Bab. 3

1288 Words
Pintu terbuka, dokter dengan didampingi beberapa perawat ke luar dari ruangan bernuansa serba putih itu. Jingga dan Atha mendekati dokter pria berbadan tambun itu. "Keluarga pasien?" "Saya anaknya Dok," jawab Atha. "Hm, jadi begini ... Saya sudah sering mengingatkan pada Anda untuk menjaga pasien. Kondisinya yang lemah akan semakin memperburuk kesehatannya. Kami sebagai dokter sudah berusaha melakukan yang terbaik, akan tetapi jika pasien masih saja bandel, apa gunanya pengobatan yang kami lakukan?" pria bersnelli itu membenahi letak kacamatanya. "Maksud Dokter?" "Jangan biarkan pasien mengalami stres. Kondisi jantungnya lemah, Anda tahu kan itu akan sangat berpengaruh pada pengobatannya," ucap dokter itu lagi. "Maafkan saya Dok, saya yang salah karena telah lalai menjaga pasien," lirih Jingga. Atha menatap gadis itu tak percaya, bagaimana bisa Jingga menyalahkan dirinya atas apa yang telah terjadi sementara Atha tahu dirinyalah yang telah membuat Nania sampai dalam kondisi buruk seperti itu. "Lalu bagaimana kondisinya sekarang, Dok?" "Pasien sudah dipindahkan ke ruang rawat, tolong awasi dan jaga ibu Anda baik-baik. Jika tidak ada lagi yang mau ditanyakan, saya mohon diri dulu." "Silakan Dok, terima kasih," ujar Atha, tulus. Jingga yang diikuti Atha terus berjalan menuju ruang rawat. Air mata gadis itu tumpah manakala melihat wajah pucat Nania yang seakan tak teraliri darah sama sekali. "Ibu, bangun Bu. Maafin Jingga yang nggak bisa jaga Ibu." Dikecupnya punggung tangan Nania. Tubuh Nania sangat kurus semenjak wanita itu sakit-sakitan, di tambah lagi tak ada yang benar-benar menjaganya dengan baik selain Jingga. Sementara Jingga tak mungkin berada dua puluh empat jam di rumah itu. "Ibu nggak apa-apa Nak, jangan nangis," lirih Nania, ia mengusap puncak kepala Jingga dengan tangannya yang tak tertanam jarum infus. "Hanya Ibu satu-satunya keluarga yang aku punya." Jingga tergugu. "Ibu akan baik-baik saja, Ibu akan tetap sehat dan panjang umur untuk melihatmu menikah." Jingga tak lagi berucap, dia bingung hendak membalas apa ketika Nania membahas mengenai pernikahan. "Ibu pasti belum sarapan ya? Padahal tadi aku bawakan bubur nasi sama kaldu daging kesukaan Ibu." "Terus sekarang di mana buburnya?" tanya Nania. "Ketinggalan di rumah Bu, aku gugup tadi, jadinya aku asal naruh rantangnya." "Biar aku ambil," kata Atha. "Nggak usah Mas! Kamu kan harus kerja, kamu berangkat sekarang saja takut telat. Buburnya biar nanti aku minta dikirim Bi Surti pakai ojek online," usul Jingga. "Yakin kamu? Tapi rasanya aku nggak tega mau ninggalin Ibu," balas Atha. "Nggak apa-apa, percaya deh sama aku, Ibu akan baik-baik saja," ujar Jingga meyakinkan. "Bu." Atha menatap wanita yang tengah berbaring lemah di bed. "Berangkat saja, Ibu akan baik-baik saja selama ada Jingga." "Ya sudah kalau gitu. Aku usahakan untuk pulang cepat hari ini." Seperti biasa, Atha akan mencium tangan Nania sebelum dan sesudah bepergian. "Assalamualaikum," ucapnya. "Wa'alaikumusalam." Atha menutup pintu. Dia melangkahkan kakinya menelusuri lorong panjang yang membawanya menuju tempat parkir. Seandainya saja tidak ada meeting penting dengan klien pagi ini, tentu ia lebih memilih untuk menjaga ibunya di rumah sakit. "Ibu makan dulu ya." Jingga membantu Nania untuk duduk. Bubur buatannya telah sampai lima menit yang lalu. Jingga menyiapkannya di mangkuk kecil, menuangkan kuah kaldu panas yang dia simpan di termos kecil lalu menaruh potongan daging sapi dan taburan bawang goreng di atasnya. Bubur masih mengepulkan asap panas karena Jingga sengaja menaruhnya di rantang khusus. "Aromanya masih sama persis seperti yang pernah dibuat oleh ibumu," celetuk Nania usai dia menghirup aroma kaldu yang membuat air liurnya itu terbit seketika. "Sekarang makan dulu ya, biar aku suapi." Tangan kiri Jingga memegang buku untuk mengipasi bubur tersebut. "Kenapa nggak ditiup saja Nak? rasanya Ibu sudah nggak sabar untuk mencicipinya." "Nggak boleh Bu, makruh. Rasulullah melarang kita meniup makanan atau minuman panas karena dikhawatirkan akan dapat menyebarkan penyakit karena saat kita meniupnya itu sama seperti sedang memindah kuman. Membuat makanan atau minuman itu hilang keberkahannya, dan masih banyak lagi kemudhorotan yang timbul ketika kita meniup makanan," terang Jingga. Nania menganggukkan kepalanya. Luar biasa bangga dia melihat cara mendidik temannya hingga mencetak generasi unggul seperti Jingga. 'Andai saja Atha mau menikahinya. Sungguh, hidup kami pasti akan sangat bahagia, Insya Allah,' Nania membatin. Jingga menyuapi Nania, memperlakukan wanita itu layaknya ibu kandungnya sendiri. Sementara Nania masih terus disibukkan dengan memuji gadis itu dalam hati. Di kantor. Atha mendaratkan bokongnya di kursi kebesarannya. Meneguk secangkir kopi hitam sebelum ia menyandarkan kepalanya di bahu kursi. Ingatan lelaki itu kembali pada masa di mana Nania memintanya menikahi Jingga. Mereka kembali membahas soal perjodohan itu untuk waktu yang cukup lama. Setelah melalui banyak pertimbangan, terlebih melihat kondisi ibunya yang menurun membuat Atha harus segera mengambil keputusan. Hal seperti ini tentu akan buruk jika dibiarkan terus berlarut-larut. Rencananya nanti sepulang Nania dari rumah sakit, Atha akan kembali membicarakan perihal perjodohannya dengan Jingga. Atha membuka mata ketika telinganya menangkap suara ketukan pada daun pintu. "Masuk," ucapnya sambil memijit pelipisnya. "Maaf Pak, Anda harus menandatangani beberapa dokumen." Seorang gadis dengan rok span ketat juga blazer yang membingkai sempurna lekuk tubuhnya itu mendekat. "Berikan padaku!" Gadis bernama Mayang itu meletakkan map-nya di meja. Menyibakkan surai panjangnya yang berwarna cokelat, Mayang membungkukkan sedikit tubuhnya. "Bapak tanda tangan di sini, di sini, dan di sini juga." Mayang menunjukkan beberapa titik pada Atha untuk membubuhkan tanda tangannya di sana. "Saya sudah tahu tanpa kamu beritahu sekalipun. Memang berapa tahun saya bekerja Mayang, sampai saya tidak bisa membedakan di mana saya harus tanda tangan," oceh Atha. "Barangkali saja Bapak butuh kejelasan, tugas saya kan memang mengingatkan Bapak jangan sampai ada yang salah atau terlewat." "Ya, ya ... Saya lupa kalau kamu itu perfeksionis." kedua sudut bibir Atha terangkat. "Baiklah, terima kasih Pak." Mayang menutup map itu lagi dan sengaja menggoda Atha dengan mengusap tangan lelaki itu. Mayang memang genit, dia suka sekali menggoda pria di kantor itu tanpa terkecuali, dan Atha mulai terbiasa dengan sikapnya. "Mayang." Gadis itu menghentikan langkahnya,memutar tubuhnya dengan anggun lalu menyibakkan rambutnya ke samping. "Apa Bapak berubah pikiran? Saya siap melayani Anda kapan pun Anda mau." Mayang mengedipkan sebelah matanya. "Saat ini belum," jawab Atha. "Berarti masih ada kesempatan," cetus Mayang. "Aku harap semoga hal itu tidak pernah terjadi." Atha menimpali. "Kenapa? memang tubuh saya kurang menarik ya?" Mayang meliuk-liukkan tubuhnya bak model. "Sempurna untuk seorang wanita." "Lalu? Ah, ya. Aku harap setan dalam diri Bapak lebih kuat dari pada iman Anda. Anda memang menjadi panutan karena rajin beribadah, tapi bukan berarti Anda tidak memiliki hasrat layaknya pria normal lainnya kan?" "Cerewet!" "Lalu untuk apa Anda memanggil saya?" Mayang memainkan rambutnya. "Cuma mau bilang, lain kali pake baju kerja yang agak longgar. Gunung kamu hampir meletus karena wadahnya tak cukup untuk menampungnya." Mayang mendengus sebal mendengar penuturan atasannya. Sama sekali bukan kalimat itu yang ingin dia dengar. "Bapak belum tahu saja, yang ukuran jumbo segini banyak jadi incaran lho, sekali hap, dijamin ketagihan." Sekali lagi Mayang mengedipkan sebelah matanya pada Atha sebelum gadis itu benar-benar pergi dari sana. *** Langit berpayung senja mengantar Atha menyusuri jalanan Ibukota yang tak pernah ada matinya. Macet terjadi di hampir setiap ruas jalan, membuatnya sedikit terlambat tiba di rumah sakit. Setibanya Atha di sana, dia melihat Jingga dan ibunya tengah mendirikan shalat maghrib berjamaah dengan Jingga sebagai imamnya. Mendadak hawa sejuk menelusup ke dalam dada, rasanya begitu damai melihat pemandangan itu. Setelah sempat memanjatkan doa, Jingga membantu Nania merapikan peralatan shalatnya. "Kamu sudah pulang Nak?" "Baru aja, Bu. Nih, aku bawain martabak cokelat kacang favorit Ibu. Dimakan ya." Menaruh bungkusan itu di nakas. "Karena Mas Atha sudah datang, Jingga pamit pulang ya Bu, takut kemalaman," ucap Jingga, menaruh mukenanya ke dalam tas. "Sebaiknya kita makan malam dulu saja, kamu pasti belum makan," tawar Atha. "Ya, Atha benar. Makan dulu ya, baru setelahnya kamu boleh pulang," bujuk Nania. "Aku sudah pesan online, palingan sebentar lagi sampai. Sekalian ada yang mau aku omongin sama Ibu, sama kamu juga Ngga," beritahu Atha. "Soal apa?" Nania bertanya pada anaknya. "Soal ...."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD