. Lucy menggores beling itu di pergelangan tangannya membuat darah segar mengalir. Hans yang menatap itu tidak peduli hanya menatapnya dingin. Hans bangkit dari King size-nya dan memakai kemejanya lalu keluar. Lucy yang mengeluarkan banyak darah menekan-nekan pergelangan tangannya agar darah semakin banyak keluar. Hans mengambil rokoknya lalu menyelipkannya pada bibirnya dan membakarnya. Hans pergi ke sebuah ruangan bernuansa putih dan terdapat pria berjas putih di sana. Hans menghembuskan asap dari mulutnya dan menatap dokter di hadapannya dingin. "Kamarku." ucap Hans tajam dengan sudut matanya yang dingin. Dokter itu langsung mengambil tasnya dan bergegas ke kamar Hans. Hans pergi ke ruangan pribadinya dan menatap lembaran demi lembaran yang ada di hadapannya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD