4. You aren't a Human

1324 Words
Pria berkemeja putih menyeringai, "Cocok sekali." Hans menatap dingin pria berkemeja putih itu, Lucy menatap kedua pria itu kedua pandangan mereka terlihat sangat dingin dan mencekam seringai dari keduanya pun terlihat mengerikan. Lucy sedikit menekuk keningnya dan mengedarkan pengelihatannya. Pesta, pesta ini sungguh besar dan tergolong pesta berkelas. Hans menarik tangan Lucy dan pergi. "Hans?" Yang dipanggil masa bodo hanya menatap lurus ke depan sambil melangkah. Lucy Setya Febriana Point of View. Aku yang layaknya boneka hanya mengikuti iblis ini dengan patuh tanpa membantah, langkahnya berhenti saat berada di kumpulan orang-orang kelas atas. Iblis ini memeluk wanita cantik dengan wajah yang serupa dengannya. "I miss you, dear. This is your ekhem...?" Tanya wanita itu menatap sinis diriku. "My slut" jawab Hans, bagaikan petir menyambar langsung tubuhku hingga kaku. Apa maksudnya? Dia memperkenalkanku pada kerabatnya aku adalah tunangannya dan sekarang ia memperkenalkanku pada keluarganya sebagai pelacurnya? Dasar bajingan Aku memutar kedua bola mataku jengah dan aku terkejut saat mataku mendapati sosok yang sangat aku kenal di sana, tapi aku ragu. Aku menyipitkan kedua mataku meneliti sosok itu. "Lucyyyy" Greb! Tubuhku mati rasa saat seorang gadis memelukku dengan erat hingga aku sulit bernapas rasanya. Aroma khas ini.... "Chelsea?!" Aku kaget sekaligus bahagia. "Oh astaga Lucy aku sangat merindukanmu! Ke mana saja kau? Dan bagaimana kau bisa masuk di dalam pesta ini?" Tanyanya melepas pelukan. Aku meneguk saliva-ku pertanyaan ini akan membunuhku, "I-itu...." Aku memang tidak ingin melanjutkan kalimatku karena jika Hans tahu aku mengadu pada Chelsea tamatlah aku. "Excuse me." Suara berat itu menggelitik kupingku bersumber dari arah belakang segera aku menoleh. Mataku membulat sempurna, jantungku berdegub kencang, bibirku sedikit terbuka sangking kagetnya. Dia? Ia tersenyum dengan tampannya tapi sorot matanya mengartikan sesuatu, "Apa kau Lucy?" Diriku mengangguk tanpa kusadari bibirku perlahan terbuka, "Leon?" Dengan sendirinya bibirku berucap tanpa seijinku. Pria itu mengangguk dan tersenyum, jantungku berdetak dua kali lebih cepat, airmataku tidak dapat lagi kubendung akhirnya jatuh begitu saja. "Aku merindukanmu.... sangat." ucapku menutup wajahku dengan kedua tanganku. "Aku juga, sahabatku. " ucapnya memelukku dengan lembut. Tiga detik baru kurasakan kehangatan seseorang yang memelukku kini sudah jatuh tersungkur di lantai. Hans Stone Point of View. Aku memutar kedua bola mataku jengah mendengar ocehan kakek tua yang ada di hadapanku. Semua orangtua menceritakan padaku bahwa putri mereka adalah gadis yang paling hebat, paling cantik, paling baik. Itu membuatku hendak muntah. "Hans." panggil Alex yang membuat kakek tua itu berhenti bicara. Aku langsung pergi tanpa berpamitan dengan si tua itu untung saja Alex memanggilku. "Mr.Nicholas mencarimu." Aku memutar mataku, "Kalau soal gadis lagi katakan padanya-" "Bukan." potong Alex cepat. Aku menaikkan alis kananku dan Alex menghela napas gusar, "Soal harta ayahmu" Aku menyeringai tipis dan langsung melangkah mengikuti Alex. Mr.Nicholas memberiku beberapa map tebal yang langsung disambut dengan tanganku. "Itu adalah surat-surat 1 gedung dan 5 restaurant yang dimiliki ayahmu" Aku menyeringai tipis, semua begitu mudah dan berjalan sesuai rencanaku. Puk! Aku merasa seseorang menepuk pundakku, ekspresiku kembali seperti semula dan menoleh mendapati Malvin yang mengarahkan dagunya menunjuk sesuatu yang membuatku naik darah. "Itu tunangan Mr.Stone?" "Dia berpelukan dengan pria lain ya ampun pria itu juga tampan bukan main." "Gadis tidak tahu diuntung, mengambil kedua pria tampan." "Apa dia p*****r?" "Apa yang dilakukan gadis itu sehingga Mr.Stone bisa menyukai orang seperti dirinya?" "Apa benar dia tunangan Mr.Stone?" Amarahku memuncak mendengar hinaan yang terlontar untukku, menjatuhkan harga diriku. Dengan gerakan cepat aku menarik kerah b******n itu dan memukul rahangnya dengan keras. Saat ia terjatuh aku baru menyadari si rambut blonde ini ternyata Leon. Aku menyunggingkan seringai khasku. "Dengan cara merebut tunanganku ini kau pikir akan membuatku jatuh, Mr.Carltons?" Sengaja kutekan pada kalimat tunangan agar ia tahu jangan menyentuh milikku seenaknya. Ia terkekeh pelan dan menjilat sudut bibirnya yang sedikit berdarah kemudian bangkit dan tersenyum, "Aku benar-benar tidak tahu kalau dia adalah tunanganmu, Mr.Stone." Aku menatapnya dingin kemudian memberikan seringai khasku, "Dan sekarang kau tahu." End of Hans Stone Point of View. Lucy menatap kedua pria yang ada di hadapannya ini layaknya melihat iblis dan malaikat tengah bertengkar. Gadis itu masih tidak percaya yang berdiri di hadapannya itu adalah Leon. Ia menghela napas gusar pertengkaran ini membuang waktunya untuk berbicara dengan Leon. "Hans, kumohon biarkan aku bicara dengannya sebentar setelah ini aku akan menuruti semua kemauanmu." Hans menatapnya dingin, "No." "Kumohon Hans, jangan memperumit keadaan." Lucy menjatuhkan bulir beningnya. Hans mendecih, "Dia yang memperumit keadaan." ia menarik paksa Lucy untuk pergi, "Stay away from us." Gadis itu menangis dan meronta-ronta, Hans membawanya ke dalam mobil mewahnya dan melaju secepat kilat. Baru saja ia ingin bertemu seseorang yang sangat ia kenal dan hendak mengobrol dengannya namun harapannya pupus karena Hans. Dasar iblis! Hans menatap murka terhadap gadis yang ada di hadapannya. Hembusan napasnya naik turun tak terkendali. "Dibayar berapa kau oleh b******n itu, hah?" Kesalnya memenuhi ruangan. Gadis itu menangis, "Dia temanku! Dia-" "Semua karna uang, bukan?" Hans mengeluarkan dompetnya dan melempar beberapa lembar $100 di hadapan wajahnya. Lucy menangis ia frustasi bagaimana menghadapi sosok di hadapannya ini. "Beraninya kau menurunkan harga diriku!" Hans mencengkram rahang gadis itu kuat. "Apa maksudmu? Kau yang menurunkan harga diriku!" belanya sekuat tenaga. "Jangan kau berani macam-macam atau kau habis!" Ancam Hans menghempas dagu Lucy dan pergi. "Aaaaaa!" Teriak Lucy frustasi. Ia bingung mengapa pria itu tidak memiliki hati? Mengapa ia begitu egois dan kejam? "Leon!!" Teriaknya terduduk pasrah. Ia segera menyeka airmatanya dan berusaha untuk kabur dari mansion Hans tapi baru sekitar empat belas langkah ia sudah tertangkap oleh penjaga rumah Hans. Lucy menangis di queen size-nya dan sesekali meneriakan nama Leon. ★ ★ ★ ★ ★ ★ Pria berahang tegas itu menatap dingin lawan bicaranya, ia melepas kancing jasnya. "Dua puluh Smith&Wesson 500 Magnum." ujar pria di sebrang sana. Smith&Wesson 500 Magnum adalah pistol brkemampuan kecepatan pelurunya yang bisa menembus angka 2.075 kaki per detiknya. Kemampuannya memang sangat dahsyat, entah dari kecepatannya, mekanisme, sampai daya hancurnya yang luar biasa. "Semua ada di koperku, need anything else?" ucap Hans mengkodekan anak buahnya untuk membuka koper hitamnya. Pria di sebrang sana membuka bibirnya untuk berbicara, "2kg Kokain dan 10kg opium" Hans menutup matanya dan menghitung jumlahnya, "$740.000." Sang lawan bicara mengeluarkan buku cek, "Apa kau masih tidak mau cek Mr-" "Tidak." potong Hans tegas. Pria itu tersenyum dan mengeluarkan koper hitamnya kemudian memberikannya-melemparnya pada Hans. "Kau tidak berubah, Mr.Stone." Hans memberikan-melempar ketiga koper itu dan kedua belah pihak memeriksa koper masing-masing setelah memastikan bahwa barang kedua belah pihak itu asli dan tidak ada yang palsu, keduanya pun pergi meninggalkan tempatnya masing-masing. Hans dengan tenang mengendarai mobilnya sampainya ia di kediamannya, ia membasuh diri dan menonton TV di kamarnya. Siaran itu membuat Hans sedikit terkejut. "Gadis yang berasal dari Indonesia bernama Lucy Setya Febriana dinyatakan hilang, kedua orangtuanya melapor pada polisi." tutur sang pembawa berita itu, kemudian menampakkan gambar kedua orangtua dari gadis itu. "Aku mohon, siapapun yang berhasil menemukan anakku akan aku tebus $100,000 sudah seminggu kami tidak mendapat kabarnya dan kami berkunjungpun ia tidak ada di rumah." ucap sang ibu menangis sambil memeluk suaminya. Hans menaikkan alis kanannya kemudian daun pintu kamarnya terbuka lebar membuatnya kesal. "Hans, kedua orangtuaku mencariku! Kumohon kembalikan aku!" Hans menekan tombol power di remote-nya dan melipat kedua tangannya tidak mengindahkan perkataan Lucy. "Ibuku akan membayarmu $100,000!" "$100,000 bukan apa-apa untukku." ucap Hans santai. Lucy mengacak-acak rambutnya frustasi, "Apa gunanya untukmu menahanku di sini?!" Hans berdiri dan menyeringai kemudian perlahan mendekat pada Lucy, Lucy yang ketakutan mundur beberapa langkah hingga punggungnya menempel pada dinding, Hans menyentuh pipi mulus Lucy dan tersenyum simpul. "Ken!" Panggil Hans. Kemudian pria bernama Ken itu datang ke kamar Hans. Hans kembali menatap Lucy dan menyeringai lagi. "Penjarakan kambing hitam ini." Sebulir bening jatuh dari pelupuk matanya pasrah ditarik menuju jeruji besi yang akan kembali ditempati lagi. Hans menatap dingin kepergian Lucy dan menelpon seseorang perlahan senyum tipis menghiasi bibirnya sorot matanya yang dingin berubah menjadi hangat. "Aku akan segera ke sana." "..." "Aku tahu, maafkan aku." "..." "Beri aku sepuluh menit." "..." "See you." senyum tak lepas dari bibirnya yang sexy.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD