Bab. 11

1614 Words
Atha tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini, Jingga tengah sibuk menyiapkan semua keperluannya. Perempuan itu bersikap biasa saja seolah tak terjadi sesuatu sebelumnya. "Air buat mandinya sudah aku siapkan, kamu tinggal menyesuaikan saja kalau dirasa airnya terlalu panas," Kata Jingga pagi itu. Atha menjawab dengan sebuah anggukan, lalu tanpa berkata kembali Jingga meninggalkan suaminya untuk mengurus Nania. Atha mencelupkan jarinya pada kubangan air dalam bak mandi, dan langsung menceburkan diri begitu memastikan suhunya pas. Atha tak mau terlambat di hari pertamanya kembali masuk kantor. "Bahkan hal terkecil seperti pakaian dalam dan kaos kaki pun dia siapkan? Apa benar yang dikatakan ibu kalau aku ini suami dzalim?" Atha mengambil sehelai kain yang disiapkan Jingga di atas kasur dan mulai memakainya. "Pilihannya juga nggak buruk," Gumam Atha memindai penampilannya di depan cermin. Sabuk telah terpasang, kaos kaki dan sepatu juga telah melekat di telapak kaki Atha. Lelaki itu mengambil dasi dan bersiap memakainya akan tetapi mendadak dia teringat akan satu hal. Atha melekuk senyum, mengambil tas kerjanya dan turun ke lantai dasar untuk menemui Jingga. "Ngga." Atha begitu bersemangat menghampiri istrinya di dapur, tapi perempuan itu tak ada di sana. "Eh, Mas Atha." Surti yang sedang memasak, kaget melihat kedatangan majikannya. "Jingga mana Bi?" "Masih di kamar ibu sepertinya." "Ya sudah." Atha mempercepat langkahnya menuju kamar Nania, dan benar saja ternyata Jingga sedang berada di sana. Jingga sedang membantu memakaikan baju pada ibu mertuanya. Melihat itu membuat Atha kembali serasa disentil. Pantas saja Nania begitu menyayangi Jingga karena perempuan itu memang selalu tulus pada semua orang. "Ada apa Tha? Kenapa berdiri di situ, ayo masuk." Nania dapat melihat anaknya berjalan mendekat dari pantulan cermin. Jingga sedang menyisir rambutnya sekarang. "Sepertinya suamimu membutuhkanmu, Nak." Jingga menoleh menatap suaminya. "Ada apa Mas? Apa ada sesuatu yang terlewat aku siapkan tadi?" Atha terlihat berat untuk sekedar berucap, ia tampak sangat gugup hingga Nania mentertawakan tingkahnya. "Hm, it ... Itu, Ngga." Atha mengusap tengkuknya salah tingkah. "Itu apa? Sudah seperti anak kecil yang baru latihan bicara saja. Bicara yang jelas." Nania menyela. "Anu, ini ...," Atha mengutuk dirinya yang mendadak terlihat seperti orang bodoh. "Bisa tolong kamu pakaikan dasinya sekalian?" Atha menyodorkan sehelai kain polos berwarna maroon pada Jingga. "Mau minta dipasangkan dasi saja sudah seperti mau minta cium Tha, Tha. Pakai acara malu segala." "Ibu." Atha mendesis, makin merah saja wajahnya karena malu. "Ya, ya. Sudah sana Ngga, urus suamimu. Ibu mau pura-pura nggak lihat saja lah. Takut Atha tambah malu nanti." Nania terkekeh. Ia senang karena Atha sudah mulai menunjukkan perubahan. "Ibu." Tawa Nania makin menjadi karena tak tahan melihat tingkah lucu Atha yang persis seperti remaja sedang kasmaran, malu-malu tapi mau. Jingga memangkas jarak, menerima kain yang diberikan Atha lalu mulai membuat simpul dasi pada kerah kemeja suaminya. Nania yang melihat menantunya sedikit kesulitan hingga harus berjinjit itu pun mengkode Atha untuk sedikit membungkuk. Atha membalas senyum ibunya dengan mengacungkan jempol. Saat pria itu menunduk, saat itulah tatapan keduanya saling bertemu. Semburat merah menyembul di kedua belah pipi Jingga, gerakannya terhenti untuk beberapa detik hingga wanita itu kembali menguasai diri usai terpukau akan ketampanan suaminya. Pun dengan Atha, belum pernah ia menemukan wanita secantik Jingga dalam balutan gamis syar'i. Selama ini, Atha hanya dekat dengan satu wanita saja yaitu Jingga karena masa mudanya dia gunakan untuk menimba ilmu dan meneruskan usaha almarhum ayahnya. Setelah drama kecil mendekati romantis itu berakhir, keluarga kecil itu sarapan bersama. Jingga membawa tas kerja suaminya dan mengantarnya sampai di ambang pintu. Atha menarik napas dalam-dalam, hendak berbicara pada istrinya tapi ia kesulitan memulainya dari mana. "Ada apa Mas?" Melihat gelagat aneh sang suami membuat Jingga memberanikan diri untuk bertanya. "Aku taruh ATM di meja rias, pinnya pakai tanggal lahir kamu. Kamu bisa pakai itu buat beli keperluan kamu." "Terima kasih." Jingga meraih tangan Atha dan menciumnya, berpikir lelaki itu masih enggan pergi karena hal itu akan tetapi Jingga keliru. "Ada lagi?" "Hm, itu ...," Atha tampak ragu mengatakannya. "Apa?" "Hm, nanti malam kamu siap-siap ya," Kata Atha, gugup. "Memang kita mau pergi ke mana?" Lagi-lagi Atha diam. Tak mungkin dia mengatakannya langsung pada Jingga kalau dia hendak meminta haknya malam ini, bukan? "Mas?" Jingga mengibaskan tangannya di depan wajah suaminya. "Eh, iya?" "Mas bilang tadi nyuruh aku siap-siap nanti malam, memang kita mau pergi ke mana?" Mengulangi pertanyaannya. "Bu ... Bukan mau pergi Ngga, maksudku." Atha menghembuskan napas kasar. "Kita, eh bukan. Aku, aku mau kita mencobanya nanti malam." Perkataan yang dilontarkan Atha sukses membuat Jingga tercenung, ia mulai paham ke mana arah pembicaraan suaminya saat ini. Wanita itu pun menunduk menyembunyikan senyumnya. "Iya, Mas." "Aku berangkat dulu. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumussalam." Atha berlari kecil memasuki mobilnya. Ia memegangi dadanya yang tiba-tiba berdebar tak karuan. "Semoga dengan aku begini Jingga nggak berpikiran yang bukan-bukan tentang aku." Kereta besi putih itu pun meninggalkan gerbang membelah jalanan. Jingga menutup pintu dan terperanjat kaget melihat ibu mertuanya sedang tersenyum padanya. "I ... Ibu, sejak kapan Ibu ada di situ?" "Sudah lama, sejak kamu cium punggung tangan suamimu, dan anak nakal itu bilang mau mendatangimu nanti malam," Cetus Nania. "Ya Allah, Ibu." Jingga tak sanggup menahan malu di hadapan mertuanya. *** Atha mengangguk, tersenyum simpul saat berpapasan dengan karyawan yang menyapanya. Ia mengayunkan kakinya dengan cepat menuju ruang kerjanya. Hari pertama kembali ke kantor, Atha akan langsung mengadakan rapat untuk mengetahui perkembangan perusahaan selagi ia cuti. Sesampainya di ruang kerjanya, Atha tertegun karena tak melihat kehadiran Mayang di sana. Biasanya sekretarisnya itu berangkat pagi dan sudah siap di meja kerjanya. Atha menoleh mencari keberadaan orang yang bisa ia tanyai, dan secara kebetulan Hana sedang melintas di depannya. "Han?" "Iya Pak?" "Mayang mana? Tumben jam segini belum datang, biasanya juga sudah sibuk ghibah dia." "Lho memangnya Bapak belum tahu? Mayang kan sedang sakit Pak," Jawab Hana. "Apa? Dia sakit? Kok nggak kasih tahu saya?" "Kurang tahu Pak, mungkin lupa." 'Nggak mungkin dia lupa ngabari saya kalau dia sakit, secara dia kan berisik banget dan selalu ganggu saya.' "Terus yang gantiin dia siapa? Padahal hari ini jadwal saya padat banget lho." "Ada Mbak Sofia untuk sementara gantiin Mayang, Pak. Kebetulan Pak Wisnu yang atur semuanya." "Oke, nanti begitu Sofia datang, suruh langsung menemui saya!" Titah Atha. "Baik, Pak." Atha melepas jasnya dan memulai pekerjaan pertamanya pagi ini sebelum rapat dimulai, ia yang teringat akan Mayang pun mencoba mengirimkan pesan pada perempuan itu. Menit demi menit berjalan dengan cepat. Atha merasa kepalanya hampir meledak karena Sofia tak bisa memenuhi ekspektasinya. Sofia begitu lambat dan pekerjaannya tak pernah ada yang beres, selalu ada saja kesalahan yang dilakukan perempuan itu hingga membuat Atha naik darah. "Baru sehari Mayang cuti, dan aku sudah dibikin kalang kabut begini. Mayang memang terkadang konyol, tapi dia nggak pernah main-main dengan pekerjaannya dan bisa diandalkan, sedangkan Sofia? Ada sekretaris model begitu, sepertinya dia sengaja mau bikin aku stres dan mati muda." Atha tak henti bersungut. Pria itu mengembalikan gelas kosong di meja usai menelan sebutir pil pereda sakit kepala. Atha lalu meraih gawainya penasaran dengan balasan pesan dari Mayang. Entah mengapa Atha merasa kecewa saat Mayang tak membalas pesannya, padahal Atha tahu pesan yang dikirimnya telah dibaca oleh Mayang. Atha menyandarkan kepalanya di bahu kursi putarnya, memijit pelipisnya yang terasa semakin berdenyut. Ia sampai melewatkan jam makan siangnya karena kekacauan yang dibuat Sofia. *** Langit telah menggelap sepenuhnya, Atha sibuk membereskan barang pribadinya dan memindahkannya ke dalam tas kerja. Lelaki itu gegas meninggalkan ruang kerjanya karena teringat akan janjinya pada Jingga tadi pagi. Ya, Atha telah memutuskan untuk mencoba melakukannya dengan Jingga. Soal lain itu urusan nanti, yang terpenting saat ini mereka bisa mewujudkan rumah tangga yang utuh sambil menunggu cinta datang dengan sendirinya. Itu yang ada dalam pikiran Atha saat ini. Saat melintasi lorong yang membawanya menuju lift, sayup-sayup Atha mendengar salah satu pegawainya sedang berbincang dengan rekannya. Sontak langkah kakinya terhenti saat ia mendengar namanya dan nama Mayang disebut. Rasa penasaran membuat Atha bertahan di sana. "Iya, dengar-dengar katanya si Mayang itu cinta mati sama bosnya, cuma kan si bos dijodohkan sama perempuan pilihan ibunya." "Iya, cantik banget lho istrinya. Jujur, lebih cantik dari Mayang." "Oh ya?" "Iya." "Sayang banget kemarin aku nggak sempat menghadiri resepsi pernikahan bos kita. Memang seperti apa perempuan yang jadi istrinya Pak Atha? Aku jadi penasaran." "Cantik banget pokoknya, perempuan tertutup pakai hijab gitu. Aku lihat orangnya juga sopan, ramah. Mayang kalah pokoknya." "Hm, padahal kalau kataku Mayang itu sudah perempuan yang paling cantik yang pernah aku lihat, ini ada yang lebih cantik lagi? Aku jadi penasaran." "Mereka cantik dalam versinya masing-masing. Kalau istrinya Pak Atha itu cantik, agamis dan sangat elegan. Kalau cantiknya Mayang itu lebih ke seksi, dan menggoda kalau kataku." "Iya. Kasihan juga ya Mayang. Pantesan dia sampe stres dan dirawat di rumah sakit saking syoknya ditinggal nikah sama orang yang sangat dia cintai." "Iya. Rencananya besok anak-anak mau datang buat jenguk dia. Kasihan. Kamu mau ikut kan?" "Ya iyalah, masa nggak ikut jenguk kan nggak enak." Dua wanita itu terus saja menceritakan tentang Mayang, tanpa mereka sadari kalau orang yang juga diceritakan dalam pembicaraan mereka tengah berdiri mendengarkan semua pembicaraan mereka. Atha kembali mengayunkan kakinya. Mendadak hatinya diliputi perasaan tak nyaman. *** Jingga sedang menemani Nania menonton acara televisi di ruang tengah saat dering ponselnya berbunyi nyaring. "Siapa Nak?" "Mas Atha, Bu." "Akhirnya setelah seharian ini sibuk dengan kerjaannya dia ingat kamu juga." Nania mendengus. "Mungkin Mas Atha sibuk banget Bu makanya dia nggak bisa kasih kabar, ini kan hari pertamanya kerja. Aku angkat dulu, Bu." Nania mengangguk, ikut penasaran dengan apa yang akan dikatakan Atha pada istrinya. "Assalamu'alaikum Mas." "Wa'alaikumussalam, Ngga. Hm, aku cuma mau kasih tahu kalau aku pulang telat." Atha menyahut di ujung telepon. "Kenapa? Mas lembur?" Jingga menatap Nania sambil tersenyum, hingga senyum itu perlahan memudar dan sepenuhnya lenyap dari wajahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD