Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Jingga dengan cepat menyiapkan semua keperluan suaminya. Setumpuk pakaian kerja, dasi, kaos kaki, sabuk sampai tas kerja dan sepatu Atha telah ia siapkan di sofa.
Atha yang sejak tadi sibuk memperhatikan sangat istri dibuat heran melihat Jingga yang terkesan buru-buru.
"Hm, Ngga?"
Langkah Jingga tertahan saat wanita itu hendak membuka pintu.
"Ehm, kamu kelihatan gugup sekali, memang mau ke mana?"
"Mau bantu ibu mandi. Semuanya sudah aku siapkan, panggil saja kalau ada yang terlewat." Jingga menjawab tanpa menatap ke arah suaminya.
"Tunggu," Cegah Atha lagi.
Jingga masih bertahan di ambang pintu tanpa membalikkan badannya, menunggu kelanjutan kalimat yang diucapkan Atha.
"Aku perhatikan kamu seperti nggak nyaman berada di dekatku, kamu selalu terburu-buru dan seolah ingin menghindar dariku. Ada apa sebenarnya?"
"Mungkin hanya perasaanmu saja." Lagi, Jingga menjawab tanpa membalikkan badannya menghadap sang suami.
"Kamu tahu kan, istri shalehah tidak akan berbicara dengan membelakangi suaminya?"
Jingga tersenyum tipis. "Aku sama sekali nggak merasa kalau aku ini istri shalehah. Dan apa yang sedang aku lakukan sekarang adalah demi menjaga perasaanku. Langit nggak perlu berkoar mengatakan kalau dia berada di posisi yang tinggi, tapi orang-orang tahu betul posisinya. Kamu nggak perlu berkata begitu untuk menutupi ketidakmampuanmu. Istrimu bahkan telah menyerahkan segenap hati dan yang ada dalam dirinya untukmu, tapi apakah ada suami yang berpamitan pada istrinya tanpa alasan yang jelas? Meninggalkan istrinya dan ... Astaghfirullah," Lirih Jingga menyadari dirinya sudah terlalu banyak bicara.
Tak seharusnya Jingga terpancing ucapan suaminya tadi. "Maaf."
Detik berikutnya hanya terdengar derap langkah yang kian menjauh. Atha termangu memikirkan kembali ucapan Jingga tadi. Lagi-lagi dirinya seperti ditampar, ucapan Jingga begitu menohok hatinya.
Bahkan saat tak melakukan kesalahan pun, perempuan itu dengan mudahnya mengucap maaf padanya. Atha meraup wajahnya kasar, ia sama sekali tak menyadari kesalahannya dan malah fokus menyalahkan orang lain.
Di kamar Nania.
Wanita yang sedang duduk di kursi roda itu tahu betul apa yang tengah dirasakan menantunya saat ini. Tak perlu bercerita pun Nania sudah tahu apa yang sedang disembunyikan Jingga dibalik senyum dan candanya.
"Sudah selesai. Ibu sudah cantik dan sekarang waktunya sarapan." Jingga meletakkan sisir yang baru saja ia pakai untuk merapikan sanggul Nania.
"Terima kasih Nak."
"Kembali kasih Ibu, tapi aku minta bayaran," Cetus Jingga.
"Bayarnya pakai apa? Ibu kan pengangguran." Nania terkekeh.
"Cukup pakai senyum, Bu. Aku perhatikan sejak tadi Ibu terlihat diam dan nggak mau senyum. Jingga kan jadi sedih, Bu."
'Pandai sekali anak ini menyembunyikan luka hatinya. Ibu tahu kalau Atha baru saja mengecewakanmu, melakukan sesuatu yang membuat hatimu terluka tapi kamu malah bersikap seperti ini. Makin sakit saja hati ibu, nak.'
"Ibu, tuh kan melamun lagi. Memang apa yang Ibu pikirkan?" Jingga pura-pura merajuk.
"Iya, Nak. Maaf. Ibu kelaparan," Dalih wanita itu.
"Kenapa nggak bilang daritadi Bu? Ya sudah ayo kita ke meja makan. Kira-kira bibi masak apa ya?"
Jingga mendorong kursi roda ibu mertuanya, dan saat itulah Atha berlari dari depan kamar Nania menuju meja makan dan berpura-pura tak mendengar percakapan dua wanita itu tadi.
Wanita itu mengabaikan suaminya dengan tak menatap Atha sama sekali. Jingga lalu menekan kunci kursi roda Nania, memastikan posisi Nania telah aman.
"Ibu sama Mas Atha mau sarapan apa?"
"Kalau Ibu sih terserah kamu saja," Sahut Nania.
"Aku juga apa saja lah, terserah kamu." Atha tahu istrinya sedang menjaga jarak dengannya, tapi berusaha menyembunyikan kekesalannya di hadapan Nania.
"Tapi, Bibi baru mau masak nasi goreng," Celetuk Surti.
"Nggak usah Bi, biar aku bikin roti saja sama jus wortel." Jingga membuka lemari pendingin dan mengeluarkan bahan-bahan yang dia butuhkan.
"Bibi bantu ya, Non."
"Terima kasih Bi."
Jingga mengupas wortel itu dan memasukkannya ke dalam mesin hingga bunyi bising memenuhi dapur.
"Kamu benar-benar bikin Ibu kecewa, Tha. Kurang baik apa Jingga sama kamu?" Nania menghela napas kasar, sesekali melirik ke arah dapur takut pembicaraannya didengar oleh Jingga.
"Maaf Bu."
"Selalu itu yang kamu katakan, Ibu nggak butuh ucapan maaf dari kamu. Sampai bosan Ibu mendengarnya." Wanita tua itu terlihat geram menghadapi kelakuan putranya.
"Mau kamu itu sebenarnya apa? Bilang sama Ibu! Susah payah Jingga mau ngikutin kamu dan nerima perjodohan ini, tapi begini balasan kamu sama dia. Ibu nggak habis pikir sama kamu."
"Beri aku waktu Bu. Aku juga masih dalam tahap pendekatan. Ibu nggak tahu gimana rasanya mengawali hubungan yang sama sekali nggak dilandasi dengan cinta." Atha menyahut.
"Atha!" Nania tanpa sadar membentak anaknya.
Jingga yang terlanjur berdiri tak jauh dari ibu mertuanya pun gegas menghampiri wanita itu.
"Ibu, masih pagi kenapa harus teriak-teriak? Kalau ada yang perlu dibicarakan kan bisa dibicarakan dengan baik-baik, dengan kepala dingin. Ingat kesehatan Ibu, lho."
Jingga mengoceh sambil menurunkan gelas dari nampan, menaruhnya masing-masing di hadapan Atha dan Nania. Jingga masih merasakan aura ketegangan antara anak dan ibu itu.
Jingga mengusap pelan bahu Nania. "Istighfar Bu, jangan mau dihasut setan. Sudah ya, Ibu makan saja dulu."
Jingga beralih mengambil roti tawar, mengolesnya dengan selai sarikaya dan memberikan pada Nania.
"Ayo, Bu makan. Nggak baik bertengkar saat makan, sama saja kita menghina rejeki yang sudah Allah kasih." Jingga kembali mengolesnya selembar roti tawar tanpa kulit, dan kali ini dia berikan untuk suaminya.
"Hm, gimana kalau nanti aku ajak Ibu jalan-jalan ke taman? Ibu sudah lama lho nggak main ke sana."
Nania yang masih kesal sama sekali tak mendengarkan ucapan menantunya. Mereka makan dalam diam masih bersitegang. Saat Atha berpamitan pun Nania seolah enggan membiarkan anak semata wayangnya itu mencium punggung tangannya.
"Ibu, aku mohon sama Ibu ya. Ibu jangan sampai marah-marah lagi. Aku nggak mau Ibu sampai sakit," Kata Jingga sepeninggal suaminya dari ruangan itu.
"Kasihan sekali kamu, Nak. Ibu nggak tega sama kamu." Nania tak sanggup lagi membendung air matanya.
"Aku nggak apa-apa Bu, seperti yang Ibu lihat aku baik-baik saja."
"Ibu tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara kamu dan Atha, tapi kamu menyembunyikannya dari Ibu karena nggak mau Ibu sedih dan kepikiran, kan? Tapi rasanya hati Ibu sakit sekali. Kamu diperlakukan seperti itu oleh suamimu sendiri."
"Bu, jangan pernah menyalahkan diri ibu sendiri atas apa yang terjadi, ini juga bukan kesalahan Mas Atha. Aku yang salah Bu, aku yang salah. Harusnya sebagai seorang istri aku pandai memikat hatinya, tapi aku justru nggak bisa melakukan itu Bu. Jadi jangan salahkan Mas Atha. Dia nggak bersalah, Bu. Aku yang salah."
"Jingga, maafin Ibu, Nak." Kedua wanita itu saling berpelukan.
"Enggak Bu, Jingga yang seharusnya minta maaf karena belum bisa memenuhi kewajiban Jingga sebagai istri dan menantu yang baik." Jingga tergugu.
Sementara itu di balik dinding, Atha terus mematung. Ya, dia belum benar-benar meninggalkan rumahnya dan mendengarkan pembicaraan Ibu dan istrinya.
Jika sudah begini, hanya ada sesal dan rasa bersalah dalam diri Atha, tapi terkadang dia tak bisa mengendalikan diri. Logikanya seringkali muncul mematahkan isi hatinya, tak jarang membuatnya tersiksa dengan perang batin.
Atha mengendalikan kereta besinya dengan pikiran yang kacau. Fokusnya terganggu dengan kejadian di rumah tadi. Dia kira belajar mencintai Jingga bukanlah hal yang sulit melihat wanita itu yang menurutnya sudah cukup sempurna.
Namun, nyatanya hati kecilnya terus berteriak memberontak, sementara itu di sisi lain Atha dihantui kehadiran Mayang yang selalu membayanginya.
Fokus Atha buyar seketika saat dering ponsel dalam saku kemejanya menjerit. Ia lantas dengan cepat menggeser simbol gagang telepon berwarna hijau dan memutar arah begitu mendengar penjelasan seseorang di seberang sana.
Jantungnya menghentak kuat. Rasa takut kehilangan tiba-tiba saja menyergapnya membuat Atha setengah gila.