Berbesar hatilah Axel. Jadi laki-laki itu harus konsisten. Kalau sudah mengatakan satu, maka sampai mati pun harus tetap bilang satu.
"Iya, lo cantik di mata gue. Dan hanya gue seorang yang boleh lo percaya, kalau gue bilang lo itu cantik. Apabila ada orang lain yang mengatakannya, mereka bohong. Karena mereka bukan orang yang tepat untuk lo. Ngerti lo?" dikte Axel lagi.
"Mengerti." Raline mengangguk takzim. "Hanya lo yang boleh gue percaya kalo lo bilang gue ini cantik."
Raline tersenyum lebar di antara kedua matanya yang terasa makin panas. Suhu tubuhnya naik lagi sepertinya. Semoga saja Axel segera membayar hutang pada Pak Riswan. Dengan begitu ia bisa beristirahat dengan tenang di kamarnya.
Sejenak Axel termangu. Gadis ini kalau tersenyum girang begini, manis juga. Wajah antagonisnya berubah lucu. Matanya yang sipit berubah seperti bulan sabit. Hilang sudah aura jahatnya. Cara berbicaranya mirip Marilyn lagi. Oneng- oneng menggemaskan.
Lo mikir apa sih, Axel? Marilyn itu udah jadi istri orang!
Axel mendecakkan lidah. Ia kembali menjalankan kendaraan. Sepertinya Rencananya akan lancar jaya. Karena gadis di sampingnya ini tidak akan menginterupsi apapun yang dikatakannya. Ia yakin gadis ini akan diam saja, terkait apa yang sudah ia perintahkan tadi. Mengapa ia yakin kalau gadis ini tidak akan melanggar janjinya? Jawabannya insting.
Menjadi seorang mafia yang berkecimpung di dunia kelam dan berhadapan dengan 1001 sifat orang, membuatnya piawai membaca situasi. Ada dua hal yang membuat Axel yakin gadis ini akan patuh. Pertama, gadis ini tadi langsung protes kala ia perintahkan tidak boleh berbicara. Gadis ini takut kalau dirinya tidak bisa membela diri apabila diceritakan tidak dengan semestinya. Dari hal ini saja Axel telah mendapat satu gambaran. Gadis ini patuh pada peraturan. Kalau ia ingin membangkang, pasti ia tidak akan protes. Ia baru akan beraksi di saat ada kesempatan.
Yang kedua, dari masalah puji memuji kecantikan tadi. Air muka Raline memperlihatkan kepercayaan mutlak atas kata-katanya. Oleh karenanya Axel sangat yakin kalau semuanya akan aman terkendali. Intuisinya jarang salah dalam membaca karakter orang.
***
"Stop. Ini rumah gue." Raline meminta Axel menghentikan laju mobil. Seperti yang sudah ia perkirakan, Pak Riswan sudah berada di rumahnya. Hal itu ia tandai dengan mobil hitam mewah yang terlihat parkir di halaman. Raline mengenalinya sebagai mobil Pak Riswan. Pak Riswan biasa berkunjung dengan mobil ini beserta supir dan dua orang bodyguardnya. Pak Riswan tidak pernah datang sendirian. Mungkin Pak Riswan takut apabila ia terserah stroke, tidak ada orang yang akan menggotong-gotongnya ke rumah sakit.
"Seperti yang gue bilang tadi, Pak Riswan sudah ada di dalam. Jadi kita harus bagaimana?" Sebelum turun Raline lebih dulu bertanya. Karena kalau sudah ada di dalam rumah, ia harus mingkem sesuai dengan janjinya pada Axel tadi.
"Ya tidak bagaimana-bagaimana. Kita harus masuk tentu saja. Satu hal yang harus lo ingat. Kalo gue tidak meminta lo bicara, jangan bersuara. Paham?"
"Oke. Sebelum gue bisu, gue kasih tahu lo satu hal. Nama aki-aki rentenir itu Pak Riswan. Lo jangan lupa lagi." Raline memperingatkan Axel.
"Katanya aja mafia? Masa mafia bisa lupa nama orang? Kagak pantes amat lo menyandang julukan seorang mafia," gerutu Raline.
"Eh mafia itu kerjanya membunuh orang. Bukan menghapal nama orang. Paham lo?" Axel panas karena terus diceng-cengi oleh Raline.
"Iya... iya... gue cuma mengeluarkan pendapat sebelum jadi orang bisu ntar di dalem. Gue turun dulu. Mau buka pager." Raline membuka pintu mobil. Ia bermaksud melebarkan pintu gerbang.
"Kagak usah!" bantah Axel.
"Lah, kagak usah jadi kita masuknya lewat mana? Terbang? Berubah jadi semut?" Raline lama-lama emosi juga karena semua kalimatnya dibantah oleh Axel.
"Kagak perlu lo yang turun maksud gue. Sejak lo setuju jadi istri gue, maka gue akan memperlakukan lo selayaknya seorang istri. Istri gue akan gue perlakukan kayak ratu, bukan babu."
Axel turun dari mobil dan melebarkan pintu gerbang. Kalau menuruti kebiasaan, ia akan menerjang saja pintu gerbang ini dengan mobil hingga terbuka. Namun Axel sadar. Saat ini ia harus berperilaku baik. Bagaimanapun jeleknya prilaku kedua orang tua Raline, namun keduanya tetap akan menjadi calon mertuanya. Untuk itu ia akam menghormati keduanya sebagai orang yang telah menyebabkan calon istrinya ada di dunia ini. Baginya adab pada orang yang lebih tua, adalah wajib.
Sementara Raline yang masih berada di dalam mobil menyusuti air mata yang tiba-tiba saja mengalir bagai air bah. Seumur hidupnya, ia tidak pernah diperlakukan sehormat ini sebagai seorang perempuan. Dipuji cantik, sering. Namun tujuan orang yang memujinya rata-rata busuk. Mereka merayunya karena ingin mendapatkan akses memiliki tubuhnya. Diperlakukan manis, sering juga. Tapi lagi-lagi ada pamrihnya. Ujung-ujungnya mereka ingin menidurinya.
Sementara Axel berbeda. Axel memujinya tanpa bermaksud mencari keuntungan darinya. Axel dingin namun menghargainya. Hal ini yang tidak ia dapatkan dari laki-laki yang ada di sekelilingnya.
Kalau Aksa dan Heru, mereka berdua menyayanginya. Bukan mencintainya. Mereka menganggapnya adik dan bagian dari keluarga besar. Raline tidak bisa menyalahkan keduanya.
Tapi Axel ini, lihatlah. Betapa gentlenya seorang mafia gahar ini membuka pintu pagar rumahnya. Menegaskan padanya bahwa istrinya akan ia hormati dan perlakukan selayaknya seorang ratu. Bukan babu. Bagaimana Raline tidak terharu? Inilah yang ia inginkan dari laki-laki yang akan menjadi imamnya. Menghormatinya dan syukur-syukur mencintainya.