3. I Hate Him

1751 Words
"Aku bilang di mana Lucy!" kesal Chelsea pada kakak kandungnya itu. "Sudah kubilang-" "Aku membencimu! Andaikan ayah masih-" Plak! Satu tamparan mulus mendarat pada pipi Chelsea. "Ayah sudah mati, Chelsea!" Chelsea shock, akibat pertama kalinya ia ditampar oleh Hans, airmatanya jatuh tanpa ia sadari. "Kakak menamparku?" "Aku jengah dengan sifatmu yang kekanak-kanakan!" Chelsea menangis dan berlari meninggalkan mansion Hans. Alex dan Malvin yang menonton hanya diam seribu bahasa. "Hans-" belum selesai Malvin mengeluarkan kalimatnya, Hans sudah mendahuluinya. "Pergi" Alex menautkan keningnya, "Tapi-" "Pergi!" Alex melangkah keluar karena diusir oleh Hans, Malvin pun melepas kancing keduanya dan pergi. ★ ★ ★ ★ ★ ★ Airmata terus menetes menelusuri pipi mulus Lucy, berjongkok dan memeluk tubuhnya sendiri adalah posisinya saat ini. Bibir mungilnya bergetar hebat. Tiga hari ia sudah tidak makan di balik jeruji besi itu, bau busuk yang menyeruak indra penciumannya itu disebabkan banyaknya darah yang sudah mengering di sana. Penjaga yang menjaganya sama sekali tidak memiliki hati. Lucy hanya diberikan air putih di gelas kecil selama tiga hari berturut-turut. Brak! Sontak gadis itu kaget, ia menatap ke sumber suara. Di sana tampak Hans membuka pintu jeruji itu. Lucy ingin sekali berlari keluar tetapi tubuhnya begitu lemas tak berdaya. "Follow me." perintah Hans dingin dan melangkah pergi. Lucy sebenarnya tidak mau menuruti perintah iblis di depannya ini tapi ia tidak mau menambah siksaan yang akan ia terima. Langkahnya begitu lemas, getaran di tubuhnya semakin kuat. "Bisakah kau lebih cepat?!" Kesal Hans karena ia sudah 8 meter di depan Lucy. Lucy melangkah secepat yang ia bisa tapi itu malah membuat Hans jengah. Hans menghampirinya dan menjambak rambut Lucy yang kusut. "Akhh" "Kau-" Hans tercekat melihat penampilan Lucy yang jauh berbeda yang biasanya rapi, bersih, cantik, dan wangi. Tapi kini, kulitnya terdapat banyak debu, bibirnya yang sexy berubah menjadi pucat dan pecah-pecah, rambutnya yang halus menjadi kusut, pakaian yang ia kenakan pun kumal, baunya pun menyengat karena selama tiga hari ini ia tidak ada mandi. Hans pun melepaskan jambakannya lantaran jijik menyentuh Lucy, ia bahkan mengambil sapu tangan untuk melap tangannya. "Vica!" teriak Hans, saat ini mereka berdua berada di dalam rumah. Vica adalah pelayan paling cantik di rumah itu. Wajahnya bagaikan model papan atas dunia. Pelayan bernama Vica itu segera menampakkan diri, padahal ia masih membersihkan teras. "Iya, tuan?" "Bersihkan sampah ini." Hans mendorong Lucy ke arah Vica dan refleks Vica menangkapnya, "Jika kau kesulitan, suruh pelayan lain membantumu. Oh ya, buat dia sebersih mungkin." "Baik, tuan" Setelah Hans pergi, Vica tersenyum lembut pada Lucy dan menatapnya miris. "Ayo." Di pertengahan jalan Vica menyadari kalau tubuh Lucy bergetar cukup kuat, "Ada apa denganmu?" tanya Vica khawatir. Lucy hanya menjatuhkan airmatanya karena tidak memiliki tenaga untuk bicara. Vica menatapnya miris dan membawanya ke kamar mandi dan diikuti oleh beberapa pelayan lain. "Agnes dan Claudya, bisa kalian tolong ambilkan makanan di dapur? Ia sama sekali belum makan." Keduanya mengangguk dan segera pergi, Vica menyalakan shower pada Bathub panas dan dingin secara bersamaan, setelah penuh dengan tiga perempatnya, Vica menuangkan shower gel ke ember dan menaruh shower head ke ember lalu menyalakannya. Lucy nampak takjub melihat pembuatan bubble bath di depan matanya. Vica membantu Lucy melepas pakaiannya tapi Lucy menggeleng. Vica dan pelayan lainnya pun mengerti dan segera menunggu di luar. "Kalian.... bo-leh masuk" ucap Lucy setelah selang beberapa menit. Vica, Agnes, Claudya dan pelayan lain masuk melihat Lucy tampak tengah berendam di dalam bubble bath. Agnes menyuapi Lucy dengan salah satu sandwitch yang dibawanya. Lucy mengambil sandwitch itu dan berterima kasih lalu melahapnya. Vica mengambil shower head dan membasahi rambut Lucy lalu mengkeramasnya. Setelah selesai dengan sandwitch, Lucy diberikan s**u putih segar dan disuapi anggur hitam oleh Agnes. "Biar aku sendiri." tolak Lucy halus. "Tidak, karena tanganmu akan dibersihkan." Lucy hanya pasrah, tangan, kaki kanan dan kirinya dibasuh oleh masing-masing satu pelayan, rambutnya dikeramas, makan pun disuapi. Ia bagaikan ratu, tidak ia tidak bahagia ia merasa kesal. Mereka juga manusia bukan? mereka juga punya harga diri. Mengapa Hans memperalat mereka hingga seperti ini? Kebencian Lucy semakin besar pada iblis itu. ★ ★ ★ ★ ★ ★ Hans memasuki rumahnya dan duduk di sofa, pelayan pun datang memberinya kopi. Hans menatap pelayan itu dari atas hingga bawah kaki. "Permisi, tua-" "Tunggu," Hans menyilangkan kakinya, "Mendekatlah." Pelayan itu mendekat, Hans mulai bertanya lagi. "Kau pelayan baru?" "Iya, tuan." jantungnya mulai marathon karena majikan yang di hadapannya ini bisa saja melakukan apa pun padanya. Ya, apa pun. Hans menyeringai sedikit. Brak! "Aw!" pekiknya tertahan saat Hans menarik rahangnya dengan keras sehingga ia jatuh kehilangan keseimbangan. "Kau bisa melihat jam kan?" Tanya Hans dengan seringai khasnya, "Kau memberiku kopi di pagi hari?" Gadis itu menjatuhkan airmatanya, "Maaf, tuan." Hans melepas cengkramannya dari wajah pelayan itu dan memberikan paperbag, "Berikan ini untuk jalang itu." Pelayan itu mengangguk dan segera mencari Lucy. Sampailah ia di kamar mandi utama, ia mengetuk pintu dan dibukakan oleh Claudya. "Berikan ini pada gadis itu." "Apa itu?" tanya Claudya. "Tuan yang memberikannya." Claudya mengangguk dan membuka paperbag itu berisi pakaian dalam bermerk Oscar De La Renta, gaun pendek bermerk D&G asli juga sepatu bermerk Prada. Semua merk ternama dan papan atas dunia. Claudya kembali masuk melihat Lucy memakai baju handuk. Untung saja kamar mandi itu memiliki satu ruangan lagi di dalamnya untuk berganti baju. Setelah Lucy selesai ganti baju ia dibantu Vica dan pelayan lain ke kamar barunya. Lucy dibaringkan di tempat tidur dan Vica menyelimutinya. "Mengapa aku dikeluarkan dari penjara itu?" "Jangan bertanya pada kami, kami hanya pelayan di sini. Tidurlah." "Terima kasih, Vica" Vica membulatkan matanya dan tersenyum lembut, "Bagaimana bisa kau ingat namaku?" Lucy menatapnya bingung, "Apa maksudmu?" "Aku hanya pelayan." "Kau juga manusia, Vica." "Terima kasih, tidurlah." Lucy menarik selimutnya dan menutup matanya. Vica dan pelayan lain pun keluar dan melanjutkan pekerjaan mereka masing-masing. Byur! "Kebakaran! Kebakaran! Kebakaran!" Latah Lucy dengan bahasa Indonesia. "Kau pikir siapa kau? Bisa tidur sesukamu." Pria berahang tegas itu melempar ember yang ia pegang ke lantai. Lucy hanya diam menatap benci pria yang ada di hadapannya, matanya beralih pada jam di dinding yang menunjukkan pukul 08:03 PM. "Mandi sekarang." perintah Hans santai. Lucy tidak mengindahkan perkataan Hans ia hanya diam di tempat masih menatap benci sosok yang ada di depannya. "Aw!" Rintih Lucy saat Hans menjambak rambutnya dan menyeretnya keluar kamar, airmatanya menetes dan segera menyekanya. "Apa maumu, b******n?" Plak! Satu tamparan mendarat mulus di pipi Lucy, "Jaga bicaramu, jalang" Hans menatap rumah megahnya, "Vica!" Pelayan bernama Vica segera berlari menghadap tuannya sambil memakai celemek dan perlengkapan maid-nya tampaknya ia baru selesai mandi terlihat dari rambutnya yang masih basah. "Iya, tuan?" Jawabnya sembari menunduk. Hans melempar Lucy kepada Vica untuk yang kedua kalinya, "She would be going with me" Hans meninggalkan mereka berdua, Lucy memeluk Vica dan menarik kedua tangannya. "Kumohon bertahu aku jalan keluar!" "Maaf...." "Baiklah, jika kau tidak mau aku akan cari sendiri!" Lucy menghempas tangan Vica dan beranjak ingin pergi tetapi tangannya ditarik oleh Vica. "Menurut saja pada tuan." Lucy menatap heran gadis cantik itu, "Kenapa?!" "Jika kau berulah kami semua kena imbasnya." Vica menatap Lucy dengan tatapan sedih. Lucy menunduk dan mengangguk, ia pasrah. Apakah New York sangat mengerikan seperti ini? ★ ★ ★ ★ ★ ★ Cermin besar memantulkan bayangan ketiga sosok gadis cantik di hadapannya, gadis berambut pirang menata rias wajah gadis berwajah oriental, dan gadis berambut coklat menata rambut gadis berwajah oriental itu juga. "Vica.... " panggil gadis berwajah oriental. "Ya?" Sahut gadis berambut pirang. "Apa maksudmu kalian kena imbasnya?" Tanyanya. Gadis berambut coklat menatap kesal gadis bernama Vica tersebut, "Kau bilang apa padanya?" "Percayalah gadis ini-" belum sempat Vica menyelesaikan perkataannya sudah dipotong oleh gadis berambut coklat yang tak lain adalah Claudya. "Kau ingin kita mati? Oh astaga-" "Tidak- bukan-" "Kalau ini sampai tersebar-" "Tidak akan-" "Vica-" Mereka terus saling memotong pembicaraan dengan suara nyaring yang tak lain berdebat. "Diam!" Teriak Lucy jengah, "Jelaskan padaku." Claudya menatap miris ke arah Vica, Lucy menatap lurus ke dalam mata Vica. "Kau tahu pekerjaan tuan kami?" Tanya Vica lembut. "Tidak" Ya, Lucy cukup bingung dengan pekerjaan Hans. Bagaimana warga negara biasa mempunyai senjata? Bagaimana warga negara biasa mempunyai penjara di mansionnya? "Dia-" Brak! "Selesai bergosipnya?" Tanya Hans dengan sorot mata sedingin es. Kedatangannya mengundang kedinginan dan menjadi canggung. "M-maaf, ini sudah selesai tuan.... kami permisi." Hans menatap dingin kedua pelayannya itu dan beralih menatap Lucy. Tampilan Hans tidak bisa dipungkiri saat ini ia benar-benar tampan dengan tuxedo hitamnya. Lucy bangkit dari kursinya dan menjatuhkan airmata. "Sebenarnya apa maumu dariku?" Tanya Lucy pelan, tatapannya lurus ke dalam mata Hans. Hans tidak menjawabnya langsung menarik tangan mulus gadis itu. "Jawab aku, Hans.... apa aku punya salah padamu?" Tanya Lucy pasrah ditarik oleh Hans. "Tutup mulutmu." ★ ★ ★ ★ ★ ★ "Apa yang akan kau lakukan padaku?" Tanya Lucy pada Hans yang tengah mengemudikan mobil Lamborghini Reventon-nya. Lamborghini Reventon mobil dengan harga $2 million tersebut, memiliki mesin V12 berkapasitas 6.5 liter yang mampu menghasilkan tenaga maksimum mencapai 650 horse power, dan berakselerasi dari 0-100 km/jam dalam waktu hanya 3.4 detik. Untuk top speed yang mampu diraih supercar ini mencapai 330 km/jam berkat mesin 12 silender. Yang tak kalah istimewa,  Lamborghini Reventon dibuat dalam jumlah terbatas, dan hanya dibuat 20 unit saja. "Lucy.... " panggil Hans dengan suara beratnya, "Jangan buat aku menutup mulutmu secara paksa." "Jika benar aku punya salah padamu maka aku akan pasrah tapi tolong jelaskan padaku apa salahku." Cit! Suara decitan ban mobil yang berarti telah sampai tujuan. Di sana nampak puluhan mobil ternama di dunia terparkir rapi di sana seperti Aston Martin, Zenvo, Ferrari, Lamborghini, BMW dan mobil bermerk lainnya. "Turun." suara berat Hans memerintah. Lucy keluar dari mobil meremas gaun putihnya, Hans keluar dari mobil dan melonggarkan dasinya kemudian member kode tangannya agar digandeng mesra oleh Lucy. "Excuse me?" Lucy menatap heran Hans. Hans memutar kedua bola matanya dan menaruh tangan Lucy di pergelangan sikutnya. "Beraktinglah bahwa kau tunanganku." "Apa?!" Hans mengalihkan pandangannya pada Lucy dengan tajam. Gadis berwajah oriental itu hanya diam patuh. "Matamu bengkak, sialan." Hans menautkan kedua alisnya. Lucy mengabaikannya, mungkin ini tempat yang ditakdirkan untuknya kabur. Gadis itu terus melangkah bersama pria di sampingnya, ketiga pria kurang lebih berumur seperti Hans mendekati mereka berdua. "Welcome, Mr.Stone senang bertemu dengan anda." sapa pria berkemeja biru. "Tak kusangka kau akan membawa gadismu ke sini." ujar pria berdasi merah. Hans menyeringai sedikit, "Gadisku? Dia tunanganku." "Woah! Tunanganmu ini sungguh cantik." seringai pria berkemeja biru. Pria berkemeja putih menyeringai, "Cocok sekali." Hans menatap dingin pria berkemeja putih itu, Lucy menatap kedua pria itu kedua pandangan mereka terlihat sangat dingin dan mencekam seringai dari keduanya pun terlihat mengerikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD