2. Until I Bored

2052 Words
"Kamarku" ucap Hans tajam dengan sudut matanya yang dingin. Dokter itu langsung mengambil tasnya dan bergegas ke kamar Hans. Hans pergi ke ruangan pribadinya dan menatap lembaran demi lembaran yang ada di hadapannya. Lucy membuka matanya perlahan ia berada di kamar, kamar yang membuat dirinya kotor. Lucy melihat tangan kirinya yang dibalut oleh perban, Lucy mendecak kesal. Kenapa aku tidak mati saja?! Jeritnya dalam hati. Saat Lucy ingin berdiri ia teringat akan sesuatu, ia belum pakai pakaian sama sekali. Lucy dengan cepat mengambil bajunya-dress Chelsea dan mengenakannya. "Tidurlah...." suara dingin nan sexy itu terdengar lagi. Lucy menoleh pada sofa yang di sana duduk Hans tanpa pakaian atasannya, Lucy membulatkan matanya. "S-sejak kapan kau di situ?" "Sejak kau belum sadarkan diri." "K-kau.... melihatku ganti baju?" "Hm..." jawab Hans meminum cocktail-nya. Sialan! Kulitnya seputih mayat karena itu aku tidak melihatnya di sofa putih itu. Lucy memukul jidatnya. Tiba-tiba Lucy teringat, untuk apa dirinya bertanya hal bodoh itu? Seharusnya Lucy sudah memukuli pria brengsek itu karena telah mengotorinya. Lucy tiba-tiba terbayang akan budaya Indonesia. Perempuan yang sudah tidak perawan lagi dianggap jalang. Perempuan kotor.... Menjijikan.... Dibayar berapa tubuhmu itu.... Dasar tidak punya harga diri.... Memalukan.... Kau bukan anakku.... "Tidak!" Lucy berteriak histeris. Lucy terduduk lemas di lantai ia merasa banyak orang yang akan mengatainya mulai sekarang. Bahkan jika kedua orangtuanya tahu mungkin ia sudah tidak dianggap. Lucy menutup telinganya berharap suara-suara itu tidak terdengar namun nihil, suara itu tetap menggema di pikirannya. "Aku bukan jalang.... aku bukan wanita kotor.... aku punya harga diri.... “ Lucy merasa pusing dan pandangannya melebur kesadarannya hilang. Hans menaruh cocktail-nya dan menggendong Lucy ala bridal style lalu meletakkannya di atas king size-nya. Hans menyalakan rokoknya dan memakai jasnya lalu meninggalkan Lucy. Seorang pelayan kemudian datang dengan nampan yang ia letakan di atas nakas lalu menunggu Lucy yang belum juga bangun. Setelah beberapa jam Lucy berhasil membuka matanya dan mendapatkan sosok bayangan seorang pelayan. "Ms.Lucy, tuan bilang anda harus makan." ucap pelayan itu dan memberikan Lucy nampannya. Apa? Yang benar saja Hans mengkhawatirkanku? Memang manusia itu punya hati? "Aku tidak lapar." "Tapi nona, tuan bilang anda belum makan sejak kemarin siang." "Sungguh aku tidak lapar." "Saya mohon nona, atau tuan akan menghukum saya." Lucy menghela napasnya pelan dan mengambil nampan itu, "Tapi ini terlihat bukan seperti sarapan." "Karena nona belum makan sejak kemarin siang jadi tuan menyuruh saya membuat makanan berat." Lucy sedikit bingung, Hans sama sekali tidak menunjukkan kepeduliannya pada Lucy tapi mengapa kata-kata pelayan ini seolah-olah Hans mengkhawatirkannya? Lucy melahap makanannya hingga habis, saat itu juga pelayan itu pergi membawa nampannya. Lucy memeluk bantal dengan sangat erat ia sedang berpikir keras. Bagaimana kalau tidak ada satupun pria yang tidak mau menikahinya karena ia tidak perawan? Lucy lagi-lagi menangis setiap tetesan airmatanya mengeluarkan sedikit demi sedikit masalahnya. "Nona, jika anda ingin mandi ini pakaian dan handuk anda" ucap pelayan itu di pintu kamar. Lucy menghapus buliran air bening yang menyapu permukaan kulitnya dan segera mengambilnya dari pelayan itu. Lucy mandi di kamar Hans yang terdapat kamar mandi, Lucy merendam dirinya dalam bathub dan sesekali menangis. Ia benar-benar tidak bisa terlepaskan dari pikiran itu, ia harus mencari teman. Hanya itu solusi saat ia stres. Lucy membersihkan tubuhnya dan segera memakai baju. Lucy menatap cermin dan memakai makeup tipisnya, ia bingung mengapa di sini ada makeup perempuan padahal pemiliknya laki-laki? Lucy yang takut memakai barang orang tanpa izin hanya berbisik, "Minta makeup-nya dikit, yah." seperti orang bodoh. Saat sentuhan terakhir Lucy memoles bibirnya dengan lipgloss saat itu juga suara pintu terbuka membuat Lucy menatap pintu yang terbuka itu. "Kau jalangnya Hans?" Tanya pria tampan itu dengan suara berat. "T-tidak.... aku bukan.... " "Tidak biasanya Hans punya jalang wanita asia.... cantik pula." "Sudah kubilang aku bukan jalangnya!" Teriak Lucy marah. "Sudahlah.... " ucap pria itu dingin dan ia mulai mengunci pintu. "Kau harus melepaskan kecapekanku." Pria tampan itu mendorong Lucy ke atas king size-nya membuat Lucy segera berlari ke arah pintu, "Dasar gila! Lepaskan aku!" "Jangan sok jual mahal, jalang ya tetap jalang." "Dasar binatang!" Umpat Lucy dengan bahasa Indonesianya dan langsung menampar keras pria itu. "Kurangajar!" Pria itu menarik rambut Lucy, "Dasar jalang tidak tahu diri!" "Lepaskan dia, Alex...." suara itu.... suara sexy yang membuat Lucy dan pria itu terdiam. Pria bernama Alex itu menoleh ke arah Hans yang menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan menyandarkan bahunya pada pintu serta sorot matanya yang dingin bercampur tajam. "Hans, kau salah minum obat?" Tanya pria tampan itu dingin. "Aku bilang, lepaskan dia." Alex melepas kasar rambut Lucy dari genggamannya dan menatap dingin Hans lalu menaikkan alisnya, "Kau mencintainya?" "Menjijikan." hanya satu kata itu yang keluar dari mulut Hans. Lucy menatap tajam Hans, bagaimana pun juga Hans-lah yang telah mengotorinya. Hans melepas kaitan tangannya dan menatap Alex dengan penuh arti lalu pergi keluar dan diikuti oleh Alex di belakangnya. Lucy keluar dari kamar tujuannya bukan untuk mengikuti mereka melainkan mencari jalan untuk keluar. "Lucy.... tetap di kamarku." ucap Hans tanpa berbalik. Lucy tidak mendengarkan perkataan Hans dan masih melangkah pergi. Hans membalik tubuhnya menatap Lucy dingin, Lucy yang ditatap tidak tahu-tahu ia hanya menatap lukisan-lukisan di dinding. Hans menarik tangan Lucy dan menyeretnya ke kamar Hans. "L-lepas! Sakit! Hey! Aku bilang sakit!" Hans mengunci pintu kamar dan menyuruh butler-nya untuk menjaga jendela dan pintu kamarnya. Hans kembali menuju ruang tamu di sana terdapat seorang pria yang wajahnya tak jauh beda dengan mereka berdua. Alex yang dari tadi mengikutinya terkekeh sesekali karena melihat Hans yang menyeret Lucy tadi. "Hans, apa kau mencintainya?" Tanya Alex masih terkekeh. "Berhenti berbicara hal menjijikan, Alex." "Apa kau tahu? Hans menyeret wanita ke kamarnya." ucap Alex kepada pria yang duduk di sampingnya. "Wah, ternyata mafia kejam ini sudah mulai jatuh cinta." ucap pria itu sedikit tersenyum meskipun matanya masih dingin. "Menjijikan, hentikan, brengsek." ucap Hans menatap mereka berdua dengan kedua alisnya yang bertautan. "Baiklah, kita serius sekarang. Hans, aku minta bantuanmu dan kau juga Malvin." "Untuk apa aku membantumu?" Tanya Hans dingin. "Apa yang kau inginkan dariku?" Tanya pria bernama Malvin itu melipat kedua tangannya. "Ayolah Hans, aku ingin kau membunuh kakek sialan itu." ucap Alex menatap Hans tajam, Alex kemudian menatap Malvin, "Pokoknya aku membutuhkanmu." "Berapa kali ini?" Tanya Hans menyalakan rokoknya. "$10 thousand" ucap Alex . "Kau menghinaku?" ucap Hans mengeluarkan asap dari mulutnya. "$15 thousand" "Tidak" "$20 thousand" "Tidak" "Kau mau berapa?!" Tanya Alex kesal. "$100 thousand." ucap Hans menghembuskan asap rokoknya. "Itu terlalu besar, Hans!" "Terserah." ucap Hans kembali menghirup rokoknya. Malvin yang menonton menyalakan rokoknya, menghisap lalu menghembuskannya. "Kau seperti tidak mengenal Hans saja" "Baiklah!" Ucap Alex kesal dan mengambil cocktail yang ada di meja. "Kapan aku harus membunuhnya?" Tanya Hans meminum cocktail-nya. "Besok lusa." Hans hanya berdehem dan kembali asik dengan rokoknya. Drrrt....Drrrt....Drrrt.... Ponsel Hans berbunyi, ia mengangkat teleponnya dan membuang rokoknya. "..." "Aku tidak tahu." "..." "Aku sudah mengantarnya sampai rumah kemarin." "..." "Terserah kau saja." "..." Setelah itu sambungan terputus dari sepihak, Hans menaruh kembali ponselnya dan meminum cocktail-nya. "Hans, siapa wanita itu?" Tanya Alex menyalakan rokok yang terselip di bibirnya. "Wanita mana?" Tanya Hans dingin. "Yang di kamarmu." "Budak sexs biasa." jawab Hans menatap dingin Alex. "Mengapa kau melindunginya saat ingin kusentuh dia?" Tanya Alex sedikit terkekeh lalu menghirup rokoknya. "Karena aku tidak mau barangku disentuh orang lain." "Whoa, benarkah itu?" Tanya Alex menaikkan alis kanannya. "Alex, kau seperti tidak mengenalnya saja." ucap Malvin membuang rokoknya. "Maksudmu?" Tanya Alex. "Dia akan bermain sampai puas dan membuangnya jika ia bosan." ucap Malvin terkekeh. Hans menyeringai sedikit, "Kau mengenalku dengan baik" Lucy menggedor-gedor pintu kamar Hans yang dikunci dari luar. "Dasar bajingan!" Teriak Lucy dengan bahasa Indonesia. Lucy menendang pintu itu sekali dan setelah itu menghambur kamar Hans, ia sengaja agar Hans marah padanya. Lucy menghambur meja rias, membuang bantal juga guling ke lantai, dan mengacak-acak spring bed. ★ ★ ★ ★ ★ ★ "Jadi nama kakek tua itu adalah Randy Schulete." gumam Malvin membaca berkas yang baru saja diberikan oleh Alex. "Ya, dia seorang mafia." ucap Alex melipat kedua tangannya di depan dada. Malvin membaca dengan teliti setiap huruf yang tertera dan tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. Malvin mengangkat telpon itu masih dengan tatapan dingin. "..." "Aku di rumah Hans." "..." "Terserah." Setelah itu Malvin mematikan telepon itu dan ditatap oleh Hans dengan menaikkan alis kanannya. "Olive" Alex hanya mengangguk-anggukan kepalanya, "Wanita yang mengejar-ngejarmu-" Prang! Suara pecahan kaca terdengar keras membuat mereka semua terdiam. Hans mengeluarkan pistol dari balik jasnya dan jalan perlahan-lahan yang diikuti oleh Alex dan Malvin di belakangnya. Pertama Hans memeriksa ruang kerjanya tapi tidak ada apa pun di sana, lalu Hans tiba-tiba terdiam. "Aku tahu ini ulah siapa." gumam Hans berjalan menuju kamarnya. Hans membuka kamarnya, amarahnya memuncak saat melihat kamarnya begitu berantakan belum lagi kaca rias yang pecah. Hans menatap tajam Lucy yang tengah membidik jendela untuk melemparnya dengan parfum Hans. Sebelum Lucy melayangkan parfum Hans, tangan Lucy sudah digenggam dengan kuat oleh pria itu. "Dasar jalang tidak tahu diri!" Teriak Hans marah. "Hey brengsek! Siapa yang sudah membuatku menjadi jalang?! Kau yang memperkosaku, bajingan!" Teriak Lucy tak kalah marah. Hans menyeringai dan menaikkan alis kanannya, "Kau memang jalang karena saat kusentuhpun kau diam." "Dasar bajingan! Aku diam karena aku takut, bangsat! Tapi aku sudah sadar matipun aku rela dibanding disentuh olehmu!" "Kalau begitu matilah! Bunuh diri saja kau tidak bisa!" seringai Hans. "Aku bisa! Siapa yang menyuruh dokter datang untuk menolongku?! Siapa yang menyuruh pelayan untuk membuatkan aku makanan?! Itu semua karenamu, brengsek!" Teriak Lucy memukul-mukul dada bidang Hans. Alex dan Malvin tertawa berusaha mengecilkan suaranya agar Hans tidak mendengarnya tapi Hans dengar ia hanya mengabaikannya ia lebih kesal pada wanita yang ada di hadapannya. "Karena kau tidak pantas mati dengan mudah!" Ucap Hans menarik dagu Lucy kasar. Lucy melepas dagunya dari Hans dan mengumpat kesal dengan bahasa asalnya, "Anjing, anjing, anjing, anjing! Laki-laki macam apa dia?! Tidak dia bukan laki-laki! Dia anjing yang tidak mempunyai kelamin!" "Kau pikir aku tidak bisa mengerti kau bicara apa?!" Tanya Hans kesal dengan bahasa yang sama. Lucy membulatkan matanya menatap Hans tidak percaya karena ini kali pertamanya ia berkata sekasar itu ia tidak ingin diketahui oleh orang lain. "K-kau bisa bahasa Indonesia?" Tanya Lucy ragu. "Kau bilang aku tidak punya? Lalu bagaimana aku bisa merenggut keperawananmu?!" Tanya Hans wajahnya kembali dingin. Wajah Lucy memerah, ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Lucy terus menutup wajahnya entah sudah berapa lama ia menutup wajahnya karena malu saat ia membuka kedua tangannya Hans dan kenalannya sudah tidak di sana. ★ ★ ★ ★ ★ ★ "Hans adu mulut dengan wanita! Bwahahaha!" Alex tertawa sambil memukul-mukul ujung sofa. "Berani sekali wanita itu!" Malvin ikut terkekeh. "Hans menyuruh dokter untuk memeriksa wanita itu! Bwahahaha!" Tawa Alex lagi dengan sangat nyaring. "Shut up." Hans menautkan kedua alisnya menatap tajam Alex dan Malvin. "Hans bahkan tidak melakukan apa-apa!" Tawa Malvin pecah lagi. "I said shut up!" Ucap Hans sedikit menaikkan nada bicaranya. "Sudah cukup, bung. Atau kita akan dibunuh dengan mafia yang tidak punya hati ini." ejek Alex menghapus airmatanya karena tadi ia terlalu banyak tertawa. "Alex." tegur Hans. "Ok-ok sorry bro. Oh iya, Hans. Bahasa apa yang kau gunakan tadi?" "None of your bussines." jawab Hans. Drtt....Drtt....Drtt.... Semua pasang mata tertuju pada ponsel Stuart Hughes’ Black Diamond iPhone 5 yang ada di meja. iPhone 5 Black Diamond memiliki balutan emas 26 karat dan sebuah berlian hitam menggantikan tombol Home. Pada bagian chassis iPhone 5 Black Diamond berlapis 600 berlian putih dan 53 di antaranya menghiasi logo Apple. Perlindungan layar telah diganti dengan batu safir yang jauh lebih tangguh daripada Gorrila Glass. Ponsel ini digelari ponsel termahal di dunia. "Hm?" Hans mengangkat ponsel itu. "..." "Aku sudah mengantarnya." "..." "Terserah." Hans mematikan panggil sepihak dan menaruh ponselnya, ia mematikan rokoknya. "Ken!" teriak Hans. Tangan kanan Hans, Ken pun turun dari lantai atas. "Iya, tuan?" "Bawa jalang itu ke penjara bawah tanah." "Baik, tuan." Ken pun pergi ke kamar Hans. Alex menyilangkan kakinya dan menatap Hans, "Nanti malam ada acara kumpul-kumpul keluarga kan?" "Persetan" acuh Hans, "Aku tidak akan datang ke acara sampah itu." Hans menutup matanya dan menyenderkan kepalanya. Alex terkekeh, "Terserah padamu, tapi Chloe akan dating." Hans membuka matanya yang sedingin es, "Brengsek" "Akh! Lepaskan aku!" teriak gadis asia itu yang tengah diseret oleh Ken. Hans menatap gadis itu dingin, "Kau boleh menyiksanya tapi jangan sampai kau meninggalkan bekas luka di tubuhnya" Lucy menatap benci Hans, "Dasar bajingan"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD