Bab 6

1527 Words
Erick masih terlelap di ranjang hotel dengan wajah tanpa dosa meski waktu sudah menunjukkan pukul 11 siang. Untungnya syuting hari ini dibatalkan karena sebagian kru masih belum sadar dari mabuk mereka. Mataku masih menatapnya dengan tatapan penuh amarah dan juga benci sepanjang malam. Tidak pernah aku sebenci dan sedendam ini sampai-sampai aku berniat membunuhnya dengan tanganku sendiri. Sepanjang malam tadi aku merenung dan bertanya apa salahku padanya tapi sampai pagi ini jawaban itu tidak kunjung aku dapatkan. Kenapa dia tega memperkosaku sedangkan aku masih kecil, anak berumur 10 tahun yang belum tahu apa itu s*x dan hubungan seksual. Aku marah pada mami dan papi karena berbohong tapi mereka punya alasan yang menurutku masih masuk diakal karena ingin masa depanku lebih baik jika aku tidak tahu tentang p*******n itu dan aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada diriku selama 10 tahun ini kalau aku tau tentang hal itu. Aku juga marah pada nasib buruk yang menimpaku gara-gara manusia biadab bernama Erick Alarcon. Hidup rasanya tidak adik bagiku, aku tidak saja jijik pada Erick tapi juga pada diriku sendiri. Gerakan tangannya membuat lamunanku buyar, Erick memegang kepalanya dan menoleh ke arahku yang sedang duduk di kursi samping ranjangnya. "Allea," panggilnya dengan ekspresi bingung kenapa aku dan dia bisa berada di dalam satu kamar hotel. Ini terakhir kamu memanggil namaku dengan mulut kotor itu. Aku akan pastikan hari ini Erick akan menyesal karena sudah menghancurkan hidupku. "Gue punya satu pertanyaan dan elo harus jawab dengan jujur," kataku dengan wajah dingin. Erick masih melihatku tanpa berkedip. "Hmmmmm, apa yang mau kamu tanyakan?" Erick masih memijat keningnya beberapa kali dengan tangan. "Kenapa ... Kenapa elo memperkosa gue 10 tahun yang lalu?" Lidahku kelu saat mengungkit lagi kejadian itu. Dadaku rasanya diremas dan napasku sesak. Wajahnya berubah kaget, mungkin dia tidak menyangka aku akan bertanya hal itu. "Allea." "Jawab!" Teriakku dengan keras. Erick masih diam dan tidak memberiku jawaban atas pertanyaan tadi. Aku berdiri dari kursi lalu mendekatinya dan mencengkram kerah kemejanya dengan tangan yang masih bergetar karena amarah tadi. "Jawab! Atau gue akan bunuh elo!" Seruku dengan ancaman agar Erick mau bicara tapi dia memilih tetap bungkam dan tidak peduli dengan ancamanku. Aku menarik lampu meja hingga lepas dari colokannya dan hendak melemparkan lampu meja itu ke dirinya. "Jawab!" Teriakku lagi dengan bibir bergetar. Aku mulai kesetanan, lampu meja tadi aku buang ke dinding hingga kacanya berantakan di lantai dan dengan keberanian yang ada aku mendorong badannya hingga dia terlentang di ranjang, setelah itu aku naik dan duduk di badannya lalu mengarahkan dua tanganku ke arah lehernya. "Gue salah apa? Gue salah apa sama elo hah!" "Maafin aku, Allea." Aku menggeleng dan menangis membayangkan apa yang terjadi hari itu. "Gue salah apa! Jawab!" Erick tidak melakukan apa-apa dan membiarkan aku mencekik lehernya, aku berusaha mengerahkan seluruh tenagaku tapi rasanya tanganku tiba-tiba melemah. Terlebih saat Erick seakan pasrah dan menutup matanya sebagai tanda dia mempersilakan aku untuk membunuhnya. Aku masih menangis sembari mencekiknya tapi lagi-lagi tanganku terasa lemah. Aku melepaskan dua tanganku dari lehernya dan jatuh pasrah hingga wajahku terbenam di dadanya, tangan kananku memukul ranjang berkali-kali untuk melampiaskan rasa sedih karena aku tidak sanggup untuk membunuhnya. Aku tidak sanggup meski aku sangat ingin melakukan itu. "Gue salah apa, Rick. Kenapa elo jahatin gue?" Tangis penuh amarah tadi berubah menjadi tangis pilu. Aku semakin membenamkan wajahku di dadanya, aku tidak peduli dengan apapun kini. Aku hanya ingin menangis dan menangis melampiaskan kesedihanku. "Aku yang salah, aku memang manusia tidak bermoral, Allea." Ujarnya. Aku mengangkat wajahku dan mengepalkan tangan untuk meninjunya tapi lagi-lagi aku tidak bisa melakukannya saat Erick terlihat pasrah menunggu tangan itu mengarah ke wajahnya. Beberapa kali aku membuang napas untuk menormalkan emosiku. Aku turun dari badannya dengan langkah gontai, aku lalu terduduk di lantai dan kembali menangis meratapi takdir buruk yang menimpaku 10 tahun lalu. Erick mendekatiku lalu memelukku dari belakang, cukup lama posisi kami seperti ini. "Jangan menangis lagi, Allea. Aku salah dan aku siap kalau kamu mau membunuhku, aku rela." Ujarnya. Aku mendorongnya hingga dia terjatuh dan aku berdiri setelah menghapus airmata yang membasahi seluruh wajahku. "Ini pertemuan terakhir kita, selanjutnya kita hanya akan bertemu di lokasi syuting. Jangan pernah bahas masa lalu lagi dan jangan harap gue akan maafin elo!" Aku menyambar tas lalu keluar dari kamar meninggalkan Erick yang masih berdiri mematung. **** Winda melihatku dengan wajah penasaran saat pulang dari hotel wajahku sembab dengan mata bengkak, riasan kacau dan baju pesta masih aku pakai. "Mbak baik-baik saja?" Tanyanya. "Gue lagi nggak mood menjawab pertanyaan dalam bentuk apapun, tapi yang jelas gue kayak gini karena habis nonton drama korea." Aku membuka gaun yang bikin aku tidak nyaman lagi dan masuk ke dalam kamar mandi dengan hati masih kacau. "Wah drama yang mana mbak? Tentang pelakor cantik? Atau ibu yang reinkarnasi untuk bertemu anaknya?" Ujarnya sambil menyempilkan wajahnya di pintu kamar mandi. "Tentang korban p*******n yang hampir membunuh pemerkosanya tapi gagal karena dia nggak tega, puas!" Balasku dengan kesal. Winda mengerutkan keningnya. "Wah ada ya drama kayak gitu, judulnya apa mbak? Aku pengen nonton." Tanyanya dengan wajah lugunya. Andai tenagaku masih ada mungkin aku sudah membenamkan Winda ke dalam air hangat ini tapi aku benar-benar letih akan semua ini. "Lebih baik elo jangan ganggu gue deh, daripada gue ngamuk sebentar lagi." Winda pun berhenti menggangguku dengan pertanyaan yang membuat darahku kembali mendidih. Aku menatap diri di cermin dan merasa nggak punya harga diri lagi. "Lupakan Allea!" Aku menepuk pipiku beberapa kali agar lupa dengan semua hal menyedihkan dan kembali menjadi Allea yang ceria dan penuh semangat. **** "Hah, berubah lagi? Kenapa sih pak Syamsul hobi mengubah naskah dan juga lokasi syuting. Sekarang apa lagi yang diubahnya?" Tanyaku ke salah satu kru yang menemuiku sesampainya di lokasi syuting. Kru itu menggaruk kepalanya dan tersenyum malu padaku. "Bali," jawabnya singkat. "Hah, Bali? Kapan berangkatnya?" Kru itu kembali menggaruk kepalanya. "Sudah berangkat sih tadi pagi, hanya mbak dan mas Erick saja yang belum berangkat. Kalian ditunggu di bandara dan sesampainya di bandara langsung syuting, ini tiketnya dan tolong titip punya mas Erick ya," balas kru itu. Sialan! "Oke, makasih." Aku menutup jendela lalu menyuruh Winda mengantarku ke bandara. Sepanjang perjalanan menuju bandara aku melihat tiket Erick yang diserahkan kru itu, aku buka jendela lagi dan membuang tiket milik Erick. "Buang apa mbak?" Tanya Winda. "Sampah," balasku singkat. Sesampai di bandara aku saat akan melakukan chek in aku bertemu lagi dengan Erick tapi aku mengacuhkannya. "Mbak, tiket mas Erick katanya sama mbak ya?" Tanya manager Erick. "Upssss, iya ya? Kayaknya kebuang deh saat aku buang sampah. Maaf, aku pikir itu sampah. Karena menurutku sampah itu harus dibuang bukan disimpan," sindirku sambil melihatnya. Manager Erick melihat ke arah Erick. "Nggak apa-apa, tolong pesankan tiket satu lagi." Balas Erick ke managernya. Aku melewatinya menuju ruang tunggu setelah Winda melakukan chek in. **** Sesampainya di airport aku akhirnya bergabung dengan kru dan pak Syamsul. "Erick mana?" Tanya pak Syamsul saat melihatku datang hanya bersama Winda. Aku mengangkat bahu lalu duduk di kursi menunggunya datang. "Hari ini kita syuting episode dua, kalian akan tinggal di villa untuk bulan madu. Pokoknya saya mau kalian keluarkan semua improvisasi keromantisan agar rating kita semakin tinggi," ujar pak Syamsul. Pak Syamsul masih memberikan pengarahannya saat Erick akhirnya tiba setelah dua jam kami menunggu. "Kenapa kamu telat, Erick?" Tanya pak Syamsul. Manager Erick mau mengadukan ulahku yang membuang tiketnya tapi Erick menahannya. "Maaf pak, tadi saya ada keperluan mendadak hingga ketinggalan pesawat," balasnya. Pak Syamsul tidak berhenti mengomel. "Oke kita mulai adegan pertama saat kalian sampai di bandara menuju villa untuk bulan madu," teriak pak Syamsul menggunakan toa karena suasana bandara sedikit berisik. Episode dua. Adegan pertama. Kedatangan kami di Bali disambut kalungan bunga oleh beberapa orang yang datang menjemput kami ke villa. Setelah acara pernikahan tadi malam pagi ini aku dan Erick akan berbulan madu selama satu minggu di villa milik Erick. "Ayo sayang," Erick menggenggam tanganku saat kami keluar dari bandara menuju mobil yang sudah menunggu. Aku tersenyum dan membalas genggaman tangannya, aku naik ke dalam mobil bersama Erick. "Apa yang akan kamu lakukan hari ini?" Tanyanya. Aku meletakkan tangan di dagu dan setelah itu membuat gerakan jentik dengan jari. "Bagaimana kalau kita ke pantai untuk berjemur? Aku tidak sabar mengenakan bikini yang aku bawa dari Jakarta," kataku. "Jangan pernah pakai bikini, yang boleh melihat tubuh kamu hanya aku, suamimu." Balasnya dengan nada posesif. "Cut!" Teriak pak Syamsul. Pak Syamsul mendekati kami dengan wajah tidak seperti biasa. "Seharusnya kamu izinkan Allea pakai bikini karena itu akan menambah rating acara kita," ujar pak Syamsul. Erick melihat pak Syamsul dengan tatapan tajam. "Allea tidak akan memakai bikini," ujarnya. "Rating akan naik," balas pak Syamsul. "Allea tidak akan memakai bikini, paham?"ulangnya pelan tapi cukup mengintimidasi pak Syamsul. Pak Syamsul pun kembali ke tempatnya sedangkan aku menantang Erick dengan tatapan tajam. "Gue akan pakai bikini, elo siapa hah! Elo nggak bisa larang-larang gue." Ujarku pelan agar tidak ada yang mendengar perbincangan kami. "Dalam acara ini, aku suami kamu dan aku melarang kamu pakai bikini dan mempertontonkan tubuh kamu ke orang lain," balasnya. Aku kehabisan kata-kata untuk melawannya bukan karena aku ingin menurutinya tapi aku malas berdebat saat sedang syuting seperti ini. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD