Bab. 14

1504 Words
Prang! "Astaghfirullah, apa itu Ngga!" Nania memekik saat mendengar suara pecahan kaca yang bersumber dari arah dapur. "Ya Allah, Non. Lain kali hati-hati, biar Bibi saja yang bersihkan pecahan gelasnya. Non Jingga temani ibu saja." Surti mendekati Jingga dengan hati-hati. Cairan putih menggenang di lantai bercampur dengan remahan kaca. "Iya Bi, maaf ya. Tadi aku kurang hati-hati makanya gelasnya jatuh terus pecah." Jingga masih terlihat syok. "Enggak apa-apa Non. Sudah sana, Non Jingga ke dalam saja temani ibu. Beliau manggil Non Jingga terus daritadi. Nanti saya saja yang bikin s**u buat ibu." "Terima kasih Bi." Jingga berlalu dari sana. "Kasihan Non Jingga, dia pasti kepikiran sama suaminya." Surti bergumam lirih sambil membersihkan pecahan gelas. Nania menatap menantunya dengan cemas, lalu meraih Jingga ke dalam pelukannya saat sudah tak ada lagi jarak di antara mereka. "Kamu nggak apa-apa Nak? Tadi apa yang pecah?" Nania sibuk memeriksa tubuh menantunya, takut kalau-kalau perempuan itu terluka. "Aku nggak apa-apa Bu. Barusan aku bikin s**u buat Ibu dan aku kurang hati-hati makanya gelasnya sampai jatuh. Maaf ya Bu, nanti dibuatin lagi sama bibi." Sebisa mungkin terlihat biasa saja meski dalam hatinya dipenuhi kegelisahan yang Jingga sendiri tak tahu penyebabnya. "Nggak apa-apa Sayang. Yang penting kamu baik-baik saja." "Alhamdulillah. Sekarang aku antar ke taman ya, Ibu harus berjemur." Jingga mendorong kursi roda ibu mertuanya, ia duduk di bangku tak jauh dari tempat Nania berada. Perasaan tak enak tiba-tiba menyusup dalam hati Jingga tadi. Meski berusaha untuk melenyapkannya, tapi nyatanya kegelisahan itu kian menjadi tanpa Jingga ketahui sebabnya. Jingga berusaha bersikap tenang agar Nania dan Surti tak curiga padanya, dia tak mau dua wanita itu ikut kepikiran nanti. Lalu perlahan wanita itu mendudukkan kepalanya seraya memejamkan mata, melafalkan doa dalam hati agar rasa tak nyaman itu lenyap. "Nak?" "Iya Bu?" Jingga membuka matanya, berjongkok di depan Nania. "Ibu minta kamu lebih sabar lagi menghadapi Atha ya? Ibu yakin, lambat laun hatinya pasti akan melunak dan akhirnya dia bisa mencintaimu." Nania berkata lirih seraya membelai pipi menantunya. "Ibu jangan khawatirkan soal itu. Aku baik-baik saja dan aku pasti bisa melewati masa-masa ini Bu. Semua yang ada di muka bumi ini nggak ada yang abadi, begitu juga dengan hati seseorang. Tuhanlah yang Maha membolak-balikan hati manusia, Bu. Hari ini mungkin Mas Atha masih bersikap dingin padaku, tapi siapa yang tahu kalau besok dia berubah menjadi hangat dan menyayangiku." "Kamu memang anak yang baik." Keduanya berpelukan dengan disaksikan matahari pagi yang mulai beranjak naik. Sejujurnya Jingga juga tak memiliki kepercayaan diri yang tinggi akan hal itu, hanya saja ia selalu berusaha untuk berpikir positif. Batu saja yang begitu keras bisa rapuh jika terus ditetesi dengan air, apa lagi hati manusia. *** "Kamu bisa kerja nggak sih? Masa bikin laporan gini saja kamu nggak bisa, atau kamu mau nyuruh saya buat bikin sendiri!" Hardik Atha pada Sofia. Beberapa karyawan di kubikel masing-masing sempat berbisik-bisik karena ini untuk pertama kalinya mereka mendengar Atha berteriak sampai sebegitu kerasnya hingga terdengar ke luar ruangan. "Maaf Pak, akan saya perbaiki lagi." Sofia menunduk ketakukan. Atha yang ada di hadapannya berbeda jauh dari apa yang selama ini dia dengar dari obrolan orang-orang kantor. Bukan sosok pemimpin yang rendah hati dan ramah akan tetapi menakutkan layaknya monster. "Saya nggak mau tahu! Saya tunggu laporannya dalam satu jam, kalau masih salah, sebaiknya kamu kembali bekerja untuk Pak Wisnu saja." Tanpa sadar pria itu kembali menaikan volume suaranya. "Baik, Pak. Sekali lagi saya minta maaf. Saya akan perbaiki laporan ini secepatnya." "Keluar!" Sofia melarikan diri dari ruangan atasannya sebelum dia kembali disembur. Atha sungguh menakutkan, setelahnya Sofia akan meminta untuk kembali ke posisi semula saja ketimbang harus jadi bulan-bulanan lelaki itu. "Baik apanya, menyeramkan seperti monster begitu kok dibilang baik," Gerutu Sofia kembali ke meja kerjanya. Dari balik kubikelnya, Hana melongok pada temannya yang juga sedang sibuk menyusun laporan. "Dan, kamu ngerasa nggak sih kalau belakangan ini Pak Atha jadi sering marah-marah. Semenjak ditinggal cuti sama Mayang, kayaknya kerjaan Sofia nggak ada yang benar. Salah mulu di mata bos kita." "Kok kita sependapat sih, aku baru saja mau ngomong sama kamu." "Iya. Kaya nggak ada bahagianya tuh orang, marah mulu kerjaannya." Hana kembali mencibir. "Iya, selama ini kan yang bisa menaklukkan pak bos cuma si Mayang. Pawangnya dia, makanya nggak heran pas ditinggal cuti sama Mayang sebentar saja sudah uring-uringan." Zidan menimpali. Sementara itu di dalam. Atha terus memijit pelipisnya. Semenjak Sofia menggantikan posisi Mayang, sejak itu juga masalah baru selalu timbul dan sukses membuat Atha naik darah. "Benar-benar ya. Bisa stres aku lama-lama begini terus." Atha menyentak napas. Kemelut rumah tangganya belum menemui titik terang, ditambah ketidakhadiran Mayang yang membuat kinerja kantornya menurun. Atha merasa dirinya dengan mudah meledak, saat memarahi Sofia tadi pun ia tanpa sadar berteriak dengan sangat keras. Bunyi notifikasi pesan masuk menginterupsi Atha, pria itu menyambar ponselnya dan membaca barisan pesan yang tertulis pada layar. Sudut bibir lelaki itu melekuk indah, lalu Atha dengan cepat mengetik balasan. Secepat itu suasana hatinya membaik. *** Kondisi kesehatan Mayang masih belum stabil. Wanita itu amat lemah dan dokter menyarankan agar Mayang dirawat selama beberapa hari lagi di rumah sakit. Mirna menyodorkan sepotong apel yang sudah dikupas untuk keponakannya. "Harusnya Bibi nggak usah ngomong apa-apa sama Pak Atha, aku jadi nggak enak sama dia Bi. Lagi pula aku sudah memutuskan untuk melupakan dia. Aku nggak mau ganggu pria bersuami," Kata Mayang sambil mengunyah apelnya. "Dan membiarkan pria itu tak tahu menahu soal perasaanmu begitu? Membiarkanmu menderita sendirian?" "Ini kesalahanku Bi. Nggak seharusnya aku jatuh cinta pada pria yang jelas-jelas sudah menikah dan sama sekali tidak mencintaiku." Mayang menatap buket bunga pemberian Atha yang bahkan ia biarkan kering begitu saja tapi tetap menyimpannya. "Tapi kamu yang paling menderita di sini, Bibi nggak rela. Kamu sudah Bibi anggap seperti anak kandung Bibi sendiri, mana mungkin Bibi membiarkan kamu menderita seperti ini. Lagian sepertinya Bibi lihat dia juga ada rasa sama kamu," Tukas Mirna. "Bibi jangan mengada-ada." "Bibi serius May, buktinya pas dia jenguk kamu dia bawa buket mawar sama kue," Cetus Mirna. "Bibi jangan salah paham dulu, dia memang orangnya baik, nggak cuma sama aku saja Bi, tapi sama semua orang." "Terus buktinya tadi dia buru-buru datang ke sini pas dengar kamu jatuh di kamar mandi. Dia kelihatan panik banget dan langsung datang begitu Bibi telepon dia sampai dia rela telat masuk kantor demi nolongin kamu." "Aku nggak mau banyak bermimpi Bi," Lirih Mayang. Ia meletakkan piring kecil yang masih menyisakan banyak potongan apel itu di nakas. "Bibi nggak suka lihat kamu putus asa begini. Kita masih punya satu kesempatan lagi, May. Ayo kita buktikan kalau memang bos kamu itu sebenarnya punya perasaan yang sama ke kamu." Mirna tersenyum penuh arti. "Aku nggak yakin, Bi." "Kita lihat saja nanti. Begitu kamu keluar dari rumah sakit ini, kita lihat apa yang akan dia lakukan begitu kamu mengundurkan diri dari perusahaan itu. Bibi yakin May, Pak Atha itu sebenarnya juga jatuh cinta sama kamu." Mayang membisu. Mustahil rasanya dia bisa memiliki Atha sementara Atha sudah menikahi wanita lain, tapi bagaimana dengan perasaannya yang telah dibuat hancur lebur? Mayang sampai putus asa dan memilih untuk mengakhiri hidupnya ketimbang harus hidup menanggung penderitaan. Pada akhirnya Mayang memilih untuk berdamai dengan kenyataan. Ia memutuskan akan ikut Mirna kembali ke kampung dan mengundurkan diri. Adalah hal yang mustahil bagi Mayang untuk bisa melupakan Atha selama wanita itu masih bersama pria yang dicintainya. Melarikan diri adalah pilihan terbaik. *** Setelah seharian disibukkan dengan setumpuk pekerjaan dan juga drama di kantor, Atha tiba di rumah saat jarum jam menunjukkan pukul tujuh malam. Begitulah rutinitasnya dalam minggu-minggu ini, Atha kehilangan kebersamaan bersama keluarganya. Jangankan sekedar untuk bercengkerama, untuk makan malam pun Atha selalu absen karena masih bergelut dengan pekerjaannya di kantor. Waktu terus berjalan, dan hubungannya dengan Jingga masih saja belum ada perkembangan. Namun begitu Jingga tak pernah sekalipun terpikirkan untuk lalai menjalankan kewajibannya. Nafkah batin yang dijanjikan Atha kala itu seolah hanya angin lalu, tak kunjung ada tanda-tanda diberikan bahkan sampai Jingga kedatangan tamu bulanannya. Atha baru saja selesai mandi, netranya sibuk menikmati keindahan malam yang bisa dia lihat dari balkon kamarnya. Ia lalu menyambar ponselnya saat teringat akan satu hal. "Kamu tunggu saya, kita akan pergi sama-sama." Atha menutup panggilannya lalu kembali ke kamar. "Ngga," Panggilnya pada Jingga yang sedang sibuk menata baju-baju yang telah disetrika ke dalam lemari. "Ya?" "Tolong siapkan baju sama kebutuhanku kurang lebih untuk tiga hari. Kebetulan aku harus ke luar kota besok pagi." Jingga mengangguk, gegas mengambil tas berukuran sedang dan mengisinya sesuai dengan permintaan sang suami. Ingin sekali bertanya tentang apa yang akan dilakukan suaminya, tapi rasanya enggan karena tahu Atha akan merasa tak nyaman setiap kali dia bertanya. Atha akan selalu menggunakan alasan pekerjaan sebagai senjata ampuh untuk membungkam Jingga agar perempuan itu tak banyak bertanya. Keduanya pun sama-sama naik ke atas peraduan begitu Jingga selesai membereskan pekerjaannya. Atha melirik ke samping dan melihat Jingga sudah memejamkan mata meski ia tahu wanita itu belum sepenuhnya tidur. 'Aku minta maaf Ngga,' batinnya dipenuhi perasaan bersalah. Pria itu terus memaksa matanya untuk terpejam, tapi yang ada malah dirinya seperti dikejar perasaan bersalah yang kian membuatnya tersiksa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD