Bab. 16

1371 Words
"Mas? Apa aku boleh tanya?" Atha yang sedang mengeringkan rambut dengan handuk kecil itu menoleh. "Soal apa?" "Kemarin kamu melakukan perjalanan bisnis ke mana?" Tatapan Jingga terus tertuju pada suaminya yang saat ini sedang duduk di meja rias, masih sambil mengeringkan rambut. "Oh, ke Bandung. Ada apa memangnya?" "Nggak apa-apa, cuma mau tanya. Kamu ke sana sama siapa?" Pertanyaan yang dilontarkan Jingga sukses membuat Atha menghentikan aktivitasnya, keduanya saling bertatapan melalui pantulan cermin. "Ya sama orang kantor, kenapa?" "Perempuan?" Lagi, Jingga bertanya. Atha membalikkan badan menatap istrinya kemudian mengangguk kecil. "Ya." Jingga tak lagi bertanya. Poin penting yang ingin dia ketahui telah terjawab sudah. Jingga tak mau banyak bertanya karena semakin dia ingin tahu dia takut hal itu hanya akan menambah rasa sakit hatinya. Dari jawaban Atha saja sudah cukup membuat Jingga membuat kesimpulan. Akan tetapi Jingga tetap berpikir positif. "Kenapa tiba-tiba kamu menanyakan hal itu?" Tangan Jingga masih menggantung di udara sebelum ia sempat menyentuh gagang pintu. "Nggak ada apa-apa." Jingga menjawab singkat. Meski permasalahan yang tengah dihadapinya itu masih abu-abu, tapi entah mengapa Jingga merasa ini bukan pertanda baik. Mustahil parfum seorang perempuan bisa tertinggal di pakaian suaminya jika mereka tidak melakukan kontak fisik. Jingga menggelengkan kepalanya beristighfar. Bayangan buruk suaminya tengah dekat dengan seorang wanita terus bergelayut di benaknya. 'Apa mungkin yang dilihat Bu Rika waktu itu benar adalah suamiku? Tapi siapa perempuan berambut panjang yang dimaksud? Mas Atha nggak punya teman dekat wanita, aku tahu itu.' "Ngga." "Eh, iya Bu?" "Melamunkan apa? Ibu panggil dari tadi nggak dengar." "Maaf Bu." Jingga kembali menyisir rambut Nania dan menyanggulnya rapi. "Sudah cantik, waktunya kita sarapan." "Tunggu, Ngga." Nania menahan tangan Jingga yang kini bertengger pada pegangan kursi rodanya. "Iya Bu?" "Duduk dulu sini, Ibu mau ngomong." Jingga menghenyakkan diri di bibir ranjang. "Memang apa yang ingin Ibu bicarakan? Keliahatan serius sekali." Nania menggenggam erat tangan menantunya, gurat kegelisahan tercetak jelas di wajahnya yang mulai tergerus usia. "Jujur sama Ibu, apa sampai sekarang kalian masih belum melakukannya?" Tak mungkin Jingga mengatakan pada Nania dan berterus terang soal rumah tangganya bukan? Suami istri ibarat pakaian yang saling menutupi satu sama lain, jika Jingga sampai mengeluarkan kata-kata yang membongkar aib suaminya sedikit saja, itu sama saja dengan menelanjangi dirinya sendiri. "Baik, Ibu anggap diamnya kamu adalah jawaban iya. Anak itu, ya Allah. Kapan anak itu akan mau mendengarkan Ibu. Ini sudah lebih dari sebulan kalian menikah, Jingga." Nania memijit keningnya, sorot matanya dipenuhi kekecewaan yang begitu mendalam. "Ibu, jangan berpikiran macam-macam. Kami belum melakukannya karena memang belum ada kesempatan Bu. Mas Atha kan sibuk, sedangkan aku baru saja kedatangan tamu bulananku saat Mas Atha pergi ke luar kota beberapa hari lalu. Kami pasti akan melakukannya Bu, dan Insya Allah kami akan memberikan cucu untuk Ibu." Kalimat seperti itu yang bisa Jingga katakan, selain untuk menghibur Ibu mertuanya, dia juga sebenarnya sedang menghibur dirinya sendiri. "Ibu malu sama kamu, Nak. Ibu yang sudah memaksa kalian untuk menikah, Ibu nggak menyangka akan seperti ini jadinya. Harapan Ibu pada anak itu terlalu besar, sampai akhirnya Ibu dibuat sakit hati sendiri." Nania mulai terisak. "Itulah mengapa kita dilarang untuk berharap pada manusia, Bu karena satu-satunya tempat kita untuk menggantungkan harapan terbaik hanya kepada Allah. Serahkan saja semuanya pada Allah, Bu. Jika doa kita belum terkabul, bukan berarti kita dihinakan, dan sebaliknya. Allah hanya sedang menguji seberapa kuat iman kita. Ibu ingat, kalau memberikan ujian pada hambaNya adalah juga salah satu tanda Allah akan menaikkan derajat umatNya?" "Ibu sungguh malu, Ngga." "Sudah, Bu. Jangan menangis. Jalan masih panjang, Ibu bisa terus mendoakan Mas Atha seperti aku mendoakannya. Jangan pernah menyesali apa yang terjadi Bu, apa lagi sampai meratap." Jingga mengusap-usap punggung Nania. "Ibu beruntung memiliki kamu," Lirih Nania. "Kamu pelita di rumah ini, pelita di hati Ibu." "Sudah ya. Sebaiknya kita makan, habis itu kita jalan-jalan biar Ibu nggak sumpek di rumah terus." Jingga harus mengakhiri pembicaraan itu sebelum Nania semakin dibuat sedih lagi. "Bukannya kamu harus di rumah ngurus suami kamu yang nakal itu?" Jingga menggeleng pelan. "Mas Atha berangkat ke kantor Bu," Ucapnya. "Apa! Anak itu sudah gila! Dia benar-benar mau bikin Ibu marah. Bawa Ibu temui dia!" Titah Nania. "Istighfar Bu, jangan menuruti hawa nafsu. Kemarahan kita adalah kemenangan bagi yang mengharapkan kita kalah Bu." Nania menangis sesenggukan memegangi keningnya. Sedikit perasaan bersalah menyusupi relung hatinya, ia pikir kehidupan rumah tangga perjodohan yang dialami anaknya akan berakhir indah seperti yang dia dan mendiang suaminya dulu rasakan. Namun, yang terjadi justru sangat jauh dari apa yang dia bayangkan. Nania sungguh sangat kecewa hingga rasa sakit hatinya melebihi sakit hati yang dialami Jingga. "Kamu nggak mau ambil cuti Tha? Memang nggak capek apa habis perjalanan jauh?" Nania menatap putranya sinis. "Ya kalau capek sih jangan ditanya Bu, capek banget malah tapi mau gimana lagi. Aku terikat tanggungjawab yang nggak bisa aku tinggalkan." Atha menaruh potongan rotinya di piring. Nafsu makannya menguap seketika. Jingga menggeleng mengkode Nania untuk tak berbicara ketika sedang makan. Suasana menjadi canggung dan mereka saling diam. "Saya benar-benar nggak tahu harus bagaimana lagi Bi. Apa perlu anak itu saya bawa ke tempat ruqyah? Sepertinya ada yang nggak beres sama anak itu." Nania mulai mengoceh. Tak lama setelah mengantar Atha ke depan, Nania meminta Jingga mengambil obatnya di kamar, menyisakan dirinya dan Surti saja di ruangan itu. "Memang Ibu pikir Mas Atha kemasukan jin?" Surti terkekeh. "Bisa saja, siapa yang tahu? Mungkin saja anakku itu bertemu dan dikejar jin dasim. Jin yang sanggup menghancurkan bahtera rumah tangga sepasang suami istri meski mereka sama sekali tidak memiliki latar belakang masalah. Ada banyak pasangan suami istri yang hidupnya adem ayem tapi tiba-tiba memutuskan untuk cerai, karena ulah jin itu. Bibi juga merasa kan kalau anak itu jadi berubah setelah menikah?" "Bibi juga merasa seperti itu Bu, tapi Bibi nggak berani ngomong di depan Non Jingga. Bibi nggak tega, takut melukai perasannya." Surti membawa peralatan makan kotor ke tempat cucian piring. "Anak itu terlalu pandai menyimpan masalahnya Bi, setiap saya menegurnya juga dia terkesan menutupi keburukan suaminya padahal saya tahu betul kalau anak saya yang salah. Atha saja yang kurang merasa beruntung. Lama-lama saya bisa darah tinggi kalau memikirkan dia." Nania terus mengomel. "Nggak boleh bicara begitu, Bu. Yang sabar. Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya." Surti menyahut. "Tapi ini sudah lebih dari sebulan Bi. Kurang sabar gimana lagi?" "Yang bisa kita lakukan hanya berdoa dan berserah diri pada Sang Pencipta. Ibaratnya mau Ibu pukulin Mas Atha sampai babak belur kalau dia nggak mau dipaksa kan sama saja bohong. Semua harus dilakukan atas dasar panggilan hati, Bu." "Bibi benar. Dari awal saya yang salah. Seandainya saja saya tidak memaksakan kehendak, Jingga kesayanganku pasti nggak akan semenderita ini," Lirih Nania penuh sesal. "Selalu ada hikmah dari setiap kejadian, jangan menyalahkan diri Ibu karena Bibi yakin semua ini pasti akan berlalu. Ada hikmah yang bisa kita petik Bu." Percakapan dua wanita itu terhenti saat mereka mendengar derap langkah kaki yang kian dekat. Jingga muncul dengan membawa botol obat di tangannya, dan seperti biasa gadis itu selalu tersenyum ceria seolah tak terjadi apa-apa. Setiap malam Jingga diperlihatkan dengan wajah lelah Atha yang menjadi sering pulang larut malam akhir-akhir ini. Mereka bahkan jarang shalat berjamaah karena hampir setiap subuh pria itu pergi ke masjid, sedangkan sejak pagi hingga malam Atha sibuk di kantor. Jangankan saling bicara dari hati ke hati yang bisa membuat hubungan keduanya menjadi lebih dekat, mereka hanya akan saling bertukar kata untuk sesuatu yang penting. Makin hari hubungan keduanya makin jauh, ada jarak tak kasat mata yang membentang tapi terasa begitu nyata. Bicara seperlunya hanya mengenai kesehatan Nania, selebihnya Atha tidur lebih dulu setelah Jingga lelah seharian menanti kepulangannya hanya untuk sekedar saling berbagi cerita. Tak jarang, di setiap malam Jingga selalu merenung. Tentang hidupnya, tentang hakikat pernikahannya, tentang semuanya. Jingga tahu tak ada yang sia-sia, hanya saja dia mulai diliputi rasa lelah. Batinnya tak lagi bisa dia ajak kompromi. Seperti pagi ini misalnya. Jingga baru saja menaruh pakaian kotor di keranjang untuk dia bawa kamar laundry. Jingga selalu mengecek kantong pakaian dan celana yang dikenakan Atha karena takut ada sesuatu yang penting yang ikut tercuci. Namun, untuk kali ini dia merasa sangat menyesal telah melakukannya. Sebuah catatan tertinggal di saku kemeja Atha, sebuah catatan yang membuat Jingga kembali serasa dihantam palu tak kasat mata. Hatinya hancur seketika.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD