Bab. 10

1206 Words
Jingga bergerak cepat mengambil helaian kain tipis yang ia simpan di almari. Kain transparan tipis dengan hiasan renda di beberapa sisinya, kain yang biasa disebut sebagai baju dinasnya seorang istri yang konon sangat disukai kaum pria utamanya para suami. Baru semalam kain itu menempati tempatnya, tapi setelah mendengar perkataan Atha barusan malah membuatnya malu sendiri, membuat Jingga harus menyingkirkan semua benda itu dari sana. Sebagai perempuan yang sedikitnya paham ilmu agama, tadinya Jingga mengoleksi lingerie itu demi bisa menyenangkan hati suaminya, tapi sekali lagi pendapatnya harus terbantahkan. Mungkin hal itu hanya berlaku untuk sepasang suami istri yang saling mencintai, dan bukan untuk kasus perjodohan seperti yang dialaminya. Akan tetapi dirinya tak bersalah, Jingga merasa telah dengan segenap hati menerima pernikahan ini dan bertekad untuk menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. "Aku kira kamu sudah tidur." Atha berdiri di ambang pintu menatap Jingga yang untungnya sudah selesai membereskan kain kurang bahan itu. 'Mungkin lain waktu memang sebaiknya aku berpura-pura tidur saja. Sepertinya dia merasa terganggu dengan adanya aku di sini.' "Aku baru mau tidur." Jingga merangsak naik ke pembaringan dan merebah. "Nanti kalau kamu butuh sesuatu tinggal bangunkan aku saja," Ucapnya lagi menaikan selimut tanpa melepas kerudungnya. Atha hendak berkata mengapa istrinya itu tidur dengan tetap memakai hijab, tapi kemudian urung dia tanyakan karena berpikir istrinya itu masih belum terbiasa. 'Maafkan hambamu ini ya Allah. Tidak ada istri shalihah yang saat tidur membelakangi suaminya, tapi demi Allah aku hanya tak ingin membuat suamiku merasa tidak nyaman saat berada di dekatku.' Jingga memejamkan matanya, ingin rasanya malam cepat berlalu. Jika saja masih diperbolehkan dirinya tidur di tempat terpisah dengan Atha, akan dia lakukan semata demi menjaga perasaan Atha. Jingga merasakan ruang kosong di sampingnya terisi, tapi tak berani membuka matanya. Wanita itu tahu suaminya belum tidur karena cahaya yang bersumber dari layar ponsel masih bisa terlihat. Saya kangen sama bapak. Cutinya jangan lama-lama ya pak, saya galau ditinggal bapak di kantor sendirian. Atha menggeleng membaca barisan pesan yang dikirim Mayang untuknya, senyuman tipis membingkai wajahnya. Tanpa membalas pesan itu, Atha mematikan gawai dan bersiap pergi tidur. Wanita itu selalu saja membuatnya tak karuan. Atha berusaha mengenyahkan bayangan Mayang dari kepalanya. Pagi kedua Jingga menjadi menantu di rumah itu, wanita itu melakukan rutinitasnya seperti biasa. Jingga menyajikan secangkir teh untuk suami dan ibu mertuanya dan berlanjut membantu Surti menyiapkan sarapan. "Nak, apa tidak sebaiknya kamu kembali ke kamarmu saja? Temani suamimu." Jingga terpaku mendengar perintah Nania, lalu perlahan wanita tua itu mendekat sambil mendorong kursi rodanya menghampiri Jingga. "Kalau tidak saling mencoba terbuka satu sama lain, bagaimana kalian bisa dekat?" Mengambil alih pisau di tangan Jingga. "Kembalilah ke kamarmu." "Iya, Bu." Jingga menarik napas panjang menaiki satu per satu anak tangga yang membelit bangunan berlantai dua tersebut. Rasanya menjadi serba salah, mau mendekati Atha takut dikira perempuan tidak tahu malu, tapi jika dirinya terlalu abai juga Jingga takut akan dicap sebagai istri yang membangkang. Jingga mengumpulkan segenap kekuatannya, tangannya sedikit bergetar memegang gagang pintu seolah dia hendak memasuki tempat yang menakutkan. Tak peduli sebanyak apa pun Jingga mengucap kalimat thayibah dalam hati demi mengusir rasa gugupnya, akan tetapi perasaan itu tak sepenuhnya lenyap. "Astaghfirullah, maaf Mas." Jingga membuang muka karena tepat saat daun pintu terbuka ia melihat suaminya tengah berganti pakaian. "Nggak apa-apa, ini juga sudah selesai. Masuk saja Ngga." Jingga masih membatu di tempatnya. "Masuk, Ngga," Ucap Atha. "Iya, Mas." "Mau apa?" Tatapan keduanya saling bertemu. 'Hah? Apa pantas seorang suami bertanya pada istrinya seperti itu saat istrinya memasuki kamar mereka?' Jingga menjerit dalam hati, jika bisa dia akan memilih untuk melarikan diri saja dari ruangan itu akan tetapi dia sudah terlanjur masuk. *** "Pengantin baru itu seharusnya berduaan di kamar, jalan-jalan atau makan malam romantis di luar. Ibu perhatikan sejak menikah kamu malah mengeram di ruang kerja. Sia-sia saja kamu ambil cuti Tha." Nania mengomeli anak semata wayangnya. Malam itu sehabis makan malam, keluarga kecil itu berkumpul di ruang tengah untuk berbincang. Seperti biasa, Jingga hanya duduk diam menjadi penyimak saat ibu dan anak itu tengah bercengkerama. "Kan aku sudah bilang Bu kalau aku nggak bisa seratus persen ninggalin kerjaan aku, dan lagi menjelang akhir tahun begini ada banyak pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Aku bahkan harus mulai masuk kantor besok." Atha menyahut. "Besok? Secepat itu?" Nania melotot tak percaya. "Cuti nikahku kan sudah habis Bu, lagi pula seminggu di rumah juga aku merasa bosan karena tidak melakukan apa-apa," Dalih Atha. 'Sudah dapat dipastikan kalau mereka berdua belum melakukannya sampai sekarang. Anakku memang bodoh, diberi perempuan shalihah yang cantik dan pandai menjaga diri malah dianggurkan. Kalau menunggu cinta dulu baru melakukannya maka ini tidak bisa diharapkan. Kapan anak itu akan menyadari prinsipnya, dia selalu saja berpikir jika apa yang dikatakannya itu benar.' "Aku akan cari waktu yang tepat agar kami bisa bulan madu, Bu. Kemungkinan habis tahun baru biar aku nggak terlalu repot bagi waktu." "Ibu sampai tidak bisa membedakan yang mana karyawan dan yang mana pemilik perusahaan." Nania mencebik. "Justru pemilik perusahaan itu jauh lebih sibuk dan pusing karena bekerja di bawah tekanan dan ada begitu banyak hal yang harus diurus," Timpal Atha. "Kamu diam saja Ngga? Nggak protes sama suami kamu ini yang sibuk terus dengan pekerjaannya dan nggak bisa kasih waktu buat kamu?" Nania berganti menatap menantunya. "Aku bisa maklum Bu, Mas Atha kan sibuk dan pekerjaannya sudah pasti banyak." Jingga menyahut. "Tuh dengerin istrimu ngomong, Tha. Beruntung kamu punya istri pengertian seperti Jingga." 'Ibu nggak tahu saja kalau sebenarnya Mas Atha masih belum nyaman berada dekat denganku.' Jingga meremas jari jemarinya. Hubungan suami istri itu sama sekali tak mengalami peningkatan bahkan setelah seminggu keduanya menikah. "Aku minta maaf ya Ngga," Kata Atha, sesaat setelah mereka berbaring di ranjang. "Maaf untuk apa?" "Maaf karena belum bisa kasih kamu nafkah batin," Ucap Atha terus terang. "Enggak apa-apa Mas, nggak usah merasa bersalah begitu lagi pula bukankah untuk melakukannya dibutuhkan cinta dari masing-masing pasangan? Hubungan suami istri itu harus didasari atas suka sama suka, dan tidak bisa dilakukan hanya karena satu pihak saja yang menginginkannya. Alih-alih mendapatkan pahala atas amal ibadah yang kita perbuat, yang ada malah kita diganjar dosa." Atha membisu, ucapan Jingga sanggup menohok hatinya. "Semua itu dilakukan berdasarkan keyakinan kita Mas, bukan hanya dilihat dari sudut pandang kita saja." Lagi, Jingga berkata. "Karena apa yang akan terjadi, adalah apa yang kita yakini. Siapa pun, termasuk aku bahkan nggak bisa memaksa kamu jika memang kamu tidak yakin." Atha benar-benar dibuat kalah telak. Istrinya itu memang terkenal pendiam dan baru akan bicara jika untuk sesuatu yang penting akan tetapi sekali dia bicara, maka Jingga bahkan dengan mudah menghancurkan karang sekalipun hanya dengan lisannya saja. Telah cukup lama Atha berbaring, memaksa matanya untuk terpejam tapi sedikit pun kantuk tak juga singgah. Ucapan Jingga terus terngiang di benaknya, dan ia membenarkannya. Tidak seharusnya dirinya bersikap pengecut yang bahkan mempertahankan prinsipnya yang jelas salah. Dia yang sudah meminta Jingga untuk menjadi istrinya dengan menyetujui perjodohan itu. Jika Jingga saja ikhlas menjalani perannya sebagai seorang istri dan senantiasa melakukan apa yang menjadi kewajibannya, lantas mengapa dirinya malah sibuk berkutat dengan dunianya sendiri dengan dalih menunggu cinta itu datang. Padahal sudah jelas, cinta mustahil datang jika Atha masih membentengi dirinya, dengan secara tidak sengaja menolak segala bentuk perhatian Jingga yang hingga detik ini bahkan masih melakukan hal kecil demi mencuri hatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD