Memasuki komplek perumahan mewah yang ditunjukkan oleh gadis di sampingnya ini, Axel melambatkan laju kendaraan. Ia harus memastikan bahwa gadis aneh ini benar-benar bersedia menjadi istrinya. Waktunya akan terbuang cuma-cuma kalau hanya untuk mengantarkan mantan pacar adik iparnya ini pulang. Maklum saja, gadis ini walau kelihatannya pintar, sesungguhnya sama somplaknya dengan adiknya, Lily. Kalau diam, terlihat cantik dan anggun. Namun kalau sudah membuka mulut, hancur semua citra cantik dan anggun tersebut.
"Coba lo ulangi sekali apa tujuan kita menemui orang tuamu?"
"Hah, apa?" Raline yang tengah membayangkan reaksi kedua orang tuanya atas kejutan yang ia bawa, tergagap. Axel tiba-tiba mengajukan pertanyaan padanya setelah sepanjang perjalanan ia diam seperti patung. Bagaimana ia tidak kaget coba?
"Hah... heh... hah... heh... lo kebanyakan bengong mantan pacar Heru," ketus Axel kesal.
"Gue tanya, apa yang akan lo katakan pada nyokap bokap lo mengenai kedatangan gue." Axel mencoba memperpanjang kesabarannya. Menghadapi orang rada-rada oneng seperti Raline memang memerlukan kesabaran ekstra.
"Oh, bilang dong dari tadi!" Raline berdecak. Karakter Axel ini membingungkan. Kalau diam seperti orang bisu. Tapi sekalinya membuka mulut, marah-marah melulu.
Breath in, breath out, sabar Axel. Ini orang memang mengesalkan. Tapi dia juga calon istri lo. Lo harus mulai belajar sabar sampai mengalahkan Bang Sabaruddin, tujang ojek pengkolan.
"Gue akan bilang pada mereka kalo lo akan menukar gue dengan uang dua milyar rupiah. Bener 'kan?" Raline tersenyum lebar. Memamerkan barisan giginya yang putih dan rapi. Ia bahagia karena akan terbebas dari keharusan dinikahi oleh seorang aki-aki. Tawa lebarnya membuat matanya yang sipit, making melengkung serupa bulat sabit.
"Ya Tuhan. Tolong jangan buat hamba kepingin menembak kepala calon istri hamba sendiri," desah Axel putus asa.
Axel meremas kemudi geram. Ia memang sudah merasa kalau Raline ini rada-rada oneng. Namun ia sama sekali tidak menyangka kalau tingkat keonengan Raline ini sudah sampai pada stadium akhir, alias akut. Bisa bubar jalan kalau Raline dibiarkan bicara sendiri di depan kedua orang tuanya nanti.
"Bukan begitu konsepnya, mantan pacar He--"
"Stop! Jangan menyanding-nyandingkan nama Heru dengan gue lagi. Heru udah bersanding di pelaminan dengan perempuan lain. Dengan adik lo malahan. Sebut nama gue langsung apa susahnya sih?" Raline melotot. Raline memperhatikan sedari tadi Axel ini jarang sekali menyebut namanya. Cuma sekali sepertinya. Sisanya Axel hanya memanggilnya dengan sebutan pelakor atau mantannya Heru. Seperti inilah Heru selalu menjulukinya, apabila mereka tidak sengaja bertemu.
Axel menghitung satu sampai sepuluh dalam hati. Mempertimbangkan apakah ia harus mengatakan yang sejujurnya, atau mencari alasan lain.
"Memang susah. Karena gue sekarang sudah lupa lagi dengan nama lo. Gue memang payah mengingat nama orang-orang baru."
Axel memutuskan mengatakan yang sejujurnya. Ia memang acapkali lupa dengan nama orang-orang baru. Istimewa nama yang susah-susah panggilannya.
"Heh? Lupa nama gue?" Raline menunjuk hidungnya sendiri. Ia heran Axel yang masih muda sudah pelupa akut. Bagaimana nanti kalau mereka berdua sudah menjadi kakek dan nenek? Masa iya Axel masih memanggilnya dengan sebutan mantan si Heru? Mengenaskan!
"Nama gue Raline. Tadi lo inget. Sekarang kenapa bisa lupa sih? Lo belum kakek-kakek udah pelupa." Raline mengejek Axel.
"Eh nama Heru, itu lo inget. Kagak baik lo, lupa nama orang pake milih-milih dulu." Raline memberengut. Axel memang selalu sentimen padanya.
"Eh Alkaline. Heru udah gue kenal dari kapan tahun. Makanya gue inget namanya. Nah elo? Gue kenal lo cuma dalam hitungan hari. Lo kagak nyimak gue ngomong apa tadi?"
Axel mencengkram kemudi kian erat. Kekuatannya bersabar telah sampai di titik nadir. Mantan pacar Heru ini, selain oneng juga bawel. Protes melulu lagi.
"Nama gue Raline. Bukan Alkaline. Alkaline itu merek batere." Raline sampai mau menangis saking kesalnya. Masa namanya disetarakan dengan merek batere? Itu cuma nama depan tok. Pun Axel bisa lupa. Apalagi jika ia menyebut nama lengkapnya Raline Raharjo Soeryo Soemarno. Bisa dipanggil Sumo ia oleh si Axel pelupa ini.
"Udah, sama aja itu. Ada Line... Line-nya. Mirip." Axel mengibaskan tangannya ke udara.
"Mirip dari mana? Lo sembarangan aja mengganti nama orang. Tidak pakai bubur putih Bubur merah lagi." Raline masih belum terima kalau namanya diganti sembarangan.
"Eh tadi lo bilang kalo gue kagak nyimak? Nyimak apaan? Emang lo ngomong apaan tadi?" Raline mengerutkan keningnya. Mencoba mengingat-ingat apa saja yang dikatakan oleh Axel tadi. Namun ia tidak menemukan benang merahnya.
Axel mengelus d**a. Sudahlah. Lebih baik ia fokus pada tujuan. Ia tidak mau meladeni omongan yang tidak ada ujung pangkal Alkaline eh Raline lagi. Syukurlah, akhirnya ia ingat kembali nama gadis ini.
"Udah diem. Lo jangan ngomong lagi. Gini aja. Ntar sesampainya kita di rumah lo, gue aja yang ngomong sama bokap nyokap lo. Lo cukup mingkem dan jangan mengeluarkan sepatah kata pun sebelum gue izinin." Axel mencari jalan aman. Daripada ia naik darah dan semua rencana berantakan, lebih naik dirinya yang memegang kendali.
"Ogah!" Raline menggeleng cepat. "Ntar lo bilang yang jelek-jelek soal gue, gue kagak bisa membantah." Raline protes. Ia takut kalau Axel nanti menjelek-jelekkannya di depan kedua orang tuanya, sementara ia tidak bisa membela diri. Soalnya ia sudah janji tidak akan bersuara.
"Gue nggak akan ngejelek-jelekin lo," sahut Axel enteng seraya kembali menjalankan mobil.
"Soalnya lo udah jelek dari sononya," imbuh Axel lagi.
Axel bersiap-siap menerima amukan Raline. Perempuan di mana-mana pasti histerus kalau dikata-katai jelek. Ia memang sengaja mengatai Raline. Ia memerlukan pemanasan sebelum berkonfrotasi dengan kedua orang tua Raline, dan mungkin juga orang yang dipanggil Pak Riswan. Dirinya adalah type orang yang terlambat panas. Kalau memakai istilah Erick, ia seperti mesin diesel. Panasnya naik pelan-pelan dan baru meledak belakangan. Untuk itu ia harus mencuri start duluan.
"Iya, gue emang jelek kayaknya ya? Cuma selama ini orang-orang pada kagak enak hati aja mengatakannya di depan mata gue. Kalo lo kan bukan orang. Tapi mafia. Makanya bacot lo kagak ada saringannya," tukas Raline lesu. Kedua bahunya melorot. Ia baru menyadari satu hal. Pasti dirinya jelek, makanya ia bolak-balik ditinggal pacar.
Axel melirik ke samping dengan sudut mata. Ia sama sekali tidak menyangka akan mendapat reaksi sedih bin pasrah seperti ini dari Alkaline eh Raline. Perasaannya menjadi tidak enak. Seperti rasa bersalah yang tidak ingin ia akui.
"Lo jelek di mata orang yang tidak tepat. Kalo di mata orang yang tepat, lo cantik juga kok." Apa boleh buat. Berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Ia sudah membuat Raline kecil hati. Untuk itu ia harus membesarkan hati Raline kembali. Inilah yang disebut dengan konsekuensi.
"Begitu ya? Karena lo sudah berani melamar gue, itu artinya lo sudah menganggap gue tepat. Jadi di mata lo. Jadi gue ini cantik dong?" Raline meminta pengakuan Axel. Yang dimintai pengakuan berdecak tidak nyaman.