Setelah dibujuk oleh Viona agar mau menemui Raka, akhirnya di sinilah Papa Viona berada, di ruang tamu bersama dengan istrinya, anaknya dan juga pria yang dibawa oleh anaknya.
Meskipun raut wajahnya sangat tidak ramah, namun Raka tetap memberanikan diri untuk berbicara. Ia tidak mau Papa Viona semakin salah paham dengan kehadirannya.
“Om, Tante, saya izin berbicara ya,” ujar Raka yang hanya diangguki oleh Mami Viona. Sedangkan papanya hanya meliriknya sekilas dengan tangan yang dilipat di depan d**a.
“Kedatangan saya ke sini itu untuk meminta izin ke Om dan juga Tante. Saya ingin menikahi Viona, kalau Om dan Tante mengizinkan,” jelasnya. Membuat Hardi─ Papa Viona, langsung menatapnya sinis.
“Kalau saya nggak mengizinkan?” tanya Hardi.
“Saya akan berusaha untuk meyakinkan Om, sampai Om mengizinkan.”
Hardi berdecak kesal. Ia menatap putrinya yang sedang menundukkan kepala saat ini. Sebenarnya ia tidak pernah mempermasalahkan hubungan percintaan putrinya. Ia hanya tidak suka saja, jika putrinya datang ke rumah dengan membawa seorang pria tanpa izin darinya. Tadi Viona hanya bilang ingin datang ke rumah, tanpa mengatakan jika ia datang bersama seorang pria yang ingin menikahinya.
“Kamu tau, kan? Anak saya ini belum selesai kuliahnya,” ujar Hardi.
“Iya, Om. Saya tau,” sahut Raka.
“Kalau udah tau, kenapa masih diajak nikah?” tanya Hardi ketus.
“Saya nggak akan menghalangi pendidikan Viona, Om. Viona masih bisa kuliah, meskipun sudah menikah.”
“Sanggup kamu, membiayai kuliah anak saya?”
Raka tersenyum. Jangankan membiayai kuliah Viona, membiayai hidup Viona sampai dua puluh tahun ke depan saja Raka sanggup.
“Sanggup, Om.”
“Kamu tau, apa harapan orang tua Viona ke dia?” Hardi bertanya lagi, dan kali ini Raka tidak bisa menjawabnya.
“Semua orang tua pasti berharap cita- cita anaknya tercapai. Kalau dia menikah di usia muda, bagaimana dia bisa mewujudkan cita- citanya?” tanyanya lagi.
“Saya juga nggak akan menghalangi cita- cita Viona, Om. Saya bakal support apapun keinginan dia.”
Hardi terlihat menghela napasnya. Kemudian kembali berkata, “Bukannya saya melarang kamu buat nikahin anak saya, tapi menurut saya, ini terlalu terburu- buru. Viona juga baru beranjak dewasa, dia belum bisa mandiri, hidup dia masih bergantung ke orang tuanya. Mental dia untuk menjadi seorang istri itu belum terbentuk. Kalau dipaksa menikah sekarang, nanti dia sendiri yang kerepotan. Dia belum bisa masak, belum bisa cuci baju, belum bisa bersih- bersih rumah. Emang kamu mau, punya istri yang modal cantik doang?”
“Om jangan khawatir tentang itu. Saya mencari istri, bukan mencari pembantu,” balas Raka. Diakhiri dengan sebuah senyuman manis yang menghiasi bibirnya.
“Yakin bisa menerima kekurangan anak saya?” tanya Hardi.
“Yakin, Om. Saya akan berusaha membimbing Viona untuk menjadi istri yang baik,” jawab Raka dengan tegas.
“Sekarang saya tanya, apa pekerjaan kamu?”
“Saya Dosen di Kampus Vio.”
“Berapa gaji Dosen perbulan?”
Raka terdiam sebentar. Kemudian menjawab sambil tersenyum tipis, “Hanya lima juta, Om.”
“Uang lima juta itu nggak cukup buat membiayai anak saya. Kamu tau, uang jajan dia perbulan itu hampir dua juta. Itu baru dari saya, belum lagi yang dari mamanya. Kadang maminya juga masih ngasih ratusan ribu. Emang kamu sanggup?”
“Papa, ih. Jangan malu- maluin napa, sih? Dia itu orang kaya, Pa. Crazy rich, sultan, old money, pabrik duit, ATM berjalan. Emang Papa nggak malu, ngomong kayak gitu? Penghasilan dia perbulan aja bisa buat beli Civic merah Papa. Gajinya sebagai Dosen emang dikit, tapi pemasukan dia kan dari mana- mana,” cerocos Viona menyahuti omongan sang Papa.
Hardi terdiam kaget. Ia pun mengamati penampilan Raka dari atas sampai bawah. Seperti tidak menyangka, jika orang yang baru saja ia rendahkan adalah orang kaya.
“Saya baru sadar kalau kamu pakai jam Rolex, hehe,” ucapnya cengengesan. Membuat Viona langsung memutarkan bola matanya malas.
Sementara itu, Raka hanya tertawa kecil menanggapinya. Ternyata Papa Viona tidak jauh beda dari Ayah sambungnya. Sama- sama lucu, meskipun dia sedikit lebih seram.
“Yaudah lah, nanti saya pikirin lagi. Sebenarnya Viona mau saya jodohin sama teman Pilot saya. Tapi karena kamu maksa, jadi nanti saya pikir- pikir dulu,” ucapnya lagi.
“Nggak mau ih, Papa! Om Dion itu banyak gadunnya,” protes Viona kesal. Saat sang Papa kembali mengungkit perjodohannya dengan seorang Pilot yang sudah lama berteman dengan papanya.
Novi yang sedari tadi terdiam pun ikut tertawa. Suaminya memang hobi menggoda anaknya dengan menjodoh- jodohkannya dengan temannya yang masih lajang.
“Ya sudah Om, Tante. Saya pamit pulang dulu ya,” ujar Raka berpamitan.
Novi dan Hardi menganggukkan kepala. Kemudian mereka berdua menerima uluran tangan Raka yang mengajaknya bersalaman.
“Vio mau ikut pulang juga?” tanya Novi.
“Iya, mumpung ada yang nganterin,” jawab Viona.
“Yaudah, hati- hati ya. Jangan mampir ke mana- mana. Kalau pulang ya langsung pulang,” tutur Novi.
“Iya. Vio pulang dulu ya. Bye ...”
***
Mengabaikan nasihat Novi, kini Viona dan Raka sudah berada di sebuah Restoran nasi padang. Sebelum mengantarkan Viona pulang ke rumah, ia ingin mengajak gadis itu berbincang- bincang terlebih dahulu.
“Papa kamu itu mirip sama Ayah kamu ya. Sama- sama lucu,” ujar Raka.
“Beda banget. Papa itu garing banget orangnya. Sering ngajak bercanda, tapi nggak lucu sama sekali. Beda sama Ayah, dia diam aja bikin orang lain ketawa,” balas Viona.
“Yang saya lihat, Papa kamu itu lebih tegas dan agak serem dikit, sih.”
Viona terkekeh. “Papa itu termasuk strict parents. Banyak ngatur, tapi kurang ngasih perhatian. Makanya aku nggak mau ikut dia. Ya aku maklumin sih, karena dia emang sibuk banget. Tapi kadang perlakuannya ke anak- anaknya tuh beda. Itu yang nggak aku suka,” ucapnya bercerita.
Raka menatap Viona dengan tatapan yang begitu dalam. Dia bisa merasakan adanya gurat kesedihan di mata gadis itu, ketika gadis itu menceritakan ayahnya. Namun gadis itu masih bisa menutupinya dengan sebuah tawa kecil.
“Tapi hubungan kamu sama Papa kamu sejauh ini baik- baik aja, kan?” tanya Raka.
“Baru membaik dua tahun yang lalu. Aku pernah berantem sama Papa sampai gak saling sapa selama bertahun- tahun,” jawabnya.
“Karena apa?”
“Karena aku ketahuan pacaran pas masih SMP. Terus dia ngata- ngatain mamaku , katanya mamaku nggak bisa didik anak. Padahal dia sendiri juga belum bisa jadi orang tua yang baik.”
“Tapi yang saya lihat, kamu itu beruntung banget loh. Meskipun orang tuanya udah cerai, tapi kelihatan masih saling supportive banget. Jadinya kamu nggak kekurangan kasih sayang, malah kelebihan menurut saya.”
Lagi- lagi Viona tertawa kecil. “Pak Raka bisa ngomong kayak gini karena sering lihat aku ketawa, kan?” tebaknya.
Raka tersenyum simpul. Bahkan gadis itu masih bisa tertawa di saat matanya sedang berkaca- kaca.
“Aku emang terlalu ceria sampai kelihatan kayak nggak punya beban. Padahal sebenarnya nggak kayak gitu. Aku lebih banyak nangisnya dari pada ketawanya,” ucapnya lagi.