Bab. 2

1259 Words
Atha terus mengunci rapat mulutnya sepanjang perjalanan mengantarkan Jingga menuju rumahnya. "Mas Atha kan bisa bilang pelan-pelan sama ibu untuk menolak pernikahan ini. Aku tahu kamu nggak suka dengan perjodohan ini, begitupun denganku." Jingga membuka suara. "Bukan begitu Jingga," sanggah Atha. "Aku tahu, kamu nggak bisa bohong sama aku, Mas. Bicarakan sama ibu baik-baik, beliau pasti akan mengerti, tapi jangan minta aku yang melakukannya karena aku nggak akan sanggup melukai perasaan ibu." Jingga masih menatap ke arah jendela. Kebisuan kembali melanda sampai Jingga turun dan segera masuk ke dalam rumahnya. Atha kembali melajukan mobilnya ke tengah jalan raya. Pikirannya terpecah, ia sangsi bisa menaklukkan hati ibunya mengingat selama ini apa yang menjadi perintah atau keinginan Nania, maka itu yang akan terjadi. Atha tiba di rumahnya setelah lima belas menit berkendara. Dia melangkahkan kakinya lebar menuju kamar tamu, dan benar dugaannya, Nania belum tertidur. "Bu," panggilnya lirih. "Ada apa?" "Keputusan Ibu untuk menikahkan aku dan Jingga, apa tidak bisa dibicarakan lagi?" Atha mendaratkan bokongnya di tepi ranjang. "Jadi kau sedang meragukan pilihan Ibu," tuding Nania. "Tidak, sama sekali bukan soal itu Bu. Zaman sudah modern Bu, aku bisa cari istri sendiri tanpa dijodohkan seperti ini," sanggah Atha. "Wanita seperti apa yang bisa kau bawa ke hadapan Ibu? wanita yang hanya tahu menghabiskan uang, berdandan dan berfoya-foya, tanpa mau mengurus Ibu? Wanita seperti itu yang kau mau?" "Bu," desis Atha. "Apa kurangnya Jingga? Jika kau bisa menyebutkan satu saja kekurangannya, mungkin akan Ibu pertimbangkan untuk membatalkan perjodohan ini," tantang Nania pada sang putra. Atha menghela napas berat. Otaknya berpikir keras mengolah kata yang tepat untuk menolak perjodohan ini, tapi sepertinya tak mudah. Benar yang dikatakan Nania, Jingga adalah wanita sempurna yang selama ini dia kenal. Sosok menantu impian Nania ada dalam diri Jingga, tapi apa bisa hatinya memilih kepada siapa dia akan berlabuh? "Hanya Jingga wanita yang tepat untuk mendampingimu Nak. Dia cantik, jujur, lemah lembut, penyayang, cerdas. Jangan lupakan akhlaknya, selain cantik dia juga pandai menjaga diri. Ibu yakin, dia akan mampu menjadi istri sekaligus ibu yang baik untuk keluargamu kelak. Kau mau cari yang seperti apa lagi, Atha?" Ucapan Nania mulai terdengar menusuk, wanita itu meninggikan suaranya padahal selama ini belum pernah dia berbicara dengan nada tinggi pada putra semata wayangnya. "Jingga memiliki satu hal yang tak pernah bisa Ibu dapatkan dari wanita mana pun, yaitu ketulusannya. Selama ini dia sangat tulus merawat Ibu," sambung Nania. "Semoga saja bukan karena atas dasar balas budinya pada Ibu," gumam Atha. Plak! Nania memegangi tangannya yang bergetar, rasa panas menjalar menandakan betapa keras tamparan yang dia layangkan di wajah Atha. "Ibu nggak nyangka kamu punya pemikiran seperti itu. Butakah kamu sampai kamu tidak bisa melihat ketulusan yang terpancar di matanya? Kamu bisa menolak perjodohan ini, tapi bukan begitu caranya!" hardik Nania. "Maaf Bu, aku nggak bermaksud begitu," sesal Atha, dia memang benar-benar tidak sadar mengatakan soal itu tadi. "Keluar!" "Bu, maaf." Atha memeluk tubuh ringkih itu. "Susah payah Ibu mengandung, melahirkan dan membesarkan kamu Atha. Ibu didik kamu dengan baik, Ibu selalu turuti permintaanmu, Ibu selalu memberikan yang terbaik untukmu. Inikah balasan atas semua yang sudah Ibu lakukan untukmu? Ibu sedang tidak mengungkit apa yang sudah Ibu berikan padamu karena tanpa kamu minta pun, Ibu akan selalu berusaha memberikan yang terbaik untukmu. Selama ini Ibu nggak pernah meminta apapun darimu, satu saja ... Ibu baru memintanya dan kau malah meragukan pilihan Ibu? Satu hal yang perlu kamu ingat Nak, nggak ada satupun Ibu di dunia ini yang menginginkan keburukan untuk anaknya." Pria itu terdiam. Semua ucapan Nania benar, tapi apa kabar dengan hatinya? Selama ini dia dan Jingga memang tumbuh bersama karena orang tua Jingga dan orang tuanya berteman. Namun, Atha hanya menganggap Jingga layaknya seorang adik, tidak lebih. Selama ini Atha tidak merasakan adanya getaran aneh yang mengindikasikan adanya cinta. "Bu, untuk saat ini aku nggak ada rasa sama Jingga, itu sebabnya aku menolak perjodohan ini, karena aku takut kami tidak bisa saling mencintai pada akhirnya. Pernikahan bukanlah main-main Bu, apa jadinya jika kami malah saling menyakiti," ucap Atha, mencoba memberi pengertian pada ibunya. "Cinta akan tumbuh seiring dengan berjalannya waktu," cetus Nania. Klasik memang, tapi wanita itu mengalaminya sendiri. Dia dan sang suami, ayahnya Atha juga menikah lantaran perjodohan. Walaupun Nania tahu hal itu tidak bisa dijadikan sebagai patokan, tapi tetap saja dia berpijak pada pendiriannya untuk tetap menjodohkan Atha dengan Jingga. Baginya, Jingga merupakan satu-satunya wanita yang tepat menjadi pendamping hidup putranya. Cerminan menantu dan istri yang baik, keunggulan seorang wanita ada dalam diri Jingga. Jingga begitu sempurna untuk ukuran wanita masa kini, karena memang tidak ada yang sempurna selain hanya Sang Maha Pencipta. Pembicaraan ibu dan anak itu berakhir. Nania memutuskan untuk tidur setelah sempat bersitegang dengan putranya sendiri. *** Larik-larik awan menyambut kedatangan penguasa langit, semburat jingga mengintip di batas cakrawala. Pagi ini Jingga telah rapi. Selepas sholat subuh, Jingga langsung membuat bubur nasi dengan kuah kaldu daging yang dia masak lama. Nania sangat menyukai masakannya dan dia sudah lama tidak membuatkan itu untuk wanita yang berjasa dalam hidupnya. Jingga gerak cepat membersihkan rumah dan buru-buru mandi agar dia bisa sampai lebih awal di rumah Nania untuk sarapan bersama. Di sisi lain. "Bu, mandi dulu yuk! Aku bantu bangunin ya," ucap Atha, lembut. Pada dasarnya Atha merupakan anak yang pendiam dan penurut. Tak heran di tengah kesibukannya memimpin perusahaan dia masih menyempatkan diri untuk mengurus ibunya. Penyakit yang menggerogoti Nania selama ini membuat wanita itu lemah dan bergantung pada obat-obatan dari dokter. Hal itu membuat rasa cinta dalam hati Atha pada sang ibu makin mendalam. Semenjak kepergian ayahnya, hanya Nanialah tempatnya bersandar dan berbagi keluh kesah. "Cepat handukinnya, Tha, Ibu kedinginan," keluh Nania. "Ya Bu, padahal airnya udah hangat tadi kan?" "Nggak tahu, Ibu kayak meriang." "Kapan jadwal check up Ibu?" "Masih dua Minggu lagi." "Kita ke dokter sekarang Bu? Aku takut Ibu kenapa-kenapa." Atha mulai panik. "Sudah jangan berlebihan, palingan Ibu cuma masuk angin karena mandinya kepagian." Atha membantu memakaikan baju pada ibunya, membawa wanita itu ke dapur dan segera membuatkan minuman hangat. "Teh manis aja, Tha, Ibu bosan minum susu terus. Nanti kalau Jingga ke sini dia pasti juga akan membuatkan Ibu susu lagi," ujar Nania. "Baik Bu." "Jangan terlalu manis!" "Ya." Segelas teh manis hangat itu pun telah berada di tangan Nania. "Ibu mau sarapan apa? Nanti aku buatin," tawar Atha. "Ibu mau ..." Belum sempat Nania melanjutkan ucapannya, gelas di tangannya terjatuh dan hancur berkeping-keping. Tubuh wanita itu mengejang. "Ibu." Atha yang panik langsung menghambur mendekati ibunya. "Ibu, apa yang terjadi Bu? Kita ke rumah sakit sekarang." "Dada Ibu sesak Tha, rasanya sakit sekali. Ibu nggak kuat." Nania memegangi dadanya. "Ibu nggak boleh ngomong gitu, Ibu akan baik-baik saja." Atha menggotong Nania dan membawanya ke mobil, bertepatan dengan itu Jingga datang. "Astaghfirullah, Ibu! Apa yang terjadi dengan Ibu, Mas?" Jingga menaruh rantang makanannya di teras. "Ngga, bantuin aku. Bukain pintu mobil, cepetan!" titah Atha, panik. "Ya Mas." Jingga duduk di jok belakang memangku kepala Nania. Atha melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit terdekat. Sesampainya di sana, Nania langsung mendapat pertolongan dokter. Jingga yang panik tak bisa duduk tenang. Bibir tipisnya tak henti merapal doa untuk keselamatan Nania. Dari situlah dapat Atha lihat kebenaran ucapan ibunya semalam, Jingga memang gadis yang penuh ketulusan. Namun, lagi-lagi hati dan pikirannya tak sejalan. Atha terus meyakinkan dirinya bahwa tak ada perasaan khusus di hatinya untuk Jingga selain hanya sebatas perasaan seorang kakak terhadap adiknya. Pria itu sungguh berada dalam dilema. Menuruti Nania berarti dia harus siap dengan segala resiko yang akan terjadi selanjutnya, tapi jika menolak, Atha takut hal itu akan berdampak pada kesehatan Nania.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD