"Ke mana saja kamu seharian ini hah?" Raline nyaris terjungkal kala ayahnya membentak kasar. Ia kaget. Untungnya ia masih sempat meraih pegangan pintu. Akan sangat memalukan kalau ia terjerembab seperti katak lompat di depan semua orang.
Saat ini yang tampak dalam penglihatan Raline adalah ayah dan ibunya, Pak Riswan serta dua orang bodyguard si aki-aki yang biasa. Ayah dan ibunya duduk bersisian di sofa. Sementara Pak Riswan duduk di hadapan kedua orang tuanya. Kedua bodyguard Pak Riswan masing-masing berdiri di belakang sofa dalam posisi siaga. Sepertinya Pak Riswan tengah mengintimidasi kedua orang tuanya.
Raline tidak langsung menjawab pertanyaan ayahnya. Melainkan ia menatap Pak Riswan dengan pandangan penuh kebencian.
Ketika tatapan Raline bersirobok dengan Pak Riswan di udara, si tua bangka itu mengedipkan sebelah matanya m***m. Raline memelototi Pak Riswan. Dulu ia memang takut pada Pak Riswan. Makanya Raline tidak pernah menatap mata Pak Riswan secara langsung. Tapi kali ini beda. Sudah ada Axel yang berdiri di sampingnya. Bersama Axel, Raline tidak takut terhadap apapun lagi.
"Raline mencari uang, Yah. Ayah jangan marah-marah terus. Duduk dulu, Yah. Nanti darah tinggi Ayah naik lagi. Kita sedang tidak punya uang ke rumah sakit bukan?"
Setelah memberi tatapan peringatan kepada Pak Riswan, Raline bergegas menghampiri ayahnya. Ayahnya berdiri sembari memegangi d**a. Raline takut kalau ayahnya kolaps lagi. Dalam sebulan ini sudah dua kali ayahnya kolaps karena tensinya melonjak. Ia sampai harus menjual tas branded terakhirnya demi membawa ayahnya ke dokter.
"Mencari uang katamu? Lantas mana uangnya?" Pak Adjie menepis tangan Raline. Selain marah, sesungguhnya ia juga cemas. Seharian putrinya ini tidak pulang-pulang. Ponselnya juga tidak aktif. Bagaimanapun Raline itu putrinya. Ia takut kalau putrinya yang naif ini mendapat masalah di luar sana. Belum lagi Pak Riswan yang mengamuk karena mengira dirinya bersekongkol dengan Raline untuk mengelakkan perjodohan.
Dan kini pulang-pulang putrinya malah membawa seorang laki-laki bule. Ia sangat antipati pada bule. Karena di masa lalu, putrinya ini sudah pernah ditipu oleh seorang bule. Bagaimana ia tidak makin jengkel karenanya?
"Bule ini siapa?" Pak Adjie menunjuk Axel.
"Ini Mas Axel, Yah. Sebagai informasi Mas Axel bukan bule original. Tapi bule KW. Kata Lily, almarhum papanya saja yang orang Prancis. Kalau mamanya mah asli Ciamis." Raline mengedit tuduhan ayahnya.
"Mau original, mau KW, tetap saja judulnya bule. Apa kamu tidak kapok pernah ditipu bule?" sembur Pak Adjie gusar. Putrinya ini memang susah diajak berbicara serius. Kekurangancerdasannya lah yang kerap membuat putrinya ini mudah dipengaruhi dan ditipu.
"Tapi sepertinya Ayah pernah melihat wajah orang ini. Tapi entah di mana?" Pak Adjie mengerutkan kening. Ia mencoba mengingat-ingat di mana ia melihat wajah bule dingin ini. Tatapan mata sang bule begitu mengintimidasi. Ada aura sangar yang menguar dari raut wajahnya. Pak Adjie mengalihkan tatapan. Ia ngeri memandang sang bule. Perbawa bule ini jelas menyiratkan ancaman tanpa kata-kata. Siapa dia?
Akan halnya Pak Riswan, nyalinya langsung ciut ketika mendengar Raline menyebut nama Axel. Ternyata dugaannya benar. Bule gahar ini adalah anak almarhun Pierre Delacroix Adams. Kakak angkat almarhum Texas Delacroix Bimantara, sahabat lamanya.
Walau semua orang mengenal Axel sebagai anak kandung Pierre, sesungguhnya Axel adalah anak kandung Texas. Aimee, ibu Axel, sebelumnya adalah pacar Texas sebelum menikah dengan Pierre. Rahasia ini hanya segelintir orang yang tahu. Sebelum Texas tewas tertembak karena mencoba menyerang Lily, sahabatnya itu sempat memberitahu rahasianya.
Sebenarnya ia telah mempunyai prasangka, kala menatap wajah dingin si bule. Garis wajahnya bagai pinang dibelah dua dengan Texas. Namun ia masih berharap semoga dugaannya salah.
Tapi ketika Raline menyebut nama Axel dan Lily, Pak Riswan seketika loyo. Nama anak-anak Pierre memang Axel dan Lily. Dulu, ia pernah beberapa kali bertemu dengan anak-anak Pierre, kala ia menemani Texas mengunjungi kakak angkatnya. Saat itu Pierre belum tewas. Texas menembak kakak angkatnya sendiri karena cemburu. Waktu berlalu begitu cepat. Axel sekarang sudah sedewasa ini.
Nama Delacroix Adams sendiri adalah nama yang paling menakutkan dalam dunia hitam. Tiga generasi Delacroix Adams, terkenal bengis kalau diusik. Dimulai dari Javier, Pierre dan kini Axel. Sepertinya niatnya memperdaya Pak Adjie agar bisa memperistri Raline, tidak akan terwujud. Putra Texas ini sudah menandai daerah teritorinya. Bersahabat dengan Texas, membuat Pak Riswan khatam dengan karakter sahabatnya itu. Texas itu kalau sudah punya mau, semua rintangan akan ia terjang. Darah Texas dan Axel sama. Keduanya pasti memiliki karakter yang kurang lebih sama juga.
"Nanyanya satu-satu dong, Yah. Raline bingung kalau pertanyaan Ayah keroyokan begini. Yang mana dulu yang harus Raline jawab? Oh, sepertinya masalah uang saja dulu yang Raline jelaskan. Ayah 'kan suka sekali dengan uang."
Raline menjentikkan jari dengan gembira. Ia bangga atas ide cemerlang yang tiba-tiba saja singgah di benaknya. Ayahnya pasti tidak jadi marah kalau dirinya membahas masalah uang.
"Ayah tadi tanya mana uang yang Raline cari bukan? Nah, ini uangnya." Raline menepuk-nepuk saku celana Axel dengan senyum lebar.
"Lo biasa naroh uang di saku yang mana? Saku celana atau saku jas?" bisik Raline lirih.
"Di saku jas." Axel balas berbisik lirih. Ia memang selalu membawa cek di saku jasnya untuk pembayaran dalam jumlah besar. Di saku celana, ia mengisi dompet dengan uang cash beberapa lembar dan beberapa kartu sekedarnya saja.
"Oke, gue ngerti." Raline mengangguk takzim. Kalimatnya salah. Untuk itu ia akan mengulanginya lagi.
"Di sini uangnya, Yah. Raline salah tunjuk." Raline menepuk-nepuk saku jas Axel dengan bangga.
"Apa maksudmu, Line?" Pak Adjie meremas rambut frustasi. Putrinya ini sedang kambuh onengnya. Lain yang ia tanya, lain juga yang ia jawab.
"Maksud Raline, Mas Axel ini membawa uang dua--"
"Biar saya saja yang akan menjelaskan semuanya." Axel mendekat dan dengan cepat memotong kata-kata Raline. Ia juga mengganti kata gue dengan saya. Bagaimanapun tidak respeknya dirinya pada orang tua Raline, tetap saja mereka berdua akan menjadi mertuanya. Adab harus ia utamakan.
"Saya Axel Delacroix Adams. Saya akan membayar hutang Anda pada orang ini sebesar dua milyar, beserta bonus bunga dari saya ; calon menantu Anda." Axel menunjuk Pak Riswan saat mengucapkan kata orang ini.
"Hah, bayar hutang? Calon menantu?" Diberi kejutan bertubi-tubi, membuat Pak Adjie kebingungan.
"Ah saya ingat sekarang. Kamu ini adalah Axel Delacroix Adams. Kakak Lily, istri Heru. Kamu ini seorang mafia!" Bu Lidya bangkit dari sofa. Sekarang ia ingat di mana ia pernah melihat bule gahar ini. Di pernikahan Heru dan Lily!
"Betul. Bawa kedua orang tuamu ke dalam Alka--" Axel mendecakkan lidah. Ia lupa lagi nama perempuan ini.
"Raline. Nama gue Raline. Inget baik-baik. Jangan lupa lagi. Bagaimana ortu gue percaya kalo lo serius pengen nikahin gue, kalo nama gue aja lo lupa?" bisik Raline di sisi telinga Axel.
"Oke. Ra--line." Axel balas berbisik.