Mathilde bersenandung kecil dengan perasaan sukacita. Sheet mask di wajahnya terasa dingin dan nyaman. Ia bermain ponsel sambil merasakan pijatan lembut di kakinya. Itu membuat kakinya lebih rileks dan nikmat. Sementara Beth di sampingnya hanya memejamkan mata menikmati pijatan di bagian yang sama.
Saat ini, keduanya sedang berada di Luxe Spa. Itu adalah tempat favorit mereka. Apalagi setelah empat tahun tinggal bersama Alexandra yang mereka anggap sebagai parasit keluarga Carter. Kini, mereka bisa melakukan spa dengan tenang.
“Akhirnya rumah kita bisa mendapatkan ketenangannya kembali setelah empat tahun. Aku sangat senang karena parasit itu sudah keluar dari rumah kita,” celetuk Beth tiba-tiba dengan penuh kehati-hatian agar tidak merusak sheet mask miliknya.
“Dia sangat memuakkan sampai aku selalu mual setiap melihatnya. Entah dari mana Joshua memungut penggali emas sepertinya,” balas Mathilde mencemooh, tetap fokus pada ponselnya.
“Yah. Syukurlah kedua benalu itu sudah pergi sekarang. Jika tidak, kita akan memelihara dua orang benalu tidak tahu malu.” Beth menekan-nekan masker di area sekitar bibirnya yang sedikit terangkat.
Mathilde lantas menoleh saat teringat sesuatu. “Tapi, Ibu, bukankah harusnya Nora tinggal bersama kita? Bagaimanapun, dia seorang Carter. Alexandra tidak pantas membawanya.”
“Biarkan saja dia membawa anak nakal itu. Aku tidak sudi merawatnya.” Beth melambaikan tangannya tak acuh.
Mathilde mengangguk setuju. “Yah. Aku juga tidak menyukainya. Dia selalu membuatku kesal setiap kali bertemu sampai rasanya aku menua dalam semalam.”
“Sudahlah. Jangan buang-buang waktu dengan membahas hal tidak penting seperti itu.” Beth menghela napas jengah. “Omong-omong bagaimana dengan pekerjaanmu akhir-akhir ini? Apakah semuanya berjalan lancar?”
Mendengar pertanyaan itu, Mathilde kembali menoleh seraya tersenyum bahagia dan berkata dengan antusias, “Ibu bertanya di waktu yang sangat tepat. Baru-baru ini aku menerima endorse dari brand terkenal dengan bayaran yang lebih besar. Itu membuat pengikut media sosialku semakin bertambah. Bahkan ada beberapa selebriti dengan centang biru yang mulai mengikutiku.”
Meski memiliki sifat yang buruk, tapi Mathilde adalah seorang influencer yang cukup terkenal dengan pengikut sembilan ratus ribu orang di instogram. Mathilde memiliki wajah cantik dengan mata hijau dan rambut pirang bergelombang.
Dengan wajah yang fotogenik, tubuh ramping, kemampuan story telling yang baik, dan rasa percaya diri yang tinggi, wanita itu berhasil menyita perhatian banyak orang. Tentunya itu membuat banyak brand ternama yang ingin bekerja sama dengannya.
“Benarkah? Kali ini apa? Jam tangan? Dress? Perhiasan?” tanya Beth dengan mata berbinar antusias.
***
Alexandra bergabung bersama Valery dan Gwen di ruang tv setelah menidurkan Nora. Ia mencomot satu paha ayam goreng crispy di atas meja lalu memakannya. Camilan malam memang tidak ada yang bisa menandingi.
“Lexy, kapan kau akan pulang dan menemui ibu dan ayah? Aku sudah tidak tahan menyimpan rahasia ini lebih lama.” Valery bertanya, sedikit mengeluh.
Alexandra tidak langsung menjawab. Ia termenung sejenak. Tapi belum sempat ia menjawab, seorang pria tampan dengan tubuh kekar datang dan seketika mencuri perhatian dengan suaranya yang serak dan berat.
“Sudahlah. Berhenti memaksa jika dia belum siap dan tutup saja mulutmu dengan rapat.” Pria itu mengacak rambut Valery sedikit kasar hingga membuat wanita itu kesal.
“Alex! Berhenti merusak rambutku! Aku menghabiskan waktu dua jam di salon untuk menatanya hari ini!” seru Valery mengomel, kembali merapikan rambutnya yang sedikit berantakan dongkol.
Tapi, pria berambut slicked back itu tak ambil pusing dengan seruannya dan langsung duduk di samping Gwen, merangkul pundak wanita itu mesra. “Pulanglah kapan pun kau mau, Lexy. Kami akan selalu menyambut kedatanganmu dan Nora.”
Alexandra mengulas senyum mendengarnya. Alexander Finnley Scott, pria itu adalah saudara kembar Alexandra sekaligus kekasih Gwen. Tentunya hanya segelintir orang yang mengetahui bahwa mereka adalah saudara kembar.
“Terima kasih, Alex,” ucap Alexandra tulus.
“Kata terima kasih tidak dibutuhkan dalam keluarga.” Alexander membalas bijak.
Gwen yang gemas dengan kekasihnya lantas memeluk pria itu dengan erat. “Betapa pengertiannya priaku ini.”
“Kalau begitu beri aku hadiah.” Alexander menyeringai. Tanpa basa-basi, Gwen langsung mengecup bibir pria itu dengan mesra.
Valery yang menyaksikan kemesraan dua sejoli itu lantas menutup mulutnya seolah-olah merasa mual. “Hentikan itu! Kalian sungguh membuatku ingin muntah.”
Gwen terkekeh seraya bersandar di dadaa Alexander yang kokoh. “Makanya, cepatlah cari pasangan agar kau bisa merasakannya.”
Suara percakapan di televisi lantas menyita perhatian mereka. Seorang wanita cantik mengulas senyum setelah menjawab pertanyaan yang diajukan padanya. Itu adalah wawancara Candise.
“Banyak orang yang penasaran dengan kepulanganmu. Apakah ada hal khusus dari kepulanganmu kali ini?” tanya sang jurnalis.
Candise dengan suara merdu menjawab, “Aku pulang ke negaraku sendiri, ini adalah rumahku, apakah itu akan menjadi pertanyaan? Terlebih, orang-orang yang kusayangi ada di sini. Aku tidak akan pergi ke mana-mana lagi.”
“Apakah maksudnya sekarang kau sudah menemukan belahan hatimu di sini?” Sebagai jurnalis profesional, dia langsung menangkap maksud tersembunyi dari ucapan Candise. Namun, wanita itu tak menjawab dan hanya memberikan senyuman manis. Tapi, sangat jelas makna di balik senyum bahagia itu.
“Dasar tidak tahu malu dan tidak tahu terima kasih! Dulu dia terjebak dalam skandal besar dan Lexy maju untuk membantunya sehingga dia bisa kabur ke luar negeri. Tapi, sekarang dia kembali dan menghancurkan keluarga Lexy dalam sekejap! Sungguh menjijikkan!” Gwen yang kesal memaki. Hampir saja ia melempar tulang ayam di tangannya ke layar televisi.
“Joshua buta karena memperlakukan wanita menjijikkan itu seperti harta karun. Hanya orang bodoh yang akan memilih Candise dari pada Lexy. Tapi, yah, seorang brengsekk dan seorang jalangg, mereka cukup cocok,” sambung Valery bersedekap dadaa, ikut naik pitam.
“Bagaimanapun, cinta memang buta.” Alexandra berceletuk, sedikit merenung.
“Ya, seperti pria brengsekk itu yang membutakanmu selama empat tahun.” Valery berkomentar dengan kata-kata pedas yang membuat Alexandra menunduk.
“Tapi, meskipun kalian sudah bercerai, kita tidak bisa membiarkan kedua bajingann itu lolos begitu saja,” protes Gwen tak terima.
“Aku tidak peduli lagi dengan mereka. Sekarang, aku hanya ingin hidup tenang dan bahagia bersama Nora,” ucap Alexandra tak acuh.
“Kau terlalu berpasrah diri.” Gwen menghela napas frustrasi.
“Berhenti menyia-nyiakan tenaga dan waktu kalian hanya untuk bedebahh seperti mereka. Itu tidak sebanding.” Alexander dengan tenang memperingatkan seraya mengelus pundak kekasihnya yang terlanjur marah. Ia segera mengganti saluran televisi sebelum kedua wanita itu semakin garang.
“Tetap saja. Aku merasa sangat jengkel setiap kali mengingat betapa menderitanya Lexy selama tinggal di gubuk itu. Harus merendahkan diri dan me- Akh! Kenapa kau melemparku?!” Valery menjerit jijik sambil mengelap lengannya yang baru saja terkena lemparan tulang ayam Gwen dengan tisu.
Sontak Gwen memberi isyarat dengan melirik ke arah Alexandra yang menunduk termenung. Seketika mulut Valery terbuka lebar dengan mata melebar saat menyadari kesalahannya. Ia lantas mengulum bibir merasa bersalah kemudian berkata lirih, “Ah ... maafkan aku.”
“Tidak masalah. Lagi pula memang itulah yang terjadi. Aku tidak akan menyangkalnya,” ucap Alexandra dalam ketenangan.
“Lexy ....”
Alexandra meraih tangan Valery seraya tersenyum lembut. “Aku tidak menyalahkanmu. Sungguh.” Di waktu bersamaan, ponselnya berdering. Seketika tubuh Alexandra menegang melihat nama si pemanggil.
“Siapa?” Gwen bertanya.
“Joshua.”
Mendengar nama pria itu, seketika wajah Alexander mengeras. Dengan tatapan tajam dan suara dingin, ia bertanya, “Mau apa bajingann itu menghubungimu?”
Alexandra membalas dengan gelengan.
“Hah! Dasar tidak tahu malu! Apa yang dia inginkan dengan menghubungi mantan istri yang dia abaikan sekarang?” Valery menyilangkan dadaa dengan mata melotot.
“Biar aku yang menjawabnya.” Alexander mengulurkan tangan ingin mengambil ponsel saudara kembarnya.
Namun, Alexandra menggeleng. “Aku bisa mengatasinya.” Tanpa basa-basi lagi, ia langsung menjawab panggilan tersebut. “Halo.”
“Temui aku besok. Aku ingin bicara.” Jelas sekali Joshua sedang memerintahnya sekarang.
“Tentang apa?” tanya Alexandra tenang.
“Perceraian.”
***
To be continued.