Bab. 15

1505 Words
"Astaghfirullah, makannya bisa sambil pelan-pelan kan Tha? Ibu perhatikan kamu gugup banget, jangan-jangan kamu sampai lupa berdoa sebelum makan tadi." Nania menatap putranya heran. Atha menghentikan suapannya, menyeka bibirnya dengan tisu. "Maaf. Aku sudah selesai. Mau langsung berangkat." "Memang sepenting apa pekerjaan kamu itu? Apa nggak bisa diwakilkan sama orang kepercayaan kamu di kantor?" Nania menatap jengkel anaknya. "Enggak bisa Bu. Lagi pula aku cuma tiga hari di sana," Balas Atha, lalu menatap Jingga. "Titip ibu ya. Kamu juga harus jaga kesehatan selagi aku nggak ada." "Iya Mas." Atha bangkit kemudian mencium dan memeluk ibunya. "Hati-hati di jalan, jangan sampai lupa kewajibanmu untuk yang lima waktu. Jaga hati dan matamu karena kamu akan menemui banyak wanita cantik di luaran sana. Jika hijab seorang wanita adalah dengan menutupi auratnya, maka hijab seorang pria adalah dengan menundukkan pandangannya. Jangan pernah sekalipun tatapanmu tertuju pada wanita selain mahrammu. Mengerti?" "Ibu bicara seolah aku ini anak kecil saja," Tukas Atha. "Terkadang sikapmu jauh lebih buruk dari remaja labil." "Iya. Aku akan dengar nasehat Ibu. Ibu juga ya, harus selalu jaga kesehatan." "Selama ada Jingga, kamu nggak usah mencemaskan soal Ibu." Nania melepas pelukannya. Atha beralih menghampiri istrinya. "Aku pergi, selagi aku nggak ada kamu bisa sekali-kali keluar biar nggak bosan di rumah terus," Pesan Atha. Jingga hanya menjawab dengan sebuah anggukan, mencium punggung tangan Atha sebelum pria itu lenyap dari pandangannya. "Sepertinya dia gugup sekali sampai lupa nggak nyium kamu Ngga," Seloroh Nania. 'Bukan karena lupa bu, tapi karena nggak mau.' Jingga menutupi kegetiran hatinya dengan terus mengulas senyum di wajah. Dalam hatinya Jingga hanya bisa berdoa agar sakit hati yang ia rasakan karena penolakan Atha bisa lenyap. Jingga takut karena terlalu meratapi hidupnya membuatnya lupa bersyukur atas sejuta nikmat yang telah Tuhan anugerahkan untuknya. "Anak itu masih belum kasih kabar sama kamu Nak?" Jingga menoleh. Dua puluh empat jam telah berlalu semenjak suaminya berpamitan kemarin pagi, tapi hingga kini lelaki itu bahkan tak mengirimkan satu pun pesan padanya. "Enggak Bu. Mungkin Mas Atha memang masih sibuk makanya lupa nggak kasih kita kabar." Jingga menggeleng pelan, menghempaskan bobotnya di sofa. "Kamu terus saja membelanya, awas saja nanti begitu dia pulang. Ibu nggak mau tahu, kalian harus segera pergi bulan madu." Nania berkata dengan kesal. "Aku sama sekali tidak sedang membelanya, Bu. Kita nggak bisa memaksakan kehendak sesorang. Kita nggak pernah tahu seberapa banyak dan sesulit apa yang Mas Atha hadapi di luaran sana." "Ya, Ibu memang nggak akan pernah kalah kalau debat sama kamu Ngga." Wanita tua itu terkekeh. "Aku sama sekali nggak merasa kalau kita sedang berdebat Bu." Jingga melirik benda bulat di pergelangan tangannya. "Sudah saatnya berangkat Bu, ayo." "Iya, Nak." "Sebentar Bu, Jingga pamit dulu sama bibi ya." Jingga melangkah menuju dapur, terlihat Surti sedang membersihkan perabotan di sana. "Bibi." Surti yang tak mendengar panggilan itu pun sibuk menggosok panci di bawah kucuran air. "Bibi." Jingga berbisik di telinga Surti dan memeluk wanita itu dari belakang. "Astaghfirullah, Non Jingga bikin Bibi kaget saja." Surti terperanjat, ia lantas mematikan air. "Habisnya aku panggil-panggil Bibi nggak dengar." "Iya, Non maaf. Kran airnya nyala jadi Bibi nggak dengar Non Jingga manggil. Ada apa?" "Cuma mau pamit Bi, hari ini jadwal rutinan ibu buat cek kesehatan di rumah sakit. Kemungkinan kami pulang sampai sore jadi Bibi masak buat makan siangnya sedikit saja sekiranya buat Bibi." "Iya Non." "Sama minta tolong buatin brownies ya Bi, buat camilan nanti sore." "Beres Non." "Ya sudah. Aku pergi Bi. Bibi mau dibawain apa buat oleh-oleh nanti?" Tanya Jingga menawarkan. "Enggak usah Non, Bibi lagi nggak kepengin apa-apa." Selama ini Jingga memang terbiasa membelikan oleh-oleh untuk Surti saat dia berpergian, ke rumah sakit sekalipun. "Ya sudah. Bibi hati-hati ya di rumah sendirian, langsung telepon aku kalau ada apa-apa. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumussalam." Surti melihat tangannya yang baru saja dicium oleh Jingga. "Seandainya saja saya punya anak laki-laki, sudah saya jodohkan saja Non Jingga sama anak saya. Daripada menikah sama Mas Atha malah dianggurin. Anak itu, kelakuannya saja seperti orang benar, tapi ilmunya nggak dipakai. Punya istri shalehah kok didzhalimi." Wanita paruh baya itu menggeleng. Ia melanjutkan kegiatannya yang sempat terhenti tadi. "Sudah orangnya cantik, shalehah, pintar masak, pintar urus rumah. Pandai menghormati orang lain, kurang apa lagi. Saya saja yang orang asing dianggap seperti ibunya sendiri, tiap mau pergi dipamiti, disalami. Orang lain mungkin akan berteriak kalau dipanggil nggak dengar, ini malah saya yang disamperin, malah lebih lembut lagi manggilnya. Ya Allah, semoga saya diberi umur yang panjang untuk melihat hidup Non Jingga bahagia. Bukakanlah mata hati Mas Atha agar pria itu tak lagi menyia-nyiakan istri sebaik Non Jingga." Surti mempercepat pekerjaannya karena harus membuat kue pesanan Jingga. *** Setelah cukup lama melakukan serangkaian pemeriksaan, Jingga mengajak ibu mertuanya mengambil obat. Mereka duduk di kursi tunggu sembari menunggu nomor antreannya dipanggil. "Alhamdulillah, Jingga senang Bu melihat perkembangan kesehatan Ibu yang semakin membaik." "Ini semua berkat kamu, Nak. Kamu pandai merawat dan menjaga Ibu." Nania menyahut, menggenggam tangan menantunya dan menciumnya penuh kasih sayang. "Karena Allah Bu, bukan karena aku." Jingga mengoreksi ucapan Nania. "Ya. Karena Allah dan lewat perantara kamu," Ralat Nania. "Jeng." Dua wanita itu kompak menoleh. Seorang ibu seumuran Nania datang mendekat berjalan tertatih dengan dipapah pria muda. "Lho, Jeng Rika." "Iya. Saya kira kamu lupa sama saya Jeng." Kedua wanita tua itu saling berpelukan. Jingga mengangguk sopan sembari menangkupkan kedua tangannya di depan d**a pada pria yang ia perkirakan adalah anak dari wanita bernama Rika itu. "Mana mungkin saya lupa sama perempuan yang paling poluler di sekolah dulu? Jeng Rika sakit?" Nania bertanya setelah pelukan mereka terlerai. "Iya. Sudah lama." Wanita itu mengangguk. "Sakit apa?" "Biasa, penyakit orang kalau sudah tua. Kita ini sama-sama penyakitan." Rika dan Nania tertawa bersamaan. "Masih mending kamu Jeng, lihat saya yang harus bergantung pada kursi roda," Kata Nania. "Ya, tapi apa bedanya sama saya Jeng yang harus rutin sebulan sekali untuk kontrol." "Alhamdulillah, bersyukur saja kita masih diberi kesempatan hidup sampai sekarang. Itu anak kamu Jeng?" Nania menatap pria yang sedang mengantre di depan bagian farmasi. "Iya Jeng. Ini pasti menantu kamu Jeng?" Jingga tersenyum pada Rika, menyalami wanita itu dengan sopan. "Iya Jeng." "Maaf ya, saya nggak sempat datang waktu Jeng Nania mengadakan walimatul 'urs." "Enggak apa-apa Jeng." Nania menyahut. "Saya kira menantu Jeng Nania ini nggak berhijab, soalnya sekitar dua minggu yang lalu saya lihat anak Jeng Nania itu menggendong seorang perempuan ke luar rumah sakit," Beber Rika. "Ah masa sih? Salah lihat mungkin Jeng?" Air muka Nania berubah serius. "Enggak Jeng. Saya memang sudah tua tapi mata saya ini masih normal. Saya nggak mungkin salah mengenali orang. Saya lihat Atha sedang menggendong perempuan berambut panjang yang sepertinya baru keluar rawat inap. Mereka kelihatan romantis sekali seperti sepasang suami istri makanya saya kira menantu Jeng Nania ini nggak berhijab." Jingga dan Nania saling berpandangan, Nania hendak kembali bertanya tapi disaat yang bersamaan anak laki-laki Rika datang dan telah selesai mengambil obatnya lalu mengajak Rika pergi. Begitu pun dengan Jingga yang dipanggil petugas apotek karena obatnya sudah tersedia. Sepanjang perjalanan kedua wanita itu sama-sama diam. Walaupun sama-sama tetap berpikiran positif nyatanya hal itu tetap mengganggu Nania. "Apa mungkin yang dikatakan teman Ibu tadi itu benar Ngga? Kalaupun benar iya, siapa perempuan yang digendong Atha? Dia nggak punya teman dekat perempuan selama ini." Nania membuka suara. "Jangan terlalu banyak berpikir Bu, mungkin saja teman Ibu salah lihat. Atau bisa jadi Mas Atha cuma bantu orang yang kebetulan sedang butuh bantuannya." Jingga mencoba menenangkan mertuanya. "Tapi rasanya terdengar aneh. Rika bilang dia nggak salah lihat, dan perkataannya tadi begitu meyakinkan." Sejujurnya Jingga pun penasaran, tapi ia juga tak bisa mengambil kesimpulan selama dia belum mendapatkan bukti yang kuat. Jingga selalu membiasakan diri untuk berpikir positif, tapi dalam hati ia juga kalut. Sama seperti yang dirasakan Nania, Jingga juga terus memikirkan ucapan Rika. Hari-harinya dia lewati dengan perasaan cemas, mendadak ia dihinggapi ketakutan yang luar biasa. Hari yang dinantikan pun tiba. Sesuai janjinya, Atha pulang setelah tiga hari melakukan perjalanan bisnis ke luar kota. Pria itu sampai di rumah saat malam menjelang larut. "Mas sudah makan?" "Kebetulan sudah. Oleh-oleh buat kamu sama ibu aku taruh di mobil. Ambil sendiri ya aku mau langsung tidur." Atha menjawab. "Nggak mandi dulu?" "Nggak." Atha langsung membanting tubuhnya di kasur dan terlelap tak lama setelahnya. Jingga menuju garasi mobil untuk mengambil pakaian kotor suaminya juga beberapa paper bag yang teronggok di bagasi. Tiga buah kantong oleh-oleh itu Jingga taruh di meja, sedangkan dia kini membongkar pakaian kotor suaminya. Gerakan tangan Jingga terhenti saat ia mengendus aroma parfum yang menempel di antara baju-baju kotor itu. Jingga mengambil salah satu pakaian Atha dan menciumnya. "Aroma parfum perempuan, nggak salah lagi," Gumam Jingga. "Minyak wangi Mas Atha nggak gini baunya dan aku hafal betul ini bau parfum perempuan." Karena penasaran, Jingga pun mencium satu per satu pakaian kotor milik Atha dan dari semua kain itu dia dapat mencium aroma yang sama. Memang tertinggal parfum wanita di kain itu. Jingga menghela napas panjang, lalu mendudukkan tubuhnya yang lemah di kursi. Matanya terpejam seiring dengan laju bulir bening yang terus berjatuhan tanpa permisi. Jingga memegang dadanya yang terasa sesak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD