Sambutan yang tak baik

1162 Words
Bukan rakyat konoha namanya, jika tidak julid pada orang lain. Melihat Viona digandeng oleh Dosen paling populer di Kampus ini, tentu saja akan mereka jadikan sebagai bahan perbincangan. Apalagi selama ini Viona digosipkan berpacaran dengan Bobby─ Mahasiswa si paling rajin dan berprestasi, tentu saja kejulidan mereka semakin bertambah karena mereka pasti mengira jika Viona berselingkuh dari Bobby. “Kok bisa digandeng sama Pak Raka? Itu gimana ceritanya?” “Gatel nggak sih, dia? Aneh banget, cuy! Gue selama ini udah dandan menor, tapi nggak pernah dilirik sama Pak Raka.” “Lah, bukannya si Vio pacaran sama Bobby ya?” “Selingkuh, kali.” “Baru kali ini ada orang yang berhasil ganjen ke Pak Raka.” “Kok lo yakin banget, kalau si Vio yang ganjen? Bisa jadi Pak Rakanya yang suka duluan.” “Coy, lo udah berapa tahun kuliah di sini? Ganjen ke Pak Raka itu hal yang sangat biasa di sini. Jangankan Mahasiswa, Dosen aja banyak yang gatel ke dia. Lo lihat dah tuh, kating- kating yang alisnya kayak logo Nike, menurut lo dia ngapain kalau bukan mau ganjen ke Pak Raka?” “Tapi keren sih, kalau misalnya si Vio emang berhasil dapetin Pak Raka.” “Jangan mikir yang aneh- aneh dulu. Siapa tau si Vio habis buat kesalahan, terus mau dihukum sama Pak Raka. Tau sendiri kan, si Vio orangnya kayak gimana? Hidup dia nggak bakal tenang kalau nggak cari masalah.” Seperti itulah, bacotan- bacotan yang keluar dari mulut para Mahasiswa yang menyaksikan kejadian langkah tadi. Heran? Tentu saja mereka heran. Selama lima tahun mengajar di sini, baru kali ini mereka melihat tangan kekar Raka menggandeng tangan mahasiswanya. Sementara itu, Sinar dan Shafa yang sedari tadi mendengar omongan mereka hanya bisa geleng- geleng kepala. Memang seperti inilah sifat rakyat konoha, selalu menghakimi orang lain tanpa mau mencari tahu kebenarannya terlebih dahulu. “Penyakit hati emang susah diilangin,” gumam Shafa. *** Setelah diculik paksa oleh Raka, di sinilah Viona berada. Di dalam mobil mewah merek Audi milik pria itu. Mereka berdua akan mengantarkan Rega pulang ke rumah terlebih dahulu, sebelum pergi ke rumah Papa kandung Viona untuk bersilaturahmi. “Dia mau nanya sama kamu, katanya permennya beli di mana?” ujar Raka setelah sekian lama terdiam. “Permen yang mana?” tanya Viona. “Permen yang kamu kasih waktu pertama kali ke rumah.” “Oh, itu di Supermarket juga banyak.” “Rega mau lagi,” sahut Rega. “Iya, nanti Om beliin.” “Kakak cantik nggak main ke rumah Rega lagi?” tanya Rega. “Enggak,” jawab Viona. “Kenapa?” tanyanya lagi. “Takut sama Nenek Rega. Neneknya Rega serem,” celetuk Viona. Membuat Rega langsung tertawa cekikikan. Sedangkan Raka hanya meliriknya sekilas. “Tapi lebih serem Om Raka dari pada Nenek,” timpal Rega. “Oh ya? Rega pernah dimarahin?” tanya Viona. Dia memang selalu semangat jika membahas keburukan Raka. Rega mengangguk. “Pernah dijewer juga,” ucapnya. ”Wah ... parah banget. Pantesan sama mahasiswanya galak, sama ponakan sendiri aja tega begitu.” Merasa tersindir, Raka pun lantas melirik Viona sinis. Sedangkan yang dilirik malah menunjukkan tatapan yang sangat menantang. Ya, bukan Viona namanya jika takut pada orang lain. Raka sendiri sampai heran, kenapa ada orang seperti Viona di dunia ini? Dan anehnya lagi, kenapa ia harus tertarik pada gadis ini diantara banyaknya gadis yang tingkah lakunya jauh lebih baik dari pada Viona? Entahlah, Raka sendiri juga bingung memikirkannya. Beberapa menit kemudian, mobil yang mereka tumpangi sampai di halaman rumah megah milik keluarga Raka. Viona tidak ikut turun mengantarkan Rega masuk ke dalam. Ia memilih untuk menunggu di mobil saja, alasannya ya karena ia malas bertemu dengan maminya Raka. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Raka masuk kembali ke dalam mobil dengan membawa satu kantong kecil berwarna coklat. “Apa ini?” tanya Viona, ketika Raka memberikan kantong tersebut pada dirinya. “Roti. Tadi kamu belum sempat makan,” jawab Raka. “Oh, makasih.” Tanpa banyak bicara lagi, Viona langsung memakan roti tersebut dengan lahap, ia tidak bisa menutupi jika dirinya memang benar- benar lapar saat ini. Seharusnya saat ini ia sudah menikmati semangkuk mie ayam di kantin bersama kedua temannya, tapi gara- gara pria ini, dirinya harus berakhir memakan satu buah roti saja. Tapi tidak apa- apa, nanti kalau sudah sampai di rumah papanya, ia akan memakan nasi sampai kenyang. “Papamu suka apa?” tanya Raka. “Suka Mami.” Raka mendesis kesal. Jawaban Viona tidak salah, tapi tidak itu juga maksudnya. “Maksud saya, Papa kamu suka makanan apa?!” “Oh, bilang dong yang jelas! Kalau Papa sih, apa aja dimakan, asalkan halal. Kalau Mami sukanya lemper ayam Holland bakery.” “Yaudah, berarti mampir ke Holland dulu.” “Kalau saya sukanya martabak manis pakai toping keju sama oreo,” celetuk Viona. “Nggak nanya,” ketus Raka. Membuat Viona langsung mengerucutkan bibirnya kesal. *** Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih satu jam, akhirnya Viona dan Raka sampai di rumah Papa Viona yang berlokasi di Jakarta barat. Dengan membawa beberapa bingkisan, mereka pun langsung masuk ke dalam rumah setelah dipersilahkan oleh sang Mami yang kebetulan sedang berada di depan rumah. “Duduk dulu, Papa kamu masih keluar cari bubur,” ujar Novi─ Mami tiri Viona, sambil berjalan menuju dapur untuk mengambil air minum. “Kenapa siang- siang cari bubur?” tanya Viona. “Si Axel sakit gigi, nggak mau makan nasi.” Novi menjawab sembari meletakkan dua gelas air mineral di meja depan Raka dan Viona. “Makasih, Tante,” ujar Raka sambil tersenyum manis. Ini adalah senyuman langkah yang jarang ditunjukkan oleh pria itu. Viona sampai terpesona melihatnya. “Sama- sama,” balas Novi. “Mami ... Vio lapar banget,” adunya pada sang Mami dengan wajah yang memelas. “Lapar ya makan, Kak. Masa iya, harus Mami suapin? Emang nggak malu sama ayangnya?” goda Novi. “Dih, itu bukan Ayang Vio!” sewotnya. “Terus kenapa diajak main ke sini? Baru kali ini loh, kamu bawa cowok ke rumah Mami.” Viona berdecak kesal. Ia juga bingung harus menjelaskan mulai dari mana. Hanya Raka yang mempunyai banyak stok pembicaraan. “Nanti saya jelasin, Te. Nunggu Papa Viona dulu,” sahut Raka. Novi menatap mereka bergantian. Kemudian ia mengangguk- anggukkan kepalanya sambil berkata, “Oh, yaudah kalau gitu,” ucapnya. Tak lama kemudian, pintu rumah terbuka. Seorang pria paruh baya berkulit putih dan bertubuh gagah masuk ke dalam rumah dengan membawa satu kantong putih yang sepertinya berisi bubur. Bukannya menghampiri sang putri yang sudah menunggunya di ruang tamu, pria paruh baya itu malah menyelonong berjalan ke dapur tanpa menyapa putrinya terlebih dahulu. Hal tersebut tentu saja membuat Viona sangat kesal, gadis itupun lantas bangun dari duduknya dan berjalan menghampiri sang Papa. “Emang nggak lihat kalau ada Vio?” tanya Viona sambil melipat tangannya di depan d**a, dengan bibir yang mengerucut kesal. “Lihat. Papa cuma nggak suka aja, kalau kamu datang bawa cowok tanpa izin dari Papa.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD